Seorang gadis manis duduk di pasir putih Pantai Gili
Kondo dikelilingi pemuda pemudi. Ia
asyik melatih anggota Karang Taruna Desa Padak Guar percakapan Bahasa Inggris.
Sore itu, mereka menyeberang ke pulau kecil berpasir putih yang masyhur dengan
keindahannya. Belaian lembut angin dan dekapan hangat pasir pantai menemani
semangat mereka untuk belajar. Langit biru dan lautan yang membentang, menaungi
kebahagiaan anak-anak itu merengkuh nikmatnya pengetahuan.
Sudah satu minggu Eni bersama kawan-kawannya dari UIN
Walisongo Semarang melakukan KