Ketua PWNU NTT Mantu, Ini Khotbah Nikah Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu

 

SAMSUMBA.com - Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Nusa Tenggara Timur (NTT), KH. Pua Monto Umbu Nay, yang juga Kepala Bidang Pendidikan Islam Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) NTT mantu putrinya, Ayi Adumu Istijabah dengan seorang pria bernama Dedi Kurniawan, Sabtu (27/5/2023).

Wakil Ketua Pengadilan Agama (PA) Waingapu, H. Fahrurrozi Zawawi mendapat kesempatan menyampaikan khotbah nikah pada akad nikah di Lapangan Gelora Pada Eweta (Arena Pacuan Kuda) Waikabubak Sumba Barat. Orang nomor dua di PA Waingapu yang biasa disapa Ustadz Fahrurrozi itu menyampaikan pesan-pesan penasihatan kepada kedua mempelai.

“Dalam Al-Quran disebutkan, Ya Ayyuhalladzina Amanu Aufu bil ’Uqud. Artinya, hai orang-orang yang beriman, penuhilah, tunaikahlah akad-akad. Dalam kitab-kitab tafsir dijelaskan, salah satu akad yang dimaksud adalah akad nikah,” katanya di hadapan ribuan orang, termasuk Bupati Sumba Barat.

Oleh karena itu, sambungnya, masing-masing suami istri harus memegang teguh akad, yaitu komitmen hidup bersama sebagai suami istri. Masing-masing harus melaksanakan kewajibannya.

Dijelaskannya, suami itu pemimpin, pengayom, pelindung bagi istrinya sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surat An-Nisa Ayat 34. Sama seperti pemimpin negara dan pemimpin kabupaten, setiap pemimpin mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memastikan orang yang dipimpinnya itu sejahtera, tidak kekurangan apapun, tidak kelaparan, tidak kepanasan. Bahkan infrastruktur pun harus disiapkan jangan sampai ada rakyat yang menderita.

“Umar bin Khattab pernah mengatakan, seandainya ada seekor keledai, ada anak keledai, atau anak kuda yang jatuh terperosok di jalan pastilah kelak aku akan dimintai pertanggungjawaban kenapa tidak kamu perbaiki jalan itu. Oleh karena itu, sebagai pemimpin, hanya bedanya skalanya adalah skala keluarga, pastikan istri tidak kekurangan. Jatuh saja nanti akan dimintai pertanggungjawaban di Akhirat,” terangnya.

Ustadz Fahrurrozi juga mengingatkan kepada mempelai pria supaya mempergauli istrinya dengan cara yang makruf (baik) sebagaimana dipesankan dalam Al-Quran Surat An-Nisa Ayat 19.

“Tutur katanya, bicaranya harus baik. Kadang kita ini (suami) sama orang lain, sama teman sekantor, bicaranya sangat lembut. Tetapi dengan istri, kita sering membentak-bentak, berkata kasar. Seolah-olah kita lupa, bahwa kita bisa berdiri ini, baju yang kita pakai ini disetrika oleh istri. Kita bisa berdiri dengan gagah ini, karena sarapan disiapkan oleh istri. Maka, jangan sampai kita hanya bagus ketika tampil di masyarakat, tetapi dengan istri sendiri kita sering berkata-kata yang kasar,” tegas Wakil Ketua PA Waingapu asal Pati Jawa Tengah itu.

Lanjutan dari Surat An-Nisa Ayat 19 di atas, ungkap Ustadz Fahrurrozi, berisi pesan agar suami bersabar manakala dalam perjalanan rumah tangga merasa tidak suka dengan sikap dan perilaku istri. Sebab, bisa jadi suami tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

“Ayat ini sejalan dengan Hadits Nabi, La Yafrak Mukminun Mukminatan, janganlah seorang mukmin, dalam hal ini suami membenci istrinya. In Kariha minha Khuluqan, jika dia tidak suka ada perangai, ada perilaku dalam satu sisi, Radhiya minha Akhar, pastilah dia akan suka di sisi-sisi yang lain,” paparnya.

Dicontohkannya, ketika suami mendapati istrinya tidak bisa memasak, janganlah buru-buru itu dijadikan alasan untuk membencinya. Akan tetapi, hendaklah dilihat sisi-sisi kelebihan yang lain. Siapa tahu istri ternyata sangat pintar berbisnis. Ketika istri kurang bisa berdandan, bisa jadi dia mempunyai kelebihan yang lain. Misalnya, dia sangat cerdas (berilmu) sehingga dapat mengajar dan memajukan Pulau Sumba.

Sementara itu, kepada mempelai perempuan, Ustadz Fahrurrozi berpesan agar menjadi istri yang taat kepada suami, bisa menjaga kehormatan dan pandai bersyukur.

“Hadits Nabi, La Yandhur Allahu ila Imroatin La Tasykuru li-Jauziha wa Hiya La Tastaghni ‘anhu. Allah tidak akan melirik, tidak akan memandang seorang perempuan yang tidak bersyukur mempunyai suami padahal hidupnya ditanggung oleh suami. Makan minum dan seluruh kebutuhannya ditanggung oleh suami, tetapi dia tidak pernah bersyukur,” ujarnya.

Ditambahkannya, seorang istri harus pandai bersyukur. Berapapun nafkah yang diberikan suami, hendaklah diterima dengan ikhlas. Jangan lihat berapa, tapi lihatlah bahwa untuk mendapatkan nafkah itu suami telah bekerja keras, membanting tulang dan memeras keringat demi membahagiakan istrinya.

Lebih lanjut, Ustadz Fahrurrozi mengutip Kitab Dhaul Mishbah fi Bayan Ahkamin Nikah karya Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Disebutkan bahwa kewajiban istri kepada suaminya itu banyak.

“Di antaranya, An Tataharra Ridhohu. Hendaklah istri berusaha meraih keridhoan suami. Buatlah suami itu senang bahagia, bagaimanapun caranya. Dengan memasak, dengan pakai baju, dengan apa saja yang membuat suami itu sampai ridho kepada istri. Wa Tatajannaba Sukhtahu Ma Amkan. Dan usahakan jangan sampai suami itu murka, marah. Misalnya suami pulang dari kerja, jangan istri itu sibuk main HP. Itu bisa membuat suami tersinggung, marah. Jadi, seorang istri itu harus bersungguh-sungguh mencari keridhoan suami dan menghindarkan kemarahan suami,” urainya.

Pada kesempatan itu pula, Ustadz Fahrurrozi menjelaskan bahwa suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang sama dan seimbang. Urusan rumah tangga harus dibicarakan dan diputuskan oleh suami istri bersama, sebagaimana dicontohkan dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 233 soal penyapihan. Pada dasarnya ibu menyusui itu selama 2 tahun. Akan tetapi dibolehkan menyapih sebelum 2 tahun dengan syarat atas kerelaan dan musyawarah suami istri.

Di akhir khotbah nikah, Ustadz Fahrurrozi mendoakan kedua mempelai mudah-mudahan berhasil mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Baroka Allahu lakuma wa Baroka ‘alaikuma wa Jama’a bainakuma fi Khoir. (samyad)

“Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan yang membawa kebaikan bagi semua orang sesuai kesanggupan dan kemampuanku. Dan yang memberi pertolongan untuk mencapai tujuan itu hanyalah Allah” (Al-Quran, Surat Hud Ayat 88)