SAMSUMBA.com - Wakil Ketua Pengadilan Agama (PA) Waingapu, H. Fahrurrozi Zawawi menyampaikan khotbah di Masjid Al-Munawwar Kelurahan Kambajawa Kecamatan Waingapu Kabupaten Sumba Timur, Jumat (7/6/2024). Khotbah itu berisikan pembahasan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni.
“Sebagai warga Nusa Tenggara Timur,
kita patut bangga karena inspirasi lahirnya Pancasila bermula dari Nusa
Tenggara Timur, yaitu pada saat Bung Karno diasingkan di Ende tahun 1934-1938,”
kata Ustadz Fahrurrozi, panggilan akrab orang nomor dua di PA Waingapu itu.
Lebih lanjut dikutipkan cerita Bung
Karno selama berada di Ende yang termuat dalam buku otobiografi berjudul Bung Karno
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, “Tempat pelarian menyendiri yang kugemari
adalah di bawah pohon sukun yang menghadap ke laut… Aku lalu duduk dan
memandang pohon itu… Pohon sukun itu berdiri di atas sebuah bukit kecil
menghadapi teluk. Di sana, dengan pemandangan ke laut lepas tiada yang
menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang
menggelembung dan di mana sesekali seekor kambing yang sedang bertualang lewat
sendirian, di sana itulah aku duduk melamun jam demi jam… Suatu kekuatan gaib
menyeretku ke tempat itu hari demi hari”.
“Di bawah pohon sukun itulah, Bung
Karno sering merenung berhari-hari. Sampai akhirnya menemukan Pancasila sebagai
dasar negara. Ende, dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya memang sangat
menginspirasi untuk dijadikan contoh keharmonisan antar umat beragama,” ujarnya.
Dalam pidato di depan Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945, sambungnya,
Bung Karno mengharapkan Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya
bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Dan hendaknya
negara Indonesia (menjadi) suatu negara yang bertuhan.
“Marilah kita amalkan, jalankan agama,
baik Islam maupun Kristen dengan cara berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban
itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain,” kata Ustadz Fahrurrozi mengutip
pidato Bung Karno.
Menurut Ustadz/Hakim yang bertugas di
Waingapu sejak Desember 2022 itu, keharmonisan antara pemeluk agama yang
berbeda-beda tidak hanya terjadi pada era tahun 30-an tetapi sudah menjadi
pemandangan sehari-hari di Nusa Tenggara Timur hingga saat ini. Umat Islam
walaupun jumlahnya minoritas, tetapi hidup dengan aman, nyaman dan tentram di
tengah-tengah umat Nasrani yang mayoritas.
Hal itu, imbuhnya, sejalan dengan
firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Maidah Ayat 82 yang artinya, “Sesungguhnya
kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman
(yaitu orang-orang Islam) ialah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya kami
ini orang-orang Nasrani’. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka
itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga)
karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri”.
“Kita bisa lihat pemandangan
keharmonisan antar umat beragama di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Pulau
Sumba. Antara lain, di rumah-rumah penduduk di sekitar kita, banyak ditemukan
orang tua berbeda agama dengan anaknya, adik berbeda agama dengan kakaknya,
termasuk suami berbeda agama dengan istrinya. Ketika ada acara perkawinan di
rumah orang Islam, tetangga dan sahabat dari agama lain pun datang ikut
merasakan kebahagiaan. Ketika ada kematian di rumah orang Islam, tetangga dan
sahabat dari agama lain pun datang ikut berduka cita,” paparnya.
Ditambahkannya, banyak pelajar Islam menempuh
kuliah di Universitas Kristen Wira Wacana Sumba, pelajar Islam belajar di
Sekolah Katholik Andaluri, pelajar Islam menimba ilmu di Sekolah Kristen Payeti
dan pelajar Islam menuntut ilmu di Sekolah Kristen Agape. Sebaliknya, tidak
sedikit pelajar Kristen yang belajar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 3
Sumba Timur dan di sekolah Muhammadiyah.
“Dalam pemilihan umum, kita bisa lihat
calon-calon legislatif di partai-partai Islam banyak yang tidak beragama Islam.
Ketika datang musim qurban seperti sekarang ini, orang-orang Islam datang ke
petani-petani untuk membeli sapi atau kambing. Kebanyakan petani itu beragama
Kristen,” ungkapnya.
Ustadz Fahrurrozi berpesan, suasana
harmonis yang sudah terjalin dengan kuat ini harus dijaga dan dipelihara. Semua
pihak hendaklah terpanggil untuk sama-sama merawat kehidupan yang harmonis di
tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, para umara (pemimpin) dan para ulama
(tokoh agama) hendaklah berdiri paling depan untuk memberikan teladan dalam
menjaga keharmonisan antar umat beragama.
Diingatkan bahwa pemimpin tidak boleh
mengambil kebijakan yang diskriminatif, tidak adil atau merugikan pemeluk agama
lain. Ada pelajaran yang diwariskan Khalifah Umar bin Khattab. Dikisahkan bahwa
Gubernur Mesir, Amr bin Ash akan memperluas masjid. Di dekat masjid itu ada
rumah gubuk orang Yahudi. Gubernur akan membeli tanah dan rumah orang Yahudi
itu dua kali lipat dari harga normal, tetapi orang Yahudi itu tidak mau. Maka,
rumah itu dirobohkan rata dengan tanah. Orang Yahudi itu mengadu kepada Khalifah
Umar bin Khattab di Madinah. Mendengar aduan orang Yahudi itu, Khalifah
memberikan petunjuk isyarat supaya rumah orang Yahudi itu dikembalikan. Kisah
ini memberikan pelajaran, bahwa untuk tujuan baik, caranya juga harus baik,
tidak boleh mendhalimi orang lain.
“Begitu juga tokoh agama yang fatwa dan
pendapatnya dipegangi dan dipedomani oleh umat, berikan pandangan yang
menguatkan sendi-sendi kehidupan yang harmonis antar umat beragama. Jangan
terkungkung dengan teks-teks masa lalu yang sudah tidak relevan diterapkan di
zaman sekarang, karena justru kontraproduktif atau bertentangan dengan semangat
menjaga keharmonisan antar umat beragama,” tandasnya.
Ustadz Fahrurrozi lalu mengutip
perkataan Imam Qarafi dalam kitab Al-Furuq, La Tajmud ‘alal Masthur fil
Kitab Thul ‘Umrik. Janganlah kamu jumud atau kaku dengan memegangi teks
dalam kitab sepanjang umurmu. Orang yang hidup di zaman sekarang mestinya tidak
menggunakan metode orang dulu dalam memecahkan masalah. Karena pasti berbeda.
Persoalan masa kini harus dipecahkan dengan metode kekinian.
“Hal itu pula yang diutarakan oleh Bung
Karno saat berkirim surat kepada A. Hassan yang ketika itu Bung Karno tinggal
di Nusa Tenggara Timur. Dalam buku berjudul Di Bawah Bendera Revolusi, ada
bagian berjudul Surat-Surat Islam dari Ende. Dalam surat tertanggal 17 Juli
1935, Bung Karno menulis, ‘Dunia Islam sekarang ini setengah mati, tiada roh,
tiada nyawa, tiada api, karena umat Islam sama sekali tenggelam di dalam kitab
fikih itu, tidak terbang seperti burung garuda di atas udara-udaranya agama
yang hidup,” tuturnya.
Dalam surat tertanggal 22 April 1936, lanjutnya,
Bung Karno menulis, ‘Percayalah bahwa bila Islam dipropagandakan dengan cara
yang masuk akal dan up to date, seluruh dunia akan sadar kepada kebenaran Islam
itu. Saya sendiri, sebagai seorang terpelajar, barulah mendapat lebih banyak
penghargaan kepada Islam, sesudah saya mendapat membaca buku-buku Islam yang
modern dan scientific. Apa sebab umumnya kaum terpelajar Indonesia tak senang
Islam? Sebagian besar ialah karena Islam tak mau membarengi zaman, dan karena
salahnya orang-orang yang mempropagandakan Islam: mereka kolot, mereka
orthodox, mereka anti pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan…”.
Menurut Ustadz Fahrurrozi, metode
kekinian dalam mengeluarkan fatwa atau pendapat keagamaan, antara lain dengan
melibatkan disiplin ilmu-ilmu dan pengalaman-pengalaman bidang lain yang
relevan, sehingga fatwanya mencerminkan realitas kehidupan yang lebih utuh dan
kontekstual. M. Amin Abdullah menyebutnya multidisiplin, interdisiplin dan
transdisiplin.
“Bila kita mendapati ada ayat Al-Quran
atau Hadits Nabi yang menurut kita tidak selaras dengan upaya menjaga
keharmonisan antar umat beragama, maka yang salah bukan ayat Al-Quran atau
Hadits Nabi. Namun yang salah adalah pemahaman kita. Pemahaman kita atas
teks-teks itu harus diperbaiki. Dalam Al-Quran memang ada ayat-ayat yang
berbicara tentang perang. Tetapi ayat-ayat itu harus dibaca dan dipahami sesuai
konteksnya, harus dilakukan kontekstualisasi. Sebab, ayat-ayat Al-Quran tidak
turun dalam ruang hampa. Ada situasi dan kondisi yang mendorong turunnya ayat
untuk memerangi orang-orang kafir. Tetapi kafir yang dimaksud adalah kafir
harbi, yaitu mereka yang memerangi atau mengganggu umat Islam,” terangnya.
Sementara itu, lanjutnya, terhadap
orang Non Muslim yang tidak mengganggu umat Islam maka tidak boleh diperangi,
tidak boleh diganggu. Umat agama-agama lain yang hidup berdampingan dengan umat
Islam secara harmonis, harus dilindungi dan diperlakukan secara baik, seperti
didoakan keselamatan dan diucapkan selamat ketika mendapat kebahagiaan. Itulah
sebabnya, putusan Badan Peradilan Agama memberikan hak / bagian dari harta
waris kepada ahli waris beda agama melalui mekanisme wasiat wajibah. (sam)