Asmara di Atas Legundi

 


Anita Qurroti A’yuni


Deru mesin Legundi menyeruak di tengah hamparan laut Madura. Kapal yang menghubungkan Pulau Jawa dan Lombok itu pelan-pelan mulai meninggalkan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menuju Pelabuhan Lembar di Lombok Barat. Kapal lima lantai yang mampu menampung dua ratus mobil itu melaju dengan kecepatan 20 km/jam. Deret kursi krem yang saling berhadapan dengan meja kotak di tengah-tengahnya, terisi hampir separuh. Seorang perempuan bermata sayu duduk tepat di sebelah jendela kaca. Sambil termenung ia menatap lautan biru.

Kilau pantulan sinar mentari menerpa kulit wajahnya yang halus mulus. Sayangnya perempuan Lombok rupawan itu kini jarang sekali tersenyum. Ia lebih sering terlihat murung. Padahal, senyumnya selalu membuat orang-orang di sekitarnya bahagia. Sejak empat tahun lalu, senyum itu meredup. Senyum manis itu benar-benar hilang saat sebuah kalimat cerai ditujukan kepadanya tiga tahun lalu lewat sebuah pesan singkat dari Negeri Jiran.

Saat sendiri, lamunan Resti kerap melayang ke masa lalu. Ia merenungi nasibnya yang gagal menjalani rumah tangga bersama Maladi. Suami yang menikahinya empat tahun lalu, menceraikannya. Seperti siang itu, saat ia kembali dari sebuah pelatihan di ITS Surabaya. Guru mata pelajaran Fisika di SMP Negeri 1 Selong itu lagi-lagi termenung selama perjalanan yang membawanya melintasi Surabaya-Lombok selama 19 jam di atas Kapal Legundi.

“Permisi, boleh saya mengecas HP di sini?” tanya seorang pria berjaket hitam. Suara itu memecah lamunan Resti. “Silakan!”

Sambil menunggu HP-nya penuh, pria itu duduk di hadapan Resti. “Ibu mau ke mana?” tanyanya. “Mau pulang ke Lombok Timur,” jawab Resti.

“Bapak mau ke mana?” tanya Resti balik.

“Saya mau ke Kuta Mandalika. Ada acara di Jawa ya, Bu?”

“Iya, habis pelatihan di ITS.”

“Oh, ya. Itu kampus saya dulu. Saya ambil jurusan teknik sipil di sana.”

“Wah, Bapak seorang insinyur. Maaf, siapa nama Bapak?”

“Arwan. Lengkapnya Ali Arwan.”

“Pak Arwan, ada acara apa di Lombok?”

“Sudah beberapa bulan ini saya ikut menangani sebuah proyek pembangunan hotel di Kawasan  Mandalika.”

“Ibu siapa namanya?”

“Resti. Resti Yuliana. Jangan panggil Ibu lah!”

“Ok. Maaf, saya panggil mbak.”

Kemurungan Resti mendadak hilang saat berbincang-bincang dengan pria bercelana jeans yang cukup tampan di hadapannya.

“Kenapa Mbak Resti naik Kapal Legundi, tidak naik pesawat?”

“Saya suka naik kapal. Dari atas kapal kita bisa melihat pemandangan indah di lautan. Dulu waktu saya kuliah di Unesa Surabaya, kapal ini belum ada. Andai saja waktu itu sudah ada, pasti saya akan senang sekali.”

“Oh, Mbak Resti kuliah di Jawa ya? Sudah berapa tahun lulusnya?”

“Iya, di Unesa Jurusan Pendidikan Fisika. Lima tahun yang lalu lulus.”

“Wah, sama. Saya lulus di ITS lima tahun yang lalu. Sayang kita tidak kenal ya, padahal sama-sama di Surabaya.”

“Pak Arwan sendiri kenapa naik kapal? Naik pesawat dari Surabaya ke Lombok bukankah lebih cepat dan lebih murah?”

“Jangan panggil pak! Saya kan masih muda,” kata Arwan sambil tersenyum.

“Maaf. Saya panggil mas saja.”

“Saya bawa mobil. Selama di Lombok saya selalu membawa mobil. Biar leluasa jika mau ke mana-mana. Juga leluasa jalan-jalan melihat keindahan pantai di Lombok dan Gunung Rinjani.”

Resti mengangguk-angguk sambil tersenyum. Senyuman itu benar-benar membuat Arwan bahagia. Ia tak dapat menyembunyikan perasaannya bahwa ia bahagia di dekat Resti.

