Anita Qurroti A’yuni
Deru mesin Legundi menyeruak di tengah hamparan laut
Madura. Kapal yang menghubungkan Pulau Jawa dan Lombok itu pelan-pelan mulai
meninggalkan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menuju Pelabuhan Lembar di Lombok
Barat. Kapal lima lantai yang mampu menampung dua ratus mobil itu melaju dengan
kecepatan 20 km/jam. Deret kursi krem yang saling berhadapan dengan meja kotak
di tengah-tengahnya, terisi hampir separuh. Seorang perempuan bermata sayu
duduk tepat di sebelah jendela kaca. Sambil termenung ia menatap lautan biru.
Kilau pantulan sinar mentari menerpa kulit wajahnya
yang halus mulus. Sayangnya perempuan Lombok rupawan itu kini jarang sekali
tersenyum. Ia lebih sering terlihat murung. Padahal, senyumnya selalu membuat
orang-orang di sekitarnya bahagia. Sejak empat tahun lalu, senyum itu meredup.
Senyum manis itu benar-benar hilang saat sebuah kalimat cerai ditujukan
kepadanya tiga tahun lalu lewat sebuah pesan singkat dari Negeri Jiran.
Saat sendiri, lamunan Resti kerap melayang ke masa
lalu. Ia merenungi nasibnya yang gagal menjalani rumah tangga bersama Maladi.
Suami yang menikahinya empat tahun lalu, menceraikannya. Seperti siang itu, saat
ia kembali dari sebuah pelatihan di ITS Surabaya. Guru mata pelajaran Fisika di
SMP Negeri 1 Selong itu lagi-lagi termenung selama perjalanan yang membawanya
melintasi Surabaya-Lombok selama 19 jam di atas Kapal Legundi.
“Permisi, boleh saya mengecas HP di sini?” tanya
seorang pria berjaket hitam. Suara itu memecah lamunan Resti. “Silakan!”
Sambil menunggu HP-nya penuh, pria itu duduk di
hadapan Resti. “Ibu mau ke mana?” tanyanya. “Mau pulang ke Lombok
Timur,” jawab Resti.
“Bapak mau ke mana?” tanya Resti balik.
“Saya mau ke Kuta Mandalika. Ada acara di Jawa ya,
Bu?”
“Iya, habis pelatihan di ITS.”
“Oh, ya. Itu kampus saya dulu. Saya ambil jurusan
teknik sipil di sana.”
“Wah, Bapak seorang insinyur. Maaf, siapa nama Bapak?”
“Arwan. Lengkapnya Ali Arwan.”
“Pak Arwan, ada acara apa di Lombok?”
“Sudah beberapa bulan ini saya ikut menangani sebuah
proyek pembangunan hotel di Kawasan
Mandalika.”
“Ibu siapa namanya?”
“Resti. Resti Yuliana. Jangan panggil Ibu lah!”
“Ok. Maaf, saya panggil mbak.”
Kemurungan Resti mendadak hilang saat
berbincang-bincang dengan pria bercelana jeans yang cukup tampan di hadapannya.
“Kenapa Mbak Resti naik Kapal Legundi, tidak naik
pesawat?”
“Saya suka naik kapal. Dari atas kapal kita bisa
melihat pemandangan indah di lautan. Dulu waktu saya kuliah di Unesa Surabaya,
kapal ini belum ada. Andai saja waktu itu sudah ada, pasti saya akan senang sekali.”
“Oh, Mbak Resti kuliah di Jawa ya? Sudah berapa tahun
lulusnya?”
“Iya, di Unesa Jurusan Pendidikan Fisika. Lima tahun
yang lalu lulus.”
“Wah, sama. Saya lulus di ITS lima tahun yang lalu.
Sayang kita tidak kenal ya, padahal sama-sama di Surabaya.”
“Pak Arwan sendiri kenapa naik kapal? Naik pesawat
dari Surabaya ke Lombok bukankah lebih cepat dan lebih murah?”
“Jangan panggil pak! Saya kan masih muda,” kata Arwan
sambil tersenyum.
“Maaf. Saya panggil mas saja.”
“Saya bawa mobil. Selama di Lombok saya selalu membawa
mobil. Biar leluasa jika mau ke mana-mana. Juga leluasa jalan-jalan melihat
keindahan pantai di Lombok dan Gunung Rinjani.”
Resti mengangguk-angguk sambil tersenyum. Senyuman itu
benar-benar membuat Arwan bahagia. Ia tak dapat menyembunyikan perasaannya
bahwa ia bahagia di dekat Resti.
Arwan melihat HP-nya. Walaupun belum penuh 100 %, ia
merasa sudah cukup untuk bisa menghubungi keluarganya. “Saya pamit ke tempat
duduk saya lagi ya.”
“Memangnya Mas Arwan duduk di mana?”
“Di ruang depan. Tadi tempat cas di sana penuh.
Makanya saya cari di sini.”
“Pindah saja sini! Saya di sini sendiri. Kan enak
kalau ada teman ngobrol selama perjalanan,” ajak Resti.
“Hmm, boleh. Kalau gitu saya ambil tas dulu.”
Bak gayung bersambut, hati Resti berbunga-bunga karena
ajakannya diterima. Pria itu beranjak menuju ruang depan.
Ada banyak fasilitas yang disediakan Kapal Legundi. Di
lantai tiga, ada ruang depan yang terdiri dari tempat-tempat duduk bersofa warna
warni dengan meja kecil di tengahnya. Di ruangan depan semua alas kaki harus
dilepas. Di ruangan belakang tersedia kamar sopir. Di situ para sopir bisa merebahkan dirinya untuk beristirahat. Di ruangan
tengah, ada tempat duduk penumpang empuk yang berjajar dengan meja panjang di
hadapannya. Semua ruangan dilengkapi
pendingin ruangan, sehingga penumpang tidak akan merasa gerah. Disediakan juga
beberapa tempat cas HP di dinding kiri dan kanan.
Jika penumpang merasa lapar, mereka bisa naik ke
lantai empat untuk menikmati berbagai makanan yang disediakan food court. Ada
bakso, makanan ringan dan lainnya. Di lantai paling atas, penumpang bisa
menikmati pemandangan laut dengan leluasa. Di sana spot foto lautan yang
diambil tampak lebih indah.
Arwan datang dengan membawa sebuah ransel coklat. Ia
duduk kembali di depan Resti. Saat mereka berbincang, sesekali Legundi
berpapasan dengan kapal lain yang berlainan arah. Resti kerap memandang kapal
yang lewat itu dari jendela kaca di sampingnya. Matahari mulai condong ke
Barat. Siluet senja mulai menghampar jingga di atas cakrawala. Cahaya mata
Resti berbinar, ia kagum menatap fenomena alam nan indah itu.
Melihat perempuan di depannya tertarik dengan fenomena
yang sedang terjadi, Arwan menawarkan diri untuk mengajaknya berfoto. “Mau foto
dengan latar senja di luar sana?” tawar Arwan. Perempuan berhijab biru itu
mengangguk dan memberikan smartphonenya kepada Arwan. “Tolong ya Mas!”
pintanya. Pria itu menerimanya sambil tersenyum. Ada yang berdesir di dalam
diri Resti. Sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan dengan mantan
suaminya dulu.
Arwan dan Resti naik ke lantai lima untuk mendapat
gambar yang lebih indah. Di atas sana, telah banyak penumpang yang tengah asyik
mengambil foto-foto senja dari atas kapal. Resti tersenyum manis saat Arwan
mengabadikan fotonya dengan latar belakang senja yang indah di tengah lautan
luas. Kemalangan yang dideritanya selama ini seolah menguap saat bersama Arwan.
Pria itu membuat hidupnya kembali bergairah.
Angin laut bertiup kencang, mengibar-ibarkan hijab
biru yang Resti kenakan. Beberapa bagian tubuh perempuan itu tampak menonjol
karena hembusan angin. Arwan melihat perempuan di dekatnya berusaha keras
menutupi auratnya yang tiba-tiba tersingkap. Segera Arwan melepas jaket hitam
lalu memberikan kepada Resti. Jantung Arwan berdegub kencang saat ia menutupi
bagian tubuh Resti dengan jaketnya.
“Terima kasih, Mas!” ucap perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu. Arwan mengangguk kaku, berusaha mengendalikan diri.
Beberapa saat kemudian, suara azan dari dalam kapal mengalun. “Shalat Maghrib di Mushala yuk!” ajak Arwan. Resti mengangguk. Ia kagum, pria itu tidak hanya pintar dan mapan, tapi juga shaleh. Arwan adalah tipe pria idamannya. Mereka berdua turun ke lantai empat. Mushala di atas Kapal Legundi sangat nyaman. Pendingin ruangan berhembus sejuk di antara permadani empuk dan bersih. Di sudut ruangan ada rak kaca tempat menyimpan mushaf Alquran dan perlengkapan shalat. Wilayah perempuan dan laki-laki dibatasi sebuah papan putih yang panjang. Arah kiblat mushala selalu berubah-ubah sesuai posisi kapal.
“Mas Arwan kalau di kapal gini, shalatnya normal apa
dijamak qashar?” tanya Resti.
“Shalat seperti biasa,” jawab Arwan.
“Kenapa nggak dijamak qashar? Kan musafir dapat
keringanan untuk menjamak qashar shalat?” tanya Resti lagi saat keduanya
menuruni tangga.
“Itu benar. Bagi yang mau ambil rukhsah atau
keringanan, silakan. Itu dibolehkan. Tetapi saya memilih untuk shalat biasa
saja. Karena saya tidak menemukan kesulitan untuk melaksanakan shalat layaknya
orang mukim di kapal ini. Lagi pula, saya tidak akan ke mana-mana. Hanya di
kapal, duduk, makan dan tidur saja. Justru, akan lebih baik kalau kita
memperbanyak menghadap Allah dan berdoa mohon diselamatkan perjalanan ini
sampai ke daratan,” jawabnya.
Resti mengangguk. Ia pun melakukan hal yang sama
selama di kapal. Mereka berdua shalat Maghrib berjamaah dengan penumpang lain,
dan tetap di dalam mushala yang sejuk itu sampai datang waktu shalat Isya.
Usai shalat Isya, Arwan mengajak Resti makan bakso di
kantin depan mushala. Arwan begitu gagah di mata Resti. Demikian pula yang
Arwan rasakan. Aura Resti begitu memesona, menimbulkan gelora yang tak
terkendali dalam diri pemuda berusia dua puluh delapan tahun itu.
“Mas Arwan sudah menikah?” tanya Resti.
“Belum.”
“Calon istri?” tanyanya lagi.
“Belum.”
“Sudah pernah nembak perempuan atau pacaran?”
“Belum.”
Mata Resti terbelalak tak percaya. Pemuda setampan
Arwan belum pernah menjalin hubungan dengan satu perempuan pun. “Kenapa?”
“Saya masih fokus dengan pekerjaan. Saat saya tertarik
kepada seorang perempuan dan saat itu saya belum mampu menikahinya maka saya
tidak akan mengungkapkannya. Saya ingat pesan kyai saya yang mengutip sebuah
hadits Nabi, man ashiqa fakatama wa’affa wamaata maata syahiida. Siapa yang
jatuh cinta, lalu ia pendam rasa itu karena belum mampu untuk menikah, ia
sembunyikan cintanya itu sambil ia tetap menjaga diri, jika ia mati sebelum
sempat ia ungkapkan cintanya itu maka matinya tergolong mati syahid.”
“Subhanallah. Mas Arwan dulu mondok di mana?”
“Di Darul Ulum Peterongan Jombang.”
“Asli Jombang?”
“Bukan. Saya lahir di Desa Pekalongan Kecamatan Winong
Kabupaten Pati, Jawa Tengah.”
“SD dan SMP di mana?”
“Dari TK sampai Tsanawiyah saya sekolah di Tarbiyatul
Banin di desa saya. Setelah itu saya meneruskan ke SMA Darul Ulum dan mondok di
Asrama Hidayatul Quran.”
“Terus ke ITS?”
“Betul.”
“Langsung kerja?”
“Ya, kerja jadi kontraktor di Semarang.”
“Tidak lanjut S2?”
“Sudah. Tahun lalu selesai S2 di Fakultas Hukum Undip
Semarang.”
“Kok Hukum? Kan S1 Teknik?”
“Saya ambil konsentrasi Hukum Bisnis. Dari pengalaman
kerja, saya merasa perlu belajar hukum. Dan ternyata benar, saya jadi tahu
hukum perusahaan, hukum bisnis, hukum jaminan, hukum kekayaan intelektual, hukum perdagangan internasional, hukum kontrak,
hukum lingkungan dan tata ruang, dan hukum-hukum lainnya.”
Semakin lama bicara, pesona Arwan semakin membuat
Resti kagum. Tutur katanya, nada bicaranya sangat indah didengar. Wawasan pria
itu juga membuat Resti kagum.
“Apa Mbak Resti punya kekasih atau suami?” tanya Arwan
balik.
“Tidak ada. Saya sudah berpisah dengan suami tiga
tahun yang lalu.”
“Oh, sudah menikah?”
“Iya, sudah menikah dan sudah bercerai. Sekarang saya
janda, Mas Arwan. Pernikahan saya dulu, hanya untuk menutupi aib keluarga
karena adat merarik yang masih berlaku di masyarakat Sasak. Saya dilarikan oleh
seorang pemuda saat pulang mengajar. Dia menyembunyikan saya dalam bale
panyeboqan selama tiga hari. Setelah itu datang utusan ke rumah orang tua saya
yang mengabarkan bahwa saya telah dimerarik. Menurut para orang tua di desa
saya, anak gadis yang dilarikan oleh pemuda adalah sebuah kebanggaan. Aib bagi
keluarga, bila gadis itu kembali ke rumah orang tuanya tidak dalam
iring-iringan nyongkolan. Meski saya tidak mencintai pemuda itu, saya pasrah
untuk dinikahkan karena sudah menjadi kebiasaan. Terlebih, pemuda itu memberi
mahar yang mahal kepada orang tua saya. Semakin sulit bagi orang tua saya
menolak pinangan itu. Tapi begitu kami menikah, sebulan kemudian ia kembali ke
Malaysia. Saya tinggal serumah dengan suami hanya satu bulan saja. Itu pun saya
tidak bahagia, karena tidak ada cinta di dalamnya. Setahun berikutnya ia
menjatuhkan talak yang dikirim melalui sebuah pesan singkat dan diikuti dengan
kedatangan orang tuanya ke rumah yang intinya menyerahkan saya kembali ke orang
tua saya.”
Arwan menyimak dengan baik uraian panjang yang
disampaikan Resti. Ia tidak menyangka, perempuan cantik di hadapannya menyimpan
masa lalu yang suram. Yang membuatnya kaget, kok bisa perempuan secantik Resti
disia-siakan begitu saja oleh laki-laki. Resti tidak hanya cantik di mata
Arwan, tetapi juga cerdas dan baik. “Seandainya dia istriku, akan kudorong dia
untuk maju mengejar karirnya sebagai guru, akan kupenuhi kebutuhannya untuk
meningkatkan kemampuan sebagai guru. Karena kalau guru hebat tentu
murid-muridnya akan mendapatkan manfaat yang besar. Seandainya dia istriku,
pastilah anak-anakku akan mendapatkan pendidikan terbaik,” lamun Arwan.
“Mas Arwan, sampai detik ini, tak ada satu pria pun
yang membuat saya begitu terpesona sampai saya bertemu Mas Arwan,” kata Resti.
Pandangan mereka berdua saling bertemu. Kehangatan
menjalar di antara keduanya di malam yang dingin. Ingin rasanya Arwan merengkuh
perempuan di depannya saat itu. Namun ia berusaha menahan karena belum
saatnya. Akhirnya, Arwan mengalihkan perhatiannya ke arah piring bakso. Meski
ombak laut malam itu sedikit tinggi menyebabkan Kapal Legundi bergoyang ke kiri
dan kanan, keduanya menyantap bakso dengan tenang. Hati mereka diam-diam tengah
merajut harapan satu sama lain.
Lama mereka berbincang di kantin. Walaupun di tempat
itu ada penumpang lain yang juga menikmati bakso, keduanya tidak menghiraukannya.
Selesai makan, Resti menuju tepi kapal untuk melihat pemandangan laut di malam
hari. Ia suka menatap gemerlap lampu rumah penduduk dari atas Kapal Legundi di
tengah lautan.
“Indah sekali pemandangannya bukan?” ujar Resti.
“Iya, seindah kamu, Resti,” puji Arwan. Resti
tersipu-sipu dengan pujian Arwan. Perempuan itu menunduk malu. Pipinya bersemu
merah.
“Maukah kamu menjadi bagian dari hidupku, Resti?”
pinta Arwan. Perempuan itu mengangguk. Hatinya berbunga-bunga. Malam itu mereka
lalui dengan amat bahagia. Setelah puas menikmati angin laut di malam hari,
dengan ditemani kerlip bintang di langit mereka pun kembali ke ruangan.
Mereka menghabiskan malam dengan berdiskusi berbagai
hal. Resti adalah kawan diskusi yang menyenangkan buat Arwan. Ia mampu
mengimbangi obrolan Arwan. Mereka larut dalam pembicaraan yang asyik hingga tak
terasa waktu menunjukkan lewat tengah malam. Keduanya akhirnya pun tertidur
dengan posisi duduk.
Saat azan Subuh berkumandang, mereka berdua bangun dan
menuju mushala. Setelah shalat, mereka naik ke lantai lima, menyambut terbitnya
matahari.
“Kamu yakin serius dengan hubungan ini, Mas?” tanya
Resti.
“Tentu saja,” jawab Arwan mantap, yang melambungkan
harapan bagi Resti.
Mereka berdua sepakat untuk datang menemui kedua orang
tua Resti di Lombok Timur guna membicarakan kelanjutan hubungan mereka.
Usai menyantap sarapan yang disediakan kapal, mereka
mengobrol sebentar lalu istirahat kembali. Karena semalaman keduanya asyik
ngobrol, mereka lelah dan kurang tidur. Pemandangan Gunung Agung nan gagah di
Pulau Bali mereka lewatkan karena terlelap tidur. Hingga waktu menunjukkan
pukul 12 siang, Arwan dan Resti bangun lalu membersihkan diri. Keduanya menuju
kamar mandi masing-masing. Toilet di atas kapal cukup bersih dan nyaman.
Beberapa waktu kemudian Arwan dan Resti telah kembali
duduk berhadapan. Keduanya tampak lebih segar. Wajah mereka sama-sama
memancarkan keceriaan saat menatap satu sama lain. Suara awak kapal mengumumkan
bahwa Legundi akan merapat di Pelabuhan Lembar sekitar satu jam lagi.
Sambil menunggu sampai daratan Lombok, Arwan membuka
kembali perbincangan dengan Resti. Kali ini ia ingin memastikan betul, bahwa
perempuan yang ia cintai di depannya berhak ia miliki.
“Kamu
benar-benar telah resmi bercerai dengan suamimu?” tanya Arwan hendak meyakinkan
kejelasan status Resti.
“Tentu saja. Tiga tahun lalu kami bercerai.”
“Maksudku, apakah
kamu telah memiliki akta cerai dari Pengadilan Agama?”
“Tidak. Dia mentalak saya lewat sms lalu keluarganya
dan kepala dusun datang ke rumah menyerahkan saya kepada orang tua. Banyak
saksinya.”
“Jadi kamu tidak memiliki akta cerai?” ujar Arwan
lemah. Seketika ia terlihat gugup. Tangannya diremas-remas. Perasaannya campur
aduk antara kecewa, sedih dan putus asa.
“Iya. Kenapa air muka Mas Arwan tiba-tiba berubah?”
“Kalau kamu belum memiliki akta cerai, aku tidak
mungkin menikahimu, Resti.”
“Tapi, saya sudah bercerai, Mas.”
“Apa
buktinya? Perceraian hanya bisa dibuktikan dengan
akta cerai. Seribu kali kamu mengatakan sudah bercerai, orang tidak akan
percaya. Tetapi, tanpa kamu mengatakan telah bercerai kalau kamu bisa
menunjukkan akta cerai maka orang akan percaya. Jadi, sampai sekarang
catatan di Kantor Urusan Agama masih tertulis bahwa kamu terikat
perkawinan dengan suamimu.”
“Kita kan bisa menikah sirri dulu. Tidak resmi pun
tidak masalah bagi saya, Mas.”
“Tidak bisa Resti. Kalau kamu belum punya surat cerai,
artinya saat ini statusmu masih istri orang. Saya tidak bisa menikahimu.”
Bunyi bel Kapal Legudi berdering. Kapten mengumumkan bahwa
Legundi telah merapat di dermaga Pelabuhan Lembar. Para penumpang diminta untuk
segera memeriksa barang bawaan dan bersiap-siap turun. Dari kaca jendela, Resti
melihat daratan Pulau Lombok. Ia melihat beberapa orang sedang menangkap ikan
di dekat dermaga. Sedangkan di sisi dermaga yang lain, beberapa mobil truk dan
kendaraan pribadi tengah berbaris di jalur tiga untuk masuk ke dalam kapal yang
akan mengantar mereka menuju Surabaya.
Di saat semua penumpang sedang bersiap-siap menuju
pintu keluar, Resti masih duduk terpaku di kursinya. Ia benar-benar tak
menyangka statusnya saat ini telah menghalangi kebahagiaan yang hampir saja ia
raih. Semalam ia membayangkan akan diantar pulang dengan mobil Arwan menuju
rumah orang tuanya di Suralaga. Ia menghayal Arwan meminangnya di hadapan Amaq
dan Inaq di rumah. Tapi tiba-tiba impian itu ambyar.
Sementara itu, Arwan yang masih di hadapan Resti, duduk
terpaku. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi ia sangat menginginkan Resti. Ia
ingin mengantar perempuan pujaannya itu sampai ke rumahnya lalu segera
meminangnya. Namun ia tak menyangka bahwa status Resti masih istri orang lain.
Arwan yang juga seorang magister hukum,
sangat paham hukum pernikahan yang ada di negeri ini. Perceraian antara seorang
suami dan istri hanya terjadi dalam persidangan. Seorang istri yang ditalak
suaminya berkali-kali, kalau itu terjadi di luar sidang, maka status dia masih
tetap istri suaminya sampai ada bukti surat cerai yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Agama.
Arwan tidak mau bermain-main dengan masa depannya.
Resti adalah perempuan pertama yang membuat dirinya jatuh hati. Akan tetapi, ia
juga sadar bahwa cintanya masih terhalang oleh status Resti yang belum resmi
bercerai dengan suaminya. Meskipun kata talak telah jatuh padanya tiga tahun
yang lalu dari sang suami, ia masih tetap istri suaminya. Arwan tidak bisa
memilikinya.
“Resti, sepertinya kita tidak bisa meneruskan hubungan
ini.”
“Tapi, kita saling mencintai, Mas.”
“Aku tahu. Tapi statusmu itu telah menghalangi
hubungan kita ke jenjang yang lebih serius. Aku ingin menjalin hubungan yang
jelas, Resti. Perjelaslah dulu statusmu! Jika berjodoh, kita pasti akan bertemu
kembali. Kita berpisah di sini. Jaga dirimu baik-baik!”
“Mas tidak jadi mengantar saya pulang ke Lombok
Timur?”
“Maaf. Dengan berat hati aku tidak bisa. Aku pergi
dulu. Assalaamualaikum,” ujar Arwan menunduk. Ia bangkit lalu melangkah pergi
meninggalkan Resti seorang diri. Hati keduanya sama-sama hancur. Tak pernah
mereka kira, akan begini akhirnya.
Air menetes dari ujung mata Resti. Dadanya sesak
menahan derita hati. Tak disangkanya, cinta yang mulai merekah itu, layu
sebelum berkembang. Namun tiba-tiba Resti bangkit dan mengejar Arwan.
“Mas Arwan, tunggu!”
Arwan yang hendak membuka pintu keluar tiba-tiba
terhenti. Ia menoleh ke arah suara yang memanggilnya.
“Mas, bagaimana caranya agar aku bisa bersamamu?”
Resti mendesak.
Arwan
menarik nafas. Meski ia tahu bagaimana cara
Resti lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya, ia tak kuasa untuk
menyampaikannya. Resti dan suaminya masih pasangan suami istri selama
keduanya
belum bercerai di Pengadilan. Suaminya masih berhak atas jiwa dan raga
Resti. Arwan tidak ingin menjadi pihak ketiga perceraian itu.
Arwan memang mencintai Resti. Di luar kuasanya bila
ternyata status resmi perempuan itu masih bersuami. Ia tak berani merebut
sesuatu yang masih hak milik orang lain. Arwan putuskan untuk tak melayani
pertanyaan Resti.
“Carilah suamimu, Resti!”
“Bagaimana caranya agar kita bisa bersatu?”
“Aku tak berani menjawabnya. Selamat tinggal, Resti.
Assalaamualaikum.”
Air mata Resti berderai semakin deras. Apa salah dan
dosa yang ia perbuat hingga nasib malang menimpanya. Kasih yang tak sampai
membuatnya merana. Begini malangkah nasib perempuan-perempuan yang dicerai liar
suaminya. Hidup dengan status abu-abu. Terombang ambing ombak kehidupan. Tak
mampu menepi. Kapal Legundi menjadi saksi kisah asmara dua sejoli yang bersemi
di awal perjalanan, kemudian layu saat perjalanan berakhir.
***
Anita Qurroti A'yuni lahir di Jombang, menamatkan pendidikan SDN dan SMPN di Karawang lalu melanjutkan ke SMAN I Jombang dan Pondok Pesantren Sunan Ampel Jombang, pendidikan S-1 (Lc.) Universitas Al-Azhar Kairo dan pendidikan S-2 (M.Pd.) IAIN Pontianak. Pernah tinggal di Purwodadi, Solo, Mempawah, Selong dan sekarang tinggal di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.