Khotib Jumat di Masjid Agung Al-Jihad Waingapu Kupas Kerukunan Antar Umat Beragama

 

SAMSUMBA.com -  Khotib Jumat di Masjid Agung Al-Jihad Waingapu Kabupaten Sumba Timur mengupas kerukunan antar umat beragama, Jumat (14/7/2023). Khotib dimaksud adalah Ustadz H. Fahrurrozi Zawawi.

Di bagian awal khotbahnya, khotib mengajak jamaah untuk meningkatkan rasa syukur kepada Allah atas segala kenikmatan yang diberikan. Antara lain syukur karena diberi kesempatan hidup di bumi Indonesia yang rakyatnya menjunjung tinggi kerukunan, persatuan dan perdamaian walaupun berbeda agama.

“Lebih-lebih di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur yang sungguh luar biasa. Tidak ada sekat antara Muslim dan Non Muslim. Banyak ditemukan seorang Muslim hidup dalam satu rumah dengan orang tua atau saudara yang beda agama. Ketika seorang Muslim menggelar acara pernikahan atau mendapat musibah kematian, datang juga keluarga, tetangga dan sahabat yang beda agama. Inilah Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu juga,” katanya.

Islam, sambungnya, adalah agama yang mengajarkan hidup rukun, bersatu dan cinta damai. Tidak saja bagi sesama umat Islam, tetapi juga dengan umat-umat yang berbeda agama. Di dalam Al-Quran telah diatur bagaimana berhubungan dengan pemeluk agama lain. Misalnya, dalam Surat An-Nahl Ayat 125, diperintahkan untuk menyampaikan dakwah (ajakan menuju agama Islam) dengan cara yang baik. Menyampaikan kebenaran Islam harus dengan cara yang baik, tidak boleh menjelek-jelekkan agama lain.

Ustadz Fahrurrozi kemudian menjelaskan kisah Nabi Musa dan Harun ketika diperintahkan berdakwah kepada Fir’aun sebagaimana diabadikan dalam Al-Quran Surat Thaha Ayat 43-44 yang artinya, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.

“Walaupun Fir’aun dikatakan telah melampaui batas karena mengaku sebagai tuhan, Allah tetap berpesan kepada Musa dan Harun untuk menyampaikan dakwah dengan cara baik. Bukan memaki-maki, menghujat dan mengeluarkan kata-kata kotor,” terangnya.

Lebih lanjut, Ustadz Fahrurrozi mengingatkan jamaah Jumat tentang penegasan Al-Quran dalam Surat Al-Baqarah Ayat 256 bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Tidak ada seorangpun yang berhak memaksa orang lain untuk memeluk agama Islam. Walaupun umat Islam meyakini Islam sebagai agama yang paling benar tetapi keyakinan itu tidak boleh dipaksakan kepada orang lain.

Demikian juga, lanjutnya, walaupun umat Islam meyakini Islam sebagai agama yang paling sempurna, tetapi tidak boleh merendahkan dan mengolok-olok sembahan-sembahan agama lain. Al-Quran Surat Al-An’am Ayat 108 melarang umat Islam memaki sembahan-sembahan selain Allah.

Ustadz kelahiran Pati Jawa Tengah itu lalu menerangkan bahwa Al-Quran Surat Al-Mumtahanah Ayat 8 tidak melarang umat Islam berbuat baik kepada umat-umat lain.

“Jika ingin melakukan kebaikan kepada seseorang maka tidak perlu melihat apakah orang itu beragama Islam atau tidak. Sepanjang orang itu baik, maka perlakukanlah secara baik. Misalnya saat tiba musim qurban, bagilah daging qurban itu juga kepada tetangga-tetangga yang Non Muslim,” ungkapnya.

Ditambahkannya, Al-Quran menyuruh umat Islam berbuat baik kepada orang tua sekalipun orang tua beda agama. Allah berfirman dalam Surat Luqman Ayat 15 yang artinya, “Jika kedua orang tua memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku (Allah) sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik”.

“Ketika ada anak yang memeluk agama Islam, sedangkan orang tuanya masih beragama lain. Lalu orang tua itu memaksa sang anak keluar dari Islam maka anak itu tidak boleh menaatinya, sekalipun yang menyuruh adalah orang tua. Bakti anak kepada orang tua tidak mencakup pada keluarnya sang anak dari agama Islam. Akan tetapi, walaupun anak itu berbeda agama dengan orang tuanya, dia wajib mempergauli orang tuanya dengan baik. Perbedaan agama tidak membuat sang anak lepas dari kewajiban birrul walidain. Dia tetap harus berbuat baik, berbakti kepada orang tuanya,” tandasnya.