Arwan melihat HP-nya. Walaupun belum penuh 100 %, ia merasa sudah cukup untuk bisa menghubungi keluarganya. “Saya pamit ke tempat duduk saya lagi ya.”

“Memangnya Mas Arwan duduk di mana?”

“Di ruang depan. Tadi tempat cas di sana penuh. Makanya saya cari di sini.”

“Pindah saja sini! Saya di sini sendiri. Kan enak kalau ada teman ngobrol selama perjalanan,” ajak Resti.

“Hmm, boleh. Kalau gitu saya ambil tas dulu.”

Bak gayung bersambut, hati Resti berbunga-bunga karena ajakannya diterima. Pria itu beranjak menuju ruang depan.

Ada banyak fasilitas yang disediakan Kapal Legundi. Di lantai tiga, ada ruang depan yang terdiri dari tempat-tempat duduk bersofa warna warni dengan meja kecil di tengahnya. Di ruangan depan semua alas kaki harus dilepas. Di ruangan belakang tersedia kamar sopir. Di situ para sopir bisa merebahkan dirinya untuk beristirahat. Di ruangan tengah, ada tempat duduk penumpang empuk yang berjajar dengan meja panjang di hadapannya. Semua ruangan dilengkapi pendingin ruangan, sehingga penumpang tidak akan merasa gerah. Disediakan juga beberapa tempat cas HP di dinding kiri dan kanan.

Jika penumpang merasa lapar, mereka bisa naik ke lantai empat untuk menikmati berbagai makanan yang disediakan food court. Ada bakso, makanan ringan dan lainnya. Di lantai paling atas, penumpang bisa menikmati pemandangan laut dengan leluasa. Di sana spot foto lautan yang diambil tampak lebih indah.

Arwan datang dengan membawa sebuah ransel coklat. Ia duduk kembali di depan Resti. Saat mereka berbincang, sesekali Legundi berpapasan dengan kapal lain yang berlainan arah. Resti kerap memandang kapal yang lewat itu dari jendela kaca di sampingnya. Matahari mulai condong ke Barat. Siluet senja mulai menghampar jingga di atas cakrawala. Cahaya mata Resti berbinar, ia kagum menatap fenomena alam nan indah itu.

Melihat perempuan di depannya tertarik dengan fenomena yang sedang terjadi, Arwan menawarkan diri untuk mengajaknya berfoto. “Mau foto dengan latar senja di luar sana?” tawar Arwan. Perempuan berhijab biru itu mengangguk dan memberikan smartphonenya kepada Arwan. “Tolong ya Mas!” pintanya. Pria itu menerimanya sambil tersenyum. Ada yang berdesir di dalam diri Resti. Sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan dengan mantan suaminya dulu.

Arwan dan Resti naik ke lantai lima untuk mendapat gambar yang lebih indah. Di atas sana, telah banyak penumpang yang tengah asyik mengambil foto-foto senja dari atas kapal. Resti tersenyum manis saat Arwan mengabadikan fotonya dengan latar belakang senja yang indah di tengah lautan luas. Kemalangan yang dideritanya selama ini seolah menguap saat bersama Arwan. Pria itu membuat hidupnya kembali bergairah.

Angin laut bertiup kencang, mengibar-ibarkan hijab biru yang Resti kenakan. Beberapa bagian tubuh perempuan itu tampak menonjol karena hembusan angin. Arwan melihat perempuan di dekatnya berusaha keras menutupi auratnya yang tiba-tiba tersingkap. Segera Arwan melepas jaket hitam lalu memberikan kepada Resti. Jantung Arwan berdegub kencang saat ia menutupi bagian tubuh Resti dengan jaketnya.

“Terima kasih, Mas!” ucap perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu. Arwan mengangguk kaku, berusaha mengendalikan diri. 

Beberapa saat kemudian, suara azan dari dalam kapal mengalun. “Shalat Maghrib di Mushala yuk!” ajak Arwan. Resti mengangguk. Ia kagum, pria itu tidak hanya pintar dan mapan, tapi juga shaleh. Arwan adalah tipe pria idamannya. Mereka berdua turun ke lantai empat. Mushala di atas Kapal Legundi sangat nyaman. Pendingin ruangan berhembus sejuk di antara permadani empuk dan bersih. Di sudut ruangan ada rak kaca tempat menyimpan mushaf Alquran dan perlengkapan shalat. Wilayah perempuan dan laki-laki dibatasi sebuah papan putih yang panjang. Arah kiblat mushala selalu berubah-ubah sesuai posisi kapal.

