Makanan dan Perilaku Kita

Oleh KH. Asmu’i Syarkowi

(Hakim PTA Jayapura dan mantan Ketua PA Waingapu)

 

Tesis yang belum terbantahkan, bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Kesempurnaan  manusia antara lain terlihat dari segi keterciptaannya. Dia diciptakan dengan bentuk yang paling baik (laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim, QS. 95:4). Selanjutnya, kesempurnaan bentuk ciptaan tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling dimuliakan di muka bumi ini. (walaqod karromna bani adama,  QS.  18: 70). Pada saat yang sama di samping kemuliaannya manusia juga dibekali nafsu dan akal. Sikap ingin maju dan berkembang merupakan konsekuensi adanya nafsu dan akal. Selanjutnya keinginan berkembang dan maju, menyebabkan manusia selalu dinamis (forceful). Manusia boleh jadi bisa diam secara jasmani, tetapi mungkin tidak bisa diam secara rohani. Dan sebaliknya. Bahkan, ada manusia yang sulit diam baik secara jasmani maupun rohani.

Aktivitas manusia tersebut pada akhirnya, di satu pihak membuat dunia penuh dengan kesibukan dan pada saat yang sama juga membuat manusia memerlukan kebutuhan penunjang.  Salah satu kebutuhan penunjang tersebut adalah kebutuhan terhadap makanan. Bahkan pada skala tertentu dan bagi manusia tertentu, soal makanan tersebut justru menjadi tujuan hidup itu sendiri.  Dibanding dengan makhluk Allah lainnya, jenis makanan manusia ternyata juga lebih beragam. Bahkan, secara maknawi, apapun bisa dimakan oleh manusia.

Agar tidak terjadi kekacauan akibat berebut soal makanan, maka perlu ada aturan yang mengatur manusia mengenai hal ini. Adanya aturan hukum yang dibuat manusia di berbagai bangsa, antara lain, juga bertujuan mengatur manusia dalam soal tata cara mencari makanan tersebut.

Pertanyaan kita adalah, adakah agama (Islam) memberikan tuntunan tentang soal makanan tersebut? Islam  yang diyakini pemeluknya sebagai agama sempurna dan paripurna, telah mengatur prinsip-prinsip semua aspek kehidupan manusia, termasuk soal makanan ini.

Dalam Surat Al-Baqarah ayat 168 Allah berfirman yang artinya, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (thoyyib) dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

Apakah “halal” dan apa pula “tayyib”? Ada ulama yang berpendapat, bahwa kedua kata tersebut, yakni “halal” dan “tayyib” adalah searti. Tetapi ada pula, yang membedakan antara “halal” dan “tayyib”. Al Qurtuby dalam tafsirnya Al Jami’ li Ahkamil Qur’an, menjelaskan bahwa suatu makanan disebut halal jika dia terbebas dari larangan yang melarangnya untuk dimakan. Sedangkan tayyib menurut arti bahasa bisa berarti baik. Makanan yang tayyib berarti makanan yang baik. Makanan yang baik tersebut untuk konteks sekarang mungkin dapat kita artikan “makanan bergizi”.

Dalam Tafsir Al-Misbah dijelaskan,  bahwa seruan kehalalan makanan pada ayat ini ditujukan kepada seluruh manusia, apakah beriman kepada Allah SWT atau tidak. Namun demikian, tidak semua makanan dan minuman yang halal otomatis tayyib, dan tidak semua yang tayyib adalah halal sesuai dengan kondisi masing-masing. Ada yang halal dan baik untuk seseorang yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, dan ada juga yang kurang baik untuknya, walaupun baik untuk yang lain. Ada makanan yang baik tetapi tidak bergizi, dan ketika itu ia menjadi kurang baik.

Tentang halalnya makanan ini, Sahal bin Abdullah, sebagaimana juga dikutip oleh Al Qurthuby berkata, “Tidak bisa makan halal secara benar, kecuali mengetahui ilmunya dan suatu harta tidak bisa disebut halal kecuali telah terbebas dari enam hal, yaitu: pertama, terbebas dari riba; kedua, terbebas dari barang haram; ketiga, terbebas dari usaha yang curang; keempat, terbebas dari praktik korupsi; kelima, terbebas dari perkara yang makruh; dan keenam terbabas dari perkara syubhat”.