Tidak hanya sumber dari Al-Quran, Ustadz Fahrurrozi juga menguraikan keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam berinteraksi dengan kaum Non Muslim. Antara lain, Nabi bekerja sama dengan orang Yahudi untuk menggarap tanah di Khaibar dan Nabi membeli makanan dari orang Yahudi dengan bayaran yang ditangguhkan dengan menggadaikan baju perang dari besi.

Pernah suatu saat, jelasnya, Nabi menghormat jenazah Non Muslim. Dalam Kitab Ghoyatul Marom disebutkan sebuah hadits yang artinya, “Suatu ketika melintas jenazah di hadapan Nabi. Seketika beliau berdiri. Dikatakan kepada beliau, itu jenazah orang Yahudi. Nabi menjawab, bukankah ia juga manusia?”

“Kita harus menghormati manusia dan tidak boleh menyakitinya, tidak saja saat masih hidup, tetapi juga saat ia sudah meninggal dunia. Siapapun dia, seagama maupun berbeda agama. Maka, tidak salah jika ada tetangga atau kawan Non Muslim yang meninggal dunia lalu kita datang melayat memberikan penghormatan terakhir,” tuturnya.

Pada khotbah siang itu, Ustadz Fahrurrozi juga memaparkan kisah beberapa sahabat Nabi dalam memperlakukan umat Non Muslim. Di antaranya kisah Gubernur Mesir, Amr bin Ash saat akan memperluas masjid. Di dekat masjid itu ada rumah gubuk orang Yahudi. Gubernur akan membeli tanah dan rumah orang Yahudi itu dua kali lipat dari harga normal, tetapi orang Yahudi itu tidak mau. Gubernur memaksa karena ia ingin sekali masjid diperluas. Maka, rumah itu dirobohkan rata dengan tanah. 

Dikatakannya, orang Yahudi itu keberatan atas kebijakan Gubernur. Dia mengadu kepada Khalifah Umar bin Khattab di Madinah. Mendengar aduan orang Yahudi itu, Khalifah mengambil tulang dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Orang Yahudi pulang ke Mesir lalu menyerahkan tulang itu kepada Gubernur Amr bin Ash. Seketika Gubernur gemetar dan minta supaya rumah orang Yahudi itu dipulihkan. 

“Kisah ini memberikan pelajaran, bahwa untuk tujuan baik, mulia sekalipun, seperti memperluas masjid, caranya juga harus baik, tidak boleh mendhalimi orang, tidak boleh seenaknya menggusur orang. Harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan,” tegasnya. 

Ustadz Fahrurrozi menyebutkan kisah berikutnya ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib kehilangan baju besi yang biasa dipakai untuk perang. Khalifah melihat baju itu dipakai orang Yahudi. Maka, Khalifah membawa orang Yahudi itu menghadap Hakim Syuraih. Di depan Hakim, Khalifah mendakwa orang Yahudi itu telah mengambil baju besinya. Hakim meminta Khalifah mengajukan alat bukti. Khalifah menghadirkan 2 saksi, yaitu Hasan dan Qanbar. 

“Kesaksian Hasan ditolak karena dia anak dari Khalifah Ali. Seorang anak tidak boleh menjadi saksi untuk kepentingan orang tuanya. Maka, alat bukti yang bisa diterima hanya satu saksi. Dan satu saksi tanpa didukung alat bukti yang lain sama dengan tidak ada saksi. Unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Karena tidak terbukti, dakwaan Khalifah Ali akhirnya ditolak. Baju besi tetap menjadi milik orang Yahudi,” ujarnya.

Kisah di atas, menurutnya, mengajarkan bahwa berbuat adil itu tidak memandang agama. Putusan hakim hanya bergantung apakah dakwaan dapat dibuktikan atau tidak, tanpa melihat apa agama pihak-pihak beperkara. 

“Mudah-mudahan kita diberikan oleh Allah: kesehatan, panjang umur, kekuatan dan kemampuan untuk mengamalkan ajaran agama Islam tentang kerukunan, persatuan dan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari di Tanah Sumba yang kita cintai ini,” kata Ustadz Fahrurrozi yang juga Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu menutup khotbah pertamanya. (samyad)

“Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan yang membawa kebaikan bagi semua orang sesuai kesanggupan dan kemampuanku. Dan yang memberi pertolongan untuk mencapai tujuan itu hanyalah Allah” (Al-Quran, Surat Hud Ayat 88)