Suara deru motor matic berhenti di depan sebuah rumah berdinding abu-abu. Beberapa detik kemudian, terdengar derap kaki berlari menuju sebuah kamar. Pintu dibanting dengan kasar. Tangis seorang gadis terdengar meraung-raung dari balik dinding kamar.
Roya tidak menyangka, izin dispensasi kawinnya ke
Pengadilan Agama Selong ditolak oleh hakim. Padahal, gadis manis 14 tahun itu
sudah begitu kasmaran dengan kekasihnya, Nasrun. Pemuda 18 tahun yang ia kenal,
tiga bulan lalu. Keduanya berkenalan saat Roya mengantarkan kue pesanan Haji
Nasir ke rumahnya.
Nasrun pemuda yang tampan. Selain gagah ia juga saleh.
Nasrun lulusan pondok pesantren di Tete Batu. Ia anak tunggal Haji Nasir, tuan
guru di Desa Sekaroh. Nasrun pekerja keras. Badannya tegap dan kekar. Selesai mondok,
ia bekerja membantu ayahnya mengelola ladang.
Roya adalah remaja putri yang baru mekar. Ia baru
duduk di kelas 8 SMP. Keelokan parasnya membuat banyak pemuda jatuh hati.
Tubuhnya tinggi semampai dengan mata yang lentik. Ia termasuk siswi berprestasi
di sekolahnya. Banyak kompetisi sekolah yang ia menangkan.
Interaksi Roya dan Nasrun berlanjut saat Nasrun
ditunjuk guru sekolah Roya untuk membimbing Roya dalam ajang kompetisi Cerdas
Cermat PAI tingkat SMP se-Lombok Timur. Roya dan rekan satu regunya kerap
membuat janji bimbingan belajar dengan Nasrun di tepi Pantai Pink.
Asmara datang sekehendak hatinya ke hati manusia.
Panah asmara mengenai hati Nasrun dan Roya di tengah jernih riak ombak Pantai
Pink. Di antara hembusan angin semilir. Di antara bulir pasir bersemu merah
jambu. Di kilau pantulan cakrawala di atas lautan dan biru.
Hati Roya tertambat pada Nasrun. Hati Nasrun
terpenjara dalam jiwa Roya. Keduanya dimabuk cinta. Bimbingan belajar adalah
saat terindah bagi Roya dan Nasrun.
Hingga akhirnya Nasrun sadar, bahwa cinta mereka belumlah halal. Akan
tetapi, Gelora asmara antara Nasrun dan Roya seakan tak mampu dibendung lagi.
Setelah membicarakan dengan ayah dan ibunya, Nasrun mantap untuk menghalalkan
Roya menjadi miliknya. Tuan Guru Nasir tidak keberatan Roya menjadi menantunya.
Baginya, semakin cepat halal, semakin cepat pahala ibadah dalam pernikahan
mengalir untuk putranya. Bukankah menikah adalah separuh agama? Demikian pula
sang ibu yang sangat setuju gadis cantik itu menjadi menantunya. Bu Nurmah
malah meminta anaknya untuk menyegerakan proses adat Lombok dengan menculik
sang calon pengantin perempuan. Sebelum keduluan pemuda lain.
Akhirnya pada suatu sore, Roya dilarikan ke rumah
kerabat Nasrun di Dusun Pengoros, dekat rumah Pak Kades. Kerabat Nasrun pun
melapor kepada Pak Kades tentang Nasrun yang telah melarikan Roya. Berita itu
pun akhirnya sampai kepada Nurmin, ibunda Roya yang tinggal di Dusun Aro Inaq.
Sore itu, perempuan 50 tahun yang juga kader PKK itu
tengah kedatangan ibu-ibu dari DyK Selong untuk pembinaan Dasa Wisma. Pembinaan
sengaja dilakukan sore, karena di musim tanam dan panen, para ibu di Desa
Sekaroh baru punya waktu setelah Ashar. Karena sejak pagi hingga sore mereka
sibuk bekerja di ladang.
Di sela-sela pembinaan, Bu Nurmin curhat tentang
aliran PDAM yang hanya mengalir selama satu minggu sejak pemasangan.
“Alah Bu, keran PDAM ini hanya mengalir satu minggu
saja, setelah peresmian oleh Pak Bupati. Selanjutnya, keran ini tak berfungsi.