Dari nasihat tersebut dapat kita ambil pelajaran, bahwa suatu makanan bisa disebut halal, di samping bendanya memang halal, cara mendapatkannyapun harus pula halal. Sepotong roti yang kita makan sebenarnya adalah halal, tetapi roti yang kita makan tersebut bisa menjadi tidak halal jika kita memperolehnya dengan cara yang tidak dibenarkan, seperti dari hasil mencuri milik orang lain. Bahkan Islam mengatur, bahwa suatu makanan menjadi halal tidak saja dilihat dari segi bendanya dan cara memperolehnya, tetapi juga dilihat dari cara memakannya. Sepotong ayam goreng adalah halal, karena ayam tersebut memang hewan yang boleh dimakan dan kita dapatkan dengan cara yang halal pula. Tetapi, akan menjadi tidak halal, apabila ayam tersebut kita goreng begitu saja tanpa kita dahului dengan sembelihan yang sesuai dengan aturan syara’.

Pertanyaan kita selanjutnya mungkin adalah, mengapa soal halal dan tidak halal ini perlu diatur oleh Islam. Ada beberapa sebab yang menjadi alasannya, antara lain adalah karena makanan yang kita makan akan mempengaruhi diri manusia.

Rasulullah bersabda, ”Barang siapa yang makan barang halal akan lembut hatinya, dan yang biasa makan haram akan keras hatinya”. Lebih jauh, Hujjatul Islam Al Ghazali menerangkan kepada kita, bahwa kekenyangan dengan perkara halal bisa mengakibatkan kerasnya hati, bisa merusak kecerdasan, menghilangkan hafalan, memberatkan anggota tubuh untuk melakukan ibadah kepada Allah dan mencari ilmu, serta menjadi penolong pasukan setan, seperti suka berbuat dhalim, suka melalaikan amanat, dan suka berkhianat. Selanjutnya beliau mengatakan:  

“Jika kekenyangan dengan makanan halal saja bisa menjadi sumber dari setiap kejahatan, maka bagaimana pula jika diri kita kekenyangan dengan makanan haram?”

Alasan lain, agama mengatur soal makanan ini, sebab makanan yang kita makan akan berpengaruh buruk kepada nilai ibadah yang setiap hari kita lakukan.

Diriwayatkan oleh Hafidz bin Mardawaih dari Ibnu Abbas, suatu ketika Saad bin Abi Waqas memohon kepada Rasululah SAW agar dijadikan oleh Allah sebagai orang yang selalu terkabul doanya. Rasulullah SAW hanya menjawab, “Hai Saad, perbaikilah urusan makananmu, niscaya engkau menjadi orang yang selalu terkabul setiap doanya”.

Selanjutnya Rasulllah SAW melanjutkan nasihatnya seraya bersumpah, “Demi Dzat yang diri Muhammad berada dalam genggamannya. Jika seorang laki-laki memasukkan sesuap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima doanya selama 40 hari, dan setiap hamba yang dagingnya tumbuh dari makanan haram atau riba, maka neraka lebih layak untuk melayaninya”.

Dari uraian di atas dapat kita peroleh penjelasan bahwa makanan yang kita makan dapat berpengaruh tidak saja kepada hal-hal yang bersifat material (kesehatan dsb.) tetapi juga kepada hal-hal spiritual (non fisik), seperti perilaku dan status peribadatan, bahkan nasib manusia kelak di akhirat.

Lantas, sudahkah kita menyeleksi makanan kita sehari-hari untuk keluarga kita?

“Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan yang membawa kebaikan bagi semua orang sesuai kesanggupan dan kemampuanku. Dan yang memberi pertolongan untuk mencapai tujuan itu hanyalah Allah” (Al-Quran, Surat Hud Ayat 88)