Fahrurrozi Zawawi
Tadi pulang kantor, Kamis (7/9/2023), saya tanya ke istri, kenapa tadi siang minta dikirimi foto alat berat Trakindo yang dibeli PT MSM (Muria Sumba Manis). Istri saya lalu cerita, bahwa tadi siang dia sedang mengajar bahasa Arab membahas mihnah (profesi). Pas menyebut fallah (petani) dia bertanya kepada murid-muridnya, “Siapa yang bercita-cita jadi petani?” Murid-murid diam.
“Kenapa tidak ada yang ingin jadi petani? Kalian tidak tahu, bahwa petani itu uangnya banyak, pekerjaan yang bisa kaya raya?” tanyanya kepada murid-murid.
Istri saya lalu menceritakan PT MSM, perusahaan tebu di Sumba Timur satu group dengan BCA dan Djarum. Perusahaan itu bisa menanami tebu di atas tanah-tanah tandus berbatuan berhektar-hektar luasnya. Itu karena menggunakan teknologi, berupa alat berat yang dibeli dari Trakindo. Istri saya tahu soal Trakindo karena kami tinggal berdempetan (bersebelahan) dengan Site Leader PT Trakindo Utama Waingapu. Untuk meyakinkan murid-muridnya, istri saya lalu memperlihatan foto alat berat itu.
“Ini lihat, dengan alat berat ini, tanah tandus berbatuan bisa digilas dan langsung bisa ditanami tebu. Hebat kan? Maka, jangan malu bercita-cita menjadi petani. Apalagi di Sumba ini tanahnya sangat luas dan belum dikelola. Dengan teknologi, medan yang keras bisa digemburkan,” kata istri menceritakan pembelajaran di kelas tadi siang.
Saya tentu mengapresiasi cerita itu. Saya katakan, “Menjadi guru itu jangan hanya sekedar menyampaikan pelajaran apa adanya yang tercantum dalam bahan ajar. Tapi, gunakan waktu mengajar itu untuk menanamkan nilai-nilai karakter. Di balik pelajaran bahasa Arab, Matematika, IPA, IPS, dll., itu harus dimanfaatkan untuk menginternalisasi nilai. Seperti, bagaimana seorang anak harus berbakti kepada orang tua, sayang kepada saudara, riang tangan menolong teman. Termasuk memotivasi anak untuk bermimpi punya cita-cita. Bantu anak-anak menemukan cita-cita,” kata saya.
Istri saya senang. Dia masih ingin melanjutkan ceritanya. Saya menunggu.
“Terus ada yang punya cita-cita ingin jadi pemain sepakbola. Anak itu nanya, jadi pemain sepakbola kan dapat uang ya, ustadzah. Saya iyakan,” tutur istri mulai bercerita lagi.
Dia bilang, dia tadi berpesan kepada anak yang bercita-cita menjadi pemain sepakbola agar menyiapkan fisik yang kuat biar tahan bertanding berjam-jam.
“Dulu ustadzah waktu di Mesir, banyak mahasiswa Indonesia yang bermain sepakbola. Tetapi dikritik pelatih dari Afrika. Katanya, mahasiswa Indonesia terlalu lembek, mudah capek. Ternyata penyebabnya adalah karena makanannya nasi. Sementara mahasiswa dari Kamerun, Senegal, Somalia dan Afrika lainnya makannya pakai roti gandum dan makanan-makanan yang membuat fisik kuat, tahan banting. Kalian kalau ingin jadi pemain sepakbola, jangan makan nasi terus. Biasakan makan makanan seperti gandum,” pesan istri kepada murid-muridnya.