Padahal kami sudah bayar biaya pemasangan dan lain-lain,” ungkap Bu Nurmin yang
dikenal kritis terkait masalah-masalah di desanya. Ia termasuk kader PKK yang
paling aktif. Ia juga lantang menolak pernikahan dini di desanya. Ia juga
paling getol mengajak ibu-ibu untuk memperhatikan gizi anak-anaknya agar tumbuh
sehat dan pintar.
Meski bukan perempuan berpendidikan, Bu Nurmin aktif
dalam berbagai penyuluhan yang diadakan oleh kecamatan. Mulai dari sosialisasi
stunting, pencegahan pernikahan dini, pengelolaan sampah, kebersihan pantai dan
lain-lain. Bu Nurmin adalah perempuan kepala keluarga, sejak ditinggal merantau
suaminya ke Malaysia dan tidak tahu entah bagaimana kabarnya.
Bu Nurmin bekerja banting tulang menghidupi
keluarganya. Menjadi buruh tani harian. Membuat kue dan pekerjaan halal lainnya.
Semua dilakoninya demi menafkahi
kebutuhan anak-anaknya. Nurmin mempunyai empat anak. Tiga laki-laki dan satu
perempuan. Ketiga anak laki-lakinya meninggal saat usia balita karena diare
hebat. Oleh karena itu, ia sangat menjaga Roya. Anak satu-satunya yang masih
hidup. Ia sangat perhatikan asupan gizinya, kebersihan, pendidikannya, agar apa
yang terjadi kepada kakak-kakaknya tidak menimpa Roya. Maka tatkala seseorang
datang membisikkan informasi di tengah pembinaan Dasa Wisma oleh ibu-ibu DyK
Selong di rumahnya, langit seakan runtuh.
“Astaghfirullahaladzim!” pekiknya sambil kedua
tangannya memegangi kepala dan sedikit oleng. Ibu-ibu anggota organisasi wanita
peradilan itu sontak kaget dengan reaksi Ibu Nurmin.
“Eh, ibu ada apa, Bu?” tanya Bu Lela dengan logat
sundanya.
“Anak tiang Bu. Anak kesayangan tiang, semata wayang
tiang, huhuhu....,” tangis Bu Nurmin malah meledak sebelum ia menjelaskan.
Bu Ani, yang juga anggota DyK Selong bertanya kepada
orang yang membawa berita kepada Nurmin. “Ada berita apa, kok sampai begini?”
“Ehmm, anak perempuan Bu Nurmin dimerarik, Bu,” jawab
orang itu.
“Dimerarik itu apa?” tanya Bu Ani.
“Dimerarik itu dilarikan laki-laki, Bu. Itu proses
adat perkawinan di Lombok, Bu. Seorang laki-laki menculik dulu seorang perempuan
sebelum dijadikan istri,” jawab ibu itu.
“Hah?” Bu Ani kaget.
“Emang anak bu Nurmin umurnya berapa?” tanya Bu Ani
sambil menenangkan Bu Nurmin yang masih menangis tersedu-sedu.
“Anak saya masih kelas 8 SMP, Bu. Baru 14 tahun. Di
baru baligh setahun yang lalu. Dia anak yang pintar, huhuhu..,” tangis Bu
Nurmin pecah lagi.
“Saya ingin anak saya sekolah yang tinggi. Tidak
seperti saya yang tidak lulus SD. Saya juga dimerarik saat masih sekolah dulu.
Akhirnya terpaksa menikah di usia kecil. Saya tidak mau anak saya juga nikah
kecil seperti saya Bu, huhuhu...”, tangis Bu Nurmin semakin meledak.
“Ya sudah bilang saja sama yang menculik untuk balikin
anak ibu,” saran Bu Lela.
“Aib Bu. Anak perempuan yang sudah dimerarik
dipulangkan lagi ke rumah orang tuanya, itu aib keluarga. Saya tak sanggup
menanggung nyinyiran masyarakat kalau anak saya tidak jadi menikah setelah
diculik Bu,” Bu Nurmin bercerita sambil menangis tersedu-sedu.
“Tenang, Bu Nurmin! Tapi menurut saran kami, jangan
biarkan anak Ibu menikah di usia anak, apalagi di bawah tangan,” jelas Bu Ani.
“Banyak sekali kerugian buat perempuan yang dinikah
bawah tangan, Bu. Dia tidak akan bisa mendapat perlindungan hukum dari negara
jika di kemudian hari pernikahannya ada masalah,” ujar Bu Yuni.
“Untuk segi kesehatan, anak ibu juga masih terlalu
muda untuk nantinya punya anak. Rahimnya belum siap. Anak yang dilahirkannya
nanti rentan stunting, Bu. Lagi pula kasihan anak Ibu jika di usia remaja,
harus berhenti sekolah dan tidak bisa meraih cita-citanya. Ibu harus bicara
dengan anak Ibu, serta keluarga pihak laki-laki terkait masalah ini,” imbuh Bu
Ita.
Bu Nurmin tentu saja sudah tahu semua informasi itu
dari berbagai penyuluhan yang ia dapatkan. Akan tetapi secara praktik, ternyata
memang berat melawan kebiasaan yang sudah mandarah daging di masyarakat.
Atas saran ibu-ibu DyK, Bu Nurmin pun akhirnya
membicarakan hal ini kepada keluarga besarnya. Berbagai cibiran ia terima, baik
dari pihak keluarga besarnya maupun masyarakat, termasuk dari Ibunda Nasrun.
Terlebih juga Roya. Anak gadisnya yang sedang kasmaran ini, sudah tidak lagi
bisa berpikir jernih.
“Anak mau ibadah kok dilarang,” hujat Bu Nurmah ibunda
Nasrun kepada Bu Nurmin yang datang ke rumah keluarga Nasrun. Bu Nurmin
memberanikan diri datang untuk memohon agar perkawinan Nasrun dan Roya
dibatalkan. Sebelumnya, kerabat Nurmin telah memperingatkannya, bahwa apa yang
akan dilakukannya itu akan mencoreng nama baik keluarganya di masyarakat. Namun
Nurmin bersikukuh. Biarlah aib ini ia tanggung, demi masa depan Roya yang lebih
baik.
“Tabik Tuan Guru, tiang mohon ampure. Bukan sengaja
tiang hendak membuat aib keluarga. Tapi tiang minta agar putri tiang, Roya,
dipulangkan. Tiang ingin Roya sekolah dulu. Roya masih kecil. Belum siap untuk
menikah. Roya baru baligh setahun yang lalu. Tiang merasa belum tepat untuk
Roya menikah di usia sekarang,” pinta Nurmin kepada keluarga besar Nasrun
seraya bersimpuh duduk di lantai dan menundukkan kepalanya.
Saat peristiwa itu terjadi, Roya mendengarkan dari
balik kamar yang disediakan untuknya selama dimerarik.
Mendengar permohonan Bu Nurmin, Nurmah, ibunda Nasrun
naik pitam. Istri Tuan Guru Nasir itu tidak menyangka, Nurmin berani
membatalkan merarik yang sudah terjadi ini. Ia spontan menanggapi.
“Seharusnya side seneng, anak side dimerarik. Tandanya
anak side memang gadis yang diminati terune di desa ini. Ada yang mau menjaga
dan merawat. Side bebas dari tanggung jawab merawat anak Side. Beban hidup
berkurang. Tidak susah payah lagi mengurus anak,” ujar Bu Nurmah dengan nada
ketus.
“Saya ingin Roya sekolah dulu yang tinggi,” ujar Bu
Nurmin dengan rendah hati sambil tetap menunduk.
“Alah, buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi.
Nanti pada akhirnya tugas wajib dia kan melayani suaminya, mengurus rumah
tangga. Nggak perlu sekolah tinggi untuk itu,” balas Bu Nurmah.
“Roya anak tiang, Bu. Saya ingin dia tumbuh jadi
perempuan yang berilmu, berpendidikan, apapun nanti pilihan hidup dia di masa
depan,” timpal Bu Nurmin.
“Tolong panggilkan anak tiang,” pinta Bu Nurmin kepada
keluarga Nasrun. Beberapa menit kemudian, Roya muncul.
“Roya, ayo pulang Nak. Lanjutkan sekolah dulu!” ajak
Nurmin.
