SAMSUMBA.com - Dalam rangka meningkatkan pengetahuan agama Islam, Masjid Al-Muhajirin Pakamburung Waingapu Sumba Timur menggelar Kajian Ahad Shubuh setiap pekan. Kali ini, Ahad (3/3/2023) yang bertindak sebagai pemateri adalah H. Fahrurrozi Zawawi. Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu yang biasa disapa oleh masyarakat dengan panggilan Ustadz Fahrurrozi itu membahas seputar puasa dan kesalehan sosial.
“Yang dimaksud dengan kesalehan sosial itu lawan dari kesalehan individual. Kalau orang rajin shalat, mengaji Al-Quran, shalat Dhuha, shalat Tahajjud, itu namanya kesalehan individual. Dia saleh untuk dirinya sendiri. Sementara kalau kesalehan sosial itu, bagaimana kebaikan-kebaikannya berdampak bagi orang lain. Dia punya kepekaan sosial, dia punya jiwa sosial, dia suka menolong, suka membantu,” kata Ustadz Fahrurrozi.
Menurutnya, puasa sangat berkaitan dengan dimensi sosial. Hal itu sesuai dengan Hadits Nabi Muhammad SAW yang menegaskan bahwa tidak sedikit orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala dari puasanya kecuali hanya mendapat lapar saja. Di Hadits lain, Nabi juga menandaskan bahwa Allah SWT tidak butuh kepada orang yang meninggalkan makan dan minum (puasa) selama dia masih menyakiti orang lain.
Ditambahkan Ustadz Fahrurrozi, bukti lain keterkaitan puasa dengan dimensi sosial ditunjukkan oleh kafarat (denda) bagi orang yang tidak dapat melaksanakan puasa atau untuk memenuhi kesempurnaan puasa. Antara lain disebutkan Firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 184 yang artinya, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (seperti lanjut usia, ibu hamil dan menyusui) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin”.
“Ayat ini menunjukkan bahwa puasa itu terkait dengan bagaimana kita berhubungan dengan manusia. Allah tidak mengatakan bahwa hukuman atau denda bagi orang yang tidak kuat berpuasa itu mengaji, mengkhatamkan Al-Quran, shalat Tahajjud atau shalat Dhuha, tetapi memberi makan orang miskin. Ternyata puasa berkaitan dengan dimensi sosial,” ujar Ustadz yang pernah mengenyam pendidikan di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Jember itu.
Di Hadits lain, sambungnya, kafarat bagi orang yang berhubungan badan pada siang hari saat berpuasa adalah memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Begitu juga perintah membayar zakat fitrah dimaksudkan sebagai upaya membersihkan dan mensucikan orang yang berpuasa dari kesalahan dan kekurangan selama menjalani puasa.
“Ini menjadi pelajaran bagi kita, jangan kita hanya fokus pada kesalehan individual. Bahwa kita selama bulan suci Ramadhan hanya menyibukkan diri dengan menahan diri dari makan minum, sibuk dengan shalat Tahajjud, shalat Dhuha, mengaji. Akan tetapi, kita sama sekali tidak memerhatikan kesalehan sosial. Kita menyakiti orang lain, tidak baik dengan tetangga, tidak baik dengan kawan. Puasa arahnya adalah bagaimana kita menjadi manusia yang bertakwa. Dan takwa yang dimaksud bukan semata-mata kesalehan individual, kita saleh kepada Allah tetapi sebaliknya kita ada jarak dengan orang-orang sekitar kita,” jelasnya.
Manusia bertakwa yang hendak dicetak oleh puasa itu, menurutnya, adalah manusia yang tidak menyakiti orang lain dan manusia yang peduli, mau membantu dan menolong kepada sesama manusia.
“Sebelum kita masuk di bulan suci Ramadhan, harus disadari bahwa kita tidak hanya mengejar kesalehan individual, kita hanya sibuk di masjid, tetapi kita tidak peduli bahwa kanan kiri kita tidak punya makanan untuk buka puasa,” tuturnya.
Maka, dipesankan kepada hadirin agar menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Suami harus baik kepada istrinya.
“Suami harus baik kepada istri. Al-Quran menyebutkan Wa ‘Asyiruhunna bil Ma’ruf, pergaulilah istrimu dengan cara yang makruf, cara yang baik. Kalau berkata-kata harus dengan baik, jangan menyakiti, jangan membuat derita istri dengan kata-kata itu. Apalagi jangan sampai kita melakukan kekerasan fisik. Tidak boleh suami menghajar, memukul, membanting istrinya. Ajaran agama kita tidak membolehkan itu. Hubungan suami istri harus baik. Jangan sampai kita berpuasa tetapi perilaku seperti itu tidak kita tinggalkan,” tegasnya.
Lebih lanjut dijelaskan Ustadz Fahrurrozi, seandainya suami istri itu bercerai dan selama hidup bersama memperoleh harta benda maka statusnya adalah harta bersama (gono gini). Suami tidak boleh menguasai sendiri harta bersama tersebut tanpa mengindahkan hak istrinya.
“Kalau terjadi perceraian harus dibagi sama. Suami mendapat bagian, istri mendapat bagian. Haram hukumnya harta itu dinikmati sendiri oleh suaminya. Ini kedhaliman. Dhalim hukumnya, harta yang didapat bersama kemudian dinikmati sendiri oleh suami,” tandasnya.
Ditambahkannya, dalam cerai talak jika istri sedang menjalani masa iddah lalu dalam masa iddah itu, suaminya meninggal dunia maka istri berhak menjadi ahli waris dari suaminya. Ia berhak mendapat 1/8 (seperdelapan) dari harta warisan suaminya jika suami mempunyai anak. Tidak boleh harta warisan hanya dibagi kepada keluarga suami tanpa memasukkan istri ke dalam ahli waris dengan alasan sudah diceraikan. Itu kedhaliman, itu dosa.
Selain hubungan baik antara suami istri, baik ketika masih bersama maupun sudah bercerai, Ustadz Fahrurrozi juga berpesan agar hubungan baik dilakukan antar saudara. Ia mencontohkan pembagian harta warisan. Kalau ada harta peninggalan orang tua maka dhalim hukumnya bila dikuasai secara sepihak oleh anak tertua tanpa membaginya dengan adik-adiknya.
Begitu pun hubungan baik harus dilakukan kepada tetangga. “Pembuangan air atau limbah, jangan dialirkan ke tanah tetangga. Jangan mengganggu tetangga kita. Bangun rumah juga harus diperhatikan, jangan sampai tetesan air hujan dari rumah kita masuk di tanah tetangga. Perhatikan hak-hak tetangga, jangan bangunan rumah kita menutup akses tetangga dari sinar matahari dan udara. Itu bisa masuk dosa sosial,” ungkapnya.
Di bagian akhir kajiannya, Ustadz Fahrurrozi berpesan kepada hadirin agar puasa mampu menumbuhkan jiwa sosial dengan beramal saleh yang kemanfaatannya dapat dirasakan orang banyak dan dalam jangka panjang.
“Beramal-lah yang kemanfaatannya itu langgeng. Walaupun kita meninggal dunia tetapi pahalanya terus mengalir. Berwakaflah untuk pembangunan madrasah, masjid, sarana ibadah. Kalau tidak bisa sendiri, bisa ramai-ramai. Misalnya kita mendirikan pondok pesantren karena di Sumba Timur belum ada pondok pesantren, kita beli tanah. Misalnya harganya 200 juta, lalu kita bagi, per kapling harganya 10 juta. Dapat 20 orang, sudah terbeli tanah itu. Nanti pembangunannya pun begitu. Misalnya Ustadz Andri membangun satu lokal kelas, lalu dinamakan Kelas Andri Riswanto, lainnya kelas siapa lagi. Meskipun nanti Ustadz Andri sudah pindah ke Kupang atau Surabaya, pahalanya akan terus mengalir,” pesan Ustadz/Hakim yang hobi tenis itu.
Ustadz/Hakim asal Pati Jawa Tengah yang bertugas di Waingapu sejak Desember 2022 itu menekankan kembali kepada hadirin yang kebanyakan perantau dari Jawa dan daerah-daerah jauh supaya meninggalkan amal saleh yang dinikmati warga Sumba, seperti mendirikan masjid, madrasah dan pondok pesantren. Kendatipun para perantau itu pada saatnya kembali ke kampung halaman masing-masing, mereka akan terus mendapat pahala dari kebaikan yang ditanam di Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur.
Seusai Ustadz Fahrurrozi menutup uraiannya, dilanjutkan dengan tanya jawab. Beberapa jamaah mengajukan pertanyaan seputar tema yang dipaparkan. Seperti biasa, setelah kajian ditutup diteruskan dengan menikmati kopi/teh dan aneka makanan. (sam)