“Mas Arwan kalau di kapal gini, shalatnya normal apa dijamak qashar?” tanya Resti.

“Shalat seperti biasa,” jawab Arwan.

“Kenapa nggak dijamak qashar? Kan musafir dapat keringanan untuk menjamak qashar shalat?” tanya Resti lagi saat keduanya menuruni tangga.

“Itu benar. Bagi yang mau ambil rukhsah atau keringanan, silakan. Itu dibolehkan. Tetapi saya memilih untuk shalat biasa saja. Karena saya tidak menemukan kesulitan untuk melaksanakan shalat layaknya orang mukim di kapal ini. Lagi pula, saya tidak akan ke mana-mana. Hanya di kapal, duduk, makan dan tidur saja. Justru, akan lebih baik kalau kita memperbanyak menghadap Allah dan berdoa mohon diselamatkan perjalanan ini sampai ke daratan,” jawabnya.

Resti mengangguk. Ia pun melakukan hal yang sama selama di kapal. Mereka berdua shalat Maghrib berjamaah dengan penumpang lain, dan tetap di dalam mushala yang sejuk itu sampai datang waktu shalat Isya.

Usai shalat Isya, Arwan mengajak Resti makan bakso di kantin depan mushala. Arwan begitu gagah di mata Resti. Demikian pula yang Arwan rasakan. Aura Resti begitu memesona, menimbulkan gelora yang tak terkendali dalam diri pemuda berusia dua puluh delapan tahun itu.

“Mas Arwan sudah menikah?” tanya Resti.

“Belum.”

“Calon istri?” tanyanya lagi.

“Belum.”

“Sudah pernah nembak perempuan atau pacaran?”

“Belum.”

Mata Resti terbelalak tak percaya. Pemuda setampan Arwan belum pernah menjalin hubungan dengan satu perempuan pun. “Kenapa?”

“Saya masih fokus dengan pekerjaan. Saat saya tertarik kepada seorang perempuan dan saat itu saya belum mampu menikahinya maka saya tidak akan mengungkapkannya. Saya ingat pesan kyai saya yang mengutip sebuah hadits Nabi, man ashiqa fakatama wa’affa wamaata maata syahiida. Siapa yang jatuh cinta, lalu ia pendam rasa itu karena belum mampu untuk menikah, ia sembunyikan cintanya itu sambil ia tetap menjaga diri, jika ia mati sebelum sempat ia ungkapkan cintanya itu maka matinya tergolong mati syahid.”

“Subhanallah. Mas Arwan dulu mondok di mana?”

“Di Darul Ulum Peterongan Jombang.”

“Asli Jombang?”

“Bukan. Saya lahir di Desa Pekalongan Kecamatan Winong Kabupaten Pati, Jawa Tengah.”

“SD dan SMP di mana?”

“Dari TK sampai Tsanawiyah saya sekolah di Tarbiyatul Banin di desa saya. Setelah itu saya meneruskan ke SMA Darul Ulum dan mondok di Asrama Hidayatul Quran.”

“Terus ke ITS?”

“Betul.”

“Langsung kerja?”

“Ya, kerja jadi kontraktor di Semarang.”

“Tidak lanjut S2?”

“Sudah. Tahun lalu selesai S2 di Fakultas Hukum Undip Semarang.”

“Kok Hukum? Kan S1 Teknik?”

“Saya ambil konsentrasi Hukum Bisnis. Dari pengalaman kerja, saya merasa perlu belajar hukum. Dan ternyata benar, saya jadi tahu hukum perusahaan, hukum bisnis, hukum jaminan, hukum kekayaan intelektual, hukum perdagangan internasional, hukum kontrak, hukum lingkungan dan tata ruang, dan hukum-hukum lainnya.”

Semakin lama bicara, pesona Arwan semakin membuat Resti kagum. Tutur katanya, nada bicaranya sangat indah didengar. Wawasan pria itu juga membuat Resti kagum.

“Apa Mbak Resti punya kekasih atau suami?” tanya Arwan balik.

“Tidak ada. Saya sudah berpisah dengan suami tiga tahun yang lalu.”

“Oh, sudah menikah?”

“Iya, sudah menikah dan sudah bercerai. Sekarang saya janda, Mas Arwan. Pernikahan saya dulu, hanya untuk menutupi aib keluarga karena adat merarik yang masih berlaku di masyarakat Sasak. Saya dilarikan oleh seorang pemuda saat pulang mengajar. Dia menyembunyikan saya dalam bale panyeboqan selama tiga hari. Setelah itu datang utusan ke rumah orang tua saya yang mengabarkan bahwa saya telah dimerarik. Menurut para orang tua di desa saya, anak gadis yang dilarikan oleh pemuda adalah sebuah kebanggaan. Aib bagi keluarga, bila gadis itu kembali ke rumah orang tuanya tidak dalam iring-iringan nyongkolan. Meski saya tidak mencintai pemuda itu, saya pasrah untuk dinikahkan karena sudah menjadi kebiasaan. Terlebih, pemuda itu memberi mahar yang mahal kepada orang tua saya. Semakin sulit bagi orang tua saya menolak pinangan itu. Tapi begitu kami menikah, sebulan kemudian ia kembali ke Malaysia. Saya tinggal serumah dengan suami hanya satu bulan saja. Itu pun saya tidak bahagia, karena tidak ada cinta di dalamnya. Setahun berikutnya ia menjatuhkan talak yang dikirim melalui sebuah pesan singkat dan diikuti dengan kedatangan orang tuanya ke rumah yang intinya menyerahkan saya kembali ke orang tua saya.”

Arwan menyimak dengan baik uraian panjang yang disampaikan Resti. Ia tidak menyangka, perempuan cantik di hadapannya menyimpan masa lalu yang suram. Yang membuatnya kaget, kok bisa perempuan secantik Resti disia-siakan begitu saja oleh laki-laki. Resti tidak hanya cantik di mata Arwan, tetapi juga cerdas dan baik. “Seandainya dia istriku, akan kudorong dia untuk maju mengejar karirnya sebagai guru, akan kupenuhi kebutuhannya untuk meningkatkan kemampuan sebagai guru. Karena kalau guru hebat tentu murid-muridnya akan mendapatkan manfaat yang besar. Seandainya dia istriku, pastilah anak-anakku akan mendapatkan pendidikan terbaik,” lamun Arwan. 

“Mas Arwan, sampai detik ini, tak ada satu pria pun yang membuat saya begitu terpesona sampai saya bertemu Mas Arwan,” kata Resti.

Pandangan mereka berdua saling bertemu. Kehangatan menjalar di antara keduanya di malam yang dingin. Ingin rasanya Arwan merengkuh perempuan di depannya saat itu. Namun ia berusaha menahan karena belum saatnya. Akhirnya, Arwan mengalihkan perhatiannya ke arah piring bakso. Meski ombak laut malam itu sedikit tinggi menyebabkan Kapal Legundi bergoyang ke kiri dan kanan, keduanya menyantap bakso dengan tenang. Hati mereka diam-diam tengah merajut harapan satu sama lain.

Lama mereka berbincang di kantin. Walaupun di tempat itu ada penumpang lain yang juga menikmati bakso, keduanya tidak menghiraukannya. Selesai makan, Resti menuju tepi kapal untuk melihat pemandangan laut di malam hari. Ia suka menatap gemerlap lampu rumah penduduk dari atas Kapal Legundi di tengah lautan.

“Indah sekali pemandangannya bukan?” ujar Resti.

“Iya, seindah kamu, Resti,” puji Arwan. Resti tersipu-sipu dengan pujian Arwan. Perempuan itu menunduk malu. Pipinya bersemu merah.

“Maukah kamu menjadi bagian dari hidupku, Resti?” pinta Arwan. Perempuan itu mengangguk. Hatinya berbunga-bunga. Malam itu mereka lalui dengan amat bahagia. Setelah puas menikmati angin laut di malam hari, dengan ditemani kerlip bintang di langit mereka pun kembali ke ruangan.

Mereka menghabiskan malam dengan berdiskusi berbagai hal. Resti adalah kawan diskusi yang menyenangkan buat Arwan. Ia mampu mengimbangi obrolan Arwan. Mereka larut dalam pembicaraan yang asyik hingga tak terasa waktu menunjukkan lewat tengah malam. Keduanya akhirnya pun tertidur dengan posisi duduk.

Saat azan Subuh berkumandang, mereka berdua bangun dan menuju mushala. Setelah shalat, mereka naik ke lantai lima, menyambut terbitnya matahari.