“Tidak Inaq. Roya mau nikah sama Nasrun. Roya sudah
cinta mati sama Nasrun Inaq. Roya tetap ingin menikah dengan Nasrun,”
rengeknya. Meski telah dinasihati akan pentingnya pendidikan dan ruginya
menikah di usia dini, Roya tetap bersikeras.
Nurmin menarik nafas. Akhirnya Bu Nurmin mengalah, ia
merelakan Roya menikah dengan syarat, pernikahan putrinya harus tercatat dan
diakui oleh negara. Semua menyepakati syarat itu.
Meski harus menempuh jarak yang sangat jauh untuk
mencapai Pengadilan Agama Selong, Bu Nurmin tetap tabah demi dispensasi kawin
dari Pengadilan Agama Selong untuk pernikahan putrinya. Akan tetapi, setelah proses yang
melelahkan Pengadilan Agama Selong memberi keputusan untuk menolak dispensasi kawin Roya.
Kini, Bu Nurmin duduk di samping Roya yang sedang
meraung-raung. Dengan sabar ia membelai rambut lembut putrinya yang terurai.
“Pokoknya Roya mau menikah sama Nasrun Inaq,” isaknya.
“Roya, dengarkan Inaq! Apakah masa depanmu ingin
seperti Inaq. Inaq dimerarik sama Amaq side, lalu menikah di bawah tangan. Saat
side di kandungan, Amaq side pergi meninggalkan Inaq dan ketiga kakak side ke
Malaysia. Sejak Amaq side pergi, Amaq hanya sekali mengirimkan uang. Setelah
itu tidak ada kabarnya lagi. Inaq hanya bisa tabah saat ketiga kakak side
meninggal dunia. Inaq tanggung penderitaan itu sendiri. Inaq tegar.
Inaq perempuan bodoh, tidak bisa berbuat apa-apa untuk
nasib Inaq. Inaq banting tulang membesarkanmu. Berharap Roya jadi anak
perempuan shalihah, berpendidikan yang sukses kelak. Mengangkat harkat dan
martabat keluarga. Inaq ingin side sekolah yang tinggi.”
“Tapi Inaq, Roya cinta dengan Nasrun,” rajuk Roya.
“Kalau memang Nasrun jodoh Roya, pada saatnya kalian
pasti akan dipersatukan kembali dalam keadaan yang lebih baik. Yakinlah akan
kuasa Allah Roya. Semua sudah Allah atur jodohnya.”
Roya diam merenung. Air matanya terus mengalir. Dia sangat
mencintai Nasrun, tapi ia juga tidak ingin ibu yang telah mengandung, merawat
dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang harus bersedih dengan
keinginannya. Ibu yang sendirian membanting tulang untuk memenuhi kebutuhannya.
Ia tak tega jika harus mematahkan harapan sang ibu pada dirinya.
Setelah beberapa hari mengurung diri di kamar. Suatu
hari Roya menemui ibunya yang tengah memasak di dapur.
“Baiklah Inaq, Roya akan menuruti apa kata Inaq. Tapi
izinkan Roya untuk belajar di pesantren.”
Dengan bahagia Nurmin memeluk putrinya.
Roya diantar Nurmin ke Pondok Pesantren Asshohwah al-Islamiyah Dusun Bilatepung Desa Beleke Lombok Barat. Berkat prestasinya, Roya mendapatkan beasiswa selama mondok hingga lulus dari pesantren.
Sementara itu, keadaan Nasrun setelah gagal menikah
dengan Roya sangat terpukul. Nasrun bagai badan tak bernyawa. Ia tidak mau lagi
berinteraksi dengan orang. Kerjaannya hanya mengurung diri di kamar. Ayahnya
sangat prihatin. Lalu memutuskan untuk mengirim Nasrun ke sebuah pesantren di
Bondowoso Jawa Timur untuk memulihkan kondisi psikologisnya.
Bu Nurmah amat marah dengan Nurmin. Setiap hari ia
datangi rumah Nurmin dan mengata-ngatai perempuan itu dengan kalimat yang tidak
pantas. Masyarakat sangat prihatin kepada dua keluarga itu. Nurmin mendapat
stigma buruk di tengah masyarakatnya. Karena tidak kuat dengan perlakuan yang
ia dapatkan dari penduduk desanya, Nurmin akhirnya pindah dari desa itu. Tidak
ada yang tahu di mana saat ini perempuan itu tinggal.
Bersambung...