(Hakim PTA Jayapura dan Mantan Ketua PA Waingapu)
Dalam atikelnya berjudul “Ramadhan Bulan
Tirakat dan Berhemat”, Gus Maki pada intinya mengkritik perilaku kebanyakan
umat Islam yang menjadikan bulan Ramadhan justru menjadi bulan boros (Radar
Banyuwangi, 24/03/2023). Bulan suci yang
mestinya diisi dengan gairah ibadah yang semakin meningkat ini justru dipenuhi
dengan sejumlah keinginan memenuhi nafsi kebutuhan yang justru tidak terjadi 11
bulan lainnya. Ketua Pengurus Cabang NU Banyuwangi itu pun menunjuk sejumlah
contoh, seperti kebiasaan membeli baju baru menjelang lebaran. Beliau pun
mencontohkan kebiasaan lain dalam memenuhi hidangan buka.
“Hal sederhana yang bisa kita perhatikan adalah
ketika masuk waktu berbuka puasa. Aneka menu takjil buka puasa dihidangkan di
meja makan. Mulai dari es teh, es jus, es buah, kolak, precet, kopyor, jenang,
dan aneka menu makanan lainnya. Semuanya lengkap tersaji. Menu-menu yang tak
pernah ada sebelumnya, tersaji lengkap ketika Ramadhan tiba. Menu buka puasa
seolah menjadi ajang aksi balas dendam setelah seharian tidak makan dan tidak
minum, menahan lapar dan dahaga. Seperti sedang terbebas dari kekangan, bisa
makan dan minum sepuasnya ketika tiba waktu berbuka”, begitu katanya. Dengan retoris, pengasuh pesantren
itu pun melanjutlkan, “Coba kita cermati dan perhatikan, pengeluaran kebutuhan
hidup selama Ramadhan bukannya berkurang, malahan menjadi lebih besar.
Keprihatinan demikian jelas bukan tanpa alasan.
Sebagai pemimpin umat beliau punya tanggung jawab moral mengajak umat kembali on
the track. Di bulan Ramadhan ini praktik kehidupan hedonis seolah
mengalami klimaksnya. Padahal, esensi
makna puasa adalah “menahan diri”. Euforia selama Ramadhan sering keluar dari
yang seharusnya. Di suatu tempat sering terjadi, kesemarakan dan refleksi diri
sebagai puncak penghambaan kepada Allah, hanya ditandai oleh lengkingan suara
pengeras suara sampai larut malam. Itu pun hanya dilakukan oleh tidak lebih
dari satu persen ummat yang ada.
Selebihnya justru pada jam-jam ibadah, berbondong memadati mal-mal.
Hampir semua toko mengalami peningkatan omset berlipat-lipat. Aktivitas umat
bergaya hidup terjadi di luar nalar sehat.
Sebagai contoh, sebulan sebelum Ramadhan
seorang telah memenuhi mal memburu diskon pakaian. Tetapi pada bulan Ramadhan
pun masih ikut-ikutan berdesak-desakan di kasir untuk membayar baju lebaran.
Rumah yang ada pada bulan Ramadhan pun
harus tampil beda. Bank-bank juga secara massif menyediakan uang receh
nan gres karena permintaan masyarakat. Pembagian angpao uang receh bukan
sekedar sedekah biasa, tetapi sudah menjadi gaya hidup. Yang pasti benar yang disampaikan Gus Maki,
bahwa anggaran hidup di bulan Ramadhan justru meningkat. Padahal, Ramadhan
mestinya medan untuk “bertirakat”
dan “berhemat ria”.
Fenomena demikian tentu, perlu mendorong kita
mengajukan sejumlah pertanyaan, mengapa hal ini terjadi, siapa yang bertanggung
jawab terjadinya fenomena demikian? Padahal, pada saat yang sama, di masjid dan
mushala ceramah, pengajian, atau pencerahan lain juga secara intens digalakkan.
Dalam konteks kehidupan berkeluarga, tuntutan pengeluaran demikian juga sering
menimbulkan perselisihan rumah tangga. Dalam keluarga tertentu terjadi, suami
yang tidak dapat memenuhi target-target anggaran Ramadhan dan lebaran sering
menjadi bulan-bulanan istri. Terjadinya kenaikan angka kriminalitas selama
Ramadhan mungkin juga disebabkan oleh ironisme perilaku kita selama Ramadhan
yang demikian ini. Dan, yang pasti kriminalitas tersebut tidak ada hubungannya
dengan hadits Nabi tentang kondisi setan di bulan Ramadhan yang menurut
Rasulullah SAW dibelenggu oleh Allah SWT.
Syukurlah beberapa waktu lalu, Presiden Joko
Widodo, mengimbau agar tradisi buka bersama (bukber) oleh para pejabat
ditiadakan. Imbauan demikian jika dipahami sekilas mungkin akan mamancing
reaksi. Presidan tidak pro Islam, pemerintah anti syi’ar atau sejumlah stigma negatif
lainnya. Akan tetapi, bagi yang tahu, sebenarnya hal demikian juga dapat
dipandang upaya mengurangi hidup hedonis. Coba lihat, berapa biaya yang harus
digunakan untuk menyelenggarakan buka bersama, dari mana sumbernya dan siapa
yang hadir di sana. Dalam logika birokrasi larangan tersebut jelas sangat
rasional. Sebab, selama ini tidak pernah ada anggaran resmi untuk mengadakan
buka bersama. Lantas dari mana sumber dananya? Pertanyaan demikian sering tidak
bisa dijawab secara memuaskan oleh ‘panitia’. Pada saat yang sama karena hanya
alasan trend, setiap satker seolah wajib menyelenggarakan acara bukber. Dugaan
pun muncul, bahwa ada potensi korupsi di acara bukber. Kita boleh berhitung,
kalau hal ini terjadi di semua satker di seluruh Republik ini, sudah berapa
keuangan negara yang bocor hanya untuk acara bukber ini. Dan, itu digunakan
untuk mengisi acara di bulan yang suci ini.
“Wala talbisul haqqa bil bathil”,
begitu Allah jauh-jauh hari telah mengingatkan kita. Jangan-jangan KPK pun sudah melirik
praktik-praktik demikian. Dalam konteks demikian, itu larangan bukber bagi
pejabat tentu tidak relevan dilawankan dengan konser dan keramaian lain yang
diizinkan pemerintah.
Fenomena umat selama bulan puasa ini tampaknya memang bermuara pada satu titik puncak, lebaran. Lebaran yang semula sebagai hadiah besar “shoimin” dan “shoimat” berubah menjadi ajang adu gengsi. Fenomena mudik dari tempat yang jauh tidak sekedar sebagai ajang silaturahmi melainkan juga untuk ajang unjuk kebolehan atas capaian-capaian selama meninggalkan kampung halaman. Perilaku demikian jelas bertolak belakang dengan orang-orang yang telah mencapai puncak spiritualitas. Orang-orang demikian justru merasa sedih saat Ramadhan berlalu. Mereka terus melakukan refleksi karena merasa belum berada pada posisi spiritualitas ideal sebanding dengan keagungan dan kesucian Ramadhan sambil berandai-andai agar bulan-bulan lain berderajat laksana Ramadhan. Lantas sudahkah kita termasuk kelompok demikian? Atau, Ramadhan kita hanya akan menjadi rutunitas dengan sejumlah ironi yang berulang setiap tahun?