“Kamu yakin serius dengan hubungan ini, Mas?” tanya Resti.

“Tentu saja,” jawab Arwan mantap, yang melambungkan harapan bagi Resti.

Mereka berdua sepakat untuk datang menemui kedua orang tua Resti di Lombok Timur guna membicarakan kelanjutan hubungan mereka.

Usai menyantap sarapan yang disediakan kapal, mereka mengobrol sebentar lalu istirahat kembali. Karena semalaman keduanya asyik ngobrol, mereka lelah dan kurang tidur. Pemandangan Gunung Agung nan gagah di Pulau Bali mereka lewatkan karena terlelap tidur. Hingga waktu menunjukkan pukul 12 siang, Arwan dan Resti bangun lalu membersihkan diri. Keduanya menuju kamar mandi masing-masing. Toilet di atas kapal cukup bersih dan nyaman.

Beberapa waktu kemudian Arwan dan Resti telah kembali duduk berhadapan. Keduanya tampak lebih segar. Wajah mereka sama-sama memancarkan keceriaan saat menatap satu sama lain. Suara awak kapal mengumumkan bahwa Legundi akan merapat di Pelabuhan Lembar sekitar satu jam lagi.

Sambil menunggu sampai daratan Lombok, Arwan membuka kembali perbincangan dengan Resti. Kali ini ia ingin memastikan betul, bahwa perempuan yang ia cintai di depannya berhak ia miliki.

 “Kamu benar-benar telah resmi bercerai dengan suamimu?” tanya Arwan hendak meyakinkan kejelasan status Resti.

“Tentu saja. Tiga tahun lalu kami bercerai.”

“Maksudku, apakah  kamu telah memiliki akta cerai dari Pengadilan Agama?”

“Tidak. Dia mentalak saya lewat sms lalu keluarganya dan kepala dusun datang ke rumah menyerahkan saya kepada orang tua. Banyak saksinya.”

“Jadi kamu tidak memiliki akta cerai?” ujar Arwan lemah. Seketika ia terlihat gugup. Tangannya diremas-remas. Perasaannya campur aduk antara kecewa, sedih dan putus asa.

“Iya. Kenapa air muka Mas Arwan tiba-tiba berubah?”

“Kalau kamu belum memiliki akta cerai, aku tidak mungkin menikahimu, Resti.”

“Tapi, saya sudah bercerai, Mas.”

“Apa buktinya? Perceraian hanya bisa dibuktikan dengan akta cerai. Seribu kali kamu mengatakan sudah bercerai, orang tidak akan percaya. Tetapi, tanpa kamu mengatakan telah bercerai kalau kamu bisa menunjukkan akta cerai maka orang akan percaya. Jadi, sampai sekarang catatan di Kantor Urusan Agama masih tertulis bahwa kamu terikat perkawinan dengan suamimu.”

“Kita kan bisa menikah sirri dulu. Tidak resmi pun tidak masalah bagi saya, Mas.”

“Tidak bisa Resti. Kalau kamu belum punya surat cerai, artinya saat ini statusmu masih istri orang. Saya tidak bisa menikahimu.”

Bunyi bel Kapal Legudi berdering. Kapten mengumumkan bahwa Legundi telah merapat di dermaga Pelabuhan Lembar. Para penumpang diminta untuk segera memeriksa barang bawaan dan bersiap-siap turun. Dari kaca jendela, Resti melihat daratan Pulau Lombok. Ia melihat beberapa orang sedang menangkap ikan di dekat dermaga. Sedangkan di sisi dermaga yang lain, beberapa mobil truk dan kendaraan pribadi tengah berbaris di jalur tiga untuk masuk ke dalam kapal yang akan mengantar mereka menuju Surabaya.

Di saat semua penumpang sedang bersiap-siap menuju pintu keluar, Resti masih duduk terpaku di kursinya. Ia benar-benar tak menyangka statusnya saat ini telah menghalangi kebahagiaan yang hampir saja ia raih. Semalam ia membayangkan akan diantar pulang dengan mobil Arwan menuju rumah orang tuanya di Suralaga. Ia menghayal Arwan meminangnya di hadapan Amaq dan Inaq di rumah. Tapi tiba-tiba impian itu ambyar.

Sementara itu, Arwan yang masih di hadapan Resti, duduk terpaku. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi ia sangat menginginkan Resti. Ia ingin mengantar perempuan pujaannya itu sampai ke rumahnya lalu segera meminangnya. Namun ia tak menyangka bahwa status Resti masih istri orang lain. Arwan yang  juga seorang magister hukum, sangat paham hukum pernikahan yang ada di negeri ini. Perceraian antara seorang suami dan istri hanya terjadi dalam persidangan. Seorang istri yang ditalak suaminya berkali-kali, kalau itu terjadi di luar sidang, maka status dia masih tetap istri suaminya sampai ada bukti surat cerai yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama.

Arwan tidak mau bermain-main dengan masa depannya. Resti adalah perempuan pertama yang membuat dirinya jatuh hati. Akan tetapi, ia juga sadar bahwa cintanya masih terhalang oleh status Resti yang belum resmi bercerai dengan suaminya. Meskipun kata talak telah jatuh padanya tiga tahun yang lalu dari sang suami, ia masih tetap istri suaminya. Arwan tidak bisa memilikinya.

“Resti, sepertinya kita tidak bisa meneruskan hubungan ini.”

“Tapi, kita saling mencintai, Mas.”

“Aku tahu. Tapi statusmu itu telah menghalangi hubungan kita ke jenjang yang lebih serius. Aku ingin menjalin hubungan yang jelas, Resti. Perjelaslah dulu statusmu! Jika berjodoh, kita pasti akan bertemu kembali. Kita berpisah di sini. Jaga dirimu baik-baik!”

“Mas tidak jadi mengantar saya pulang ke Lombok Timur?”

“Maaf. Dengan berat hati aku tidak bisa. Aku pergi dulu. Assalaamualaikum,” ujar Arwan menunduk. Ia bangkit lalu melangkah pergi meninggalkan Resti seorang diri. Hati keduanya sama-sama hancur. Tak pernah mereka kira, akan begini akhirnya. 

Air menetes dari ujung mata Resti. Dadanya sesak menahan derita hati. Tak disangkanya, cinta yang mulai merekah itu, layu sebelum berkembang. Namun tiba-tiba Resti bangkit dan mengejar Arwan.

“Mas Arwan, tunggu!”

Arwan yang hendak membuka pintu keluar tiba-tiba terhenti. Ia menoleh ke arah suara yang memanggilnya.

“Mas, bagaimana caranya agar aku bisa bersamamu?” Resti mendesak.

Arwan menarik nafas. Meski ia tahu bagaimana cara Resti lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya, ia tak kuasa untuk menyampaikannya. Resti dan suaminya masih pasangan suami istri selama keduanya belum bercerai di Pengadilan. Suaminya masih berhak atas jiwa dan raga Resti. Arwan tidak ingin menjadi pihak ketiga perceraian itu.

Arwan memang mencintai Resti. Di luar kuasanya bila ternyata status resmi perempuan itu masih bersuami. Ia tak berani merebut sesuatu yang masih hak milik orang lain. Arwan putuskan untuk tak melayani pertanyaan Resti.

“Carilah suamimu, Resti!”

“Bagaimana caranya agar kita bisa bersatu?”

“Aku tak berani menjawabnya. Selamat tinggal, Resti. Assalaamualaikum.”

Air mata Resti berderai semakin deras. Apa salah dan dosa yang ia perbuat hingga nasib malang menimpanya. Kasih yang tak sampai membuatnya merana. Begini malangkah nasib perempuan-perempuan yang dicerai liar suaminya. Hidup dengan status abu-abu. Terombang ambing ombak kehidupan. Tak mampu menepi. Kapal Legundi menjadi saksi kisah asmara dua sejoli yang bersemi di awal perjalanan, kemudian layu saat perjalanan berakhir.

***

 

Anita Qurroti A'yuni lahir di Jombang, menamatkan pendidikan SDN dan SMPN di Karawang lalu melanjutkan ke SMAN I Jombang dan Pondok Pesantren Sunan Ampel Jombang, pendidikan S-1 (Lc.) Universitas Al-Azhar Kairo dan pendidikan S-2 (M.Pd.) IAIN Pontianak. Pernah tinggal di Purwodadi, Solo, Mempawah, Selong dan sekarang tinggal di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

“Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan yang membawa kebaikan bagi semua orang sesuai kesanggupan dan kemampuanku. Dan yang memberi pertolongan untuk mencapai tujuan itu hanyalah Allah” (Al-Quran, Surat Hud Ayat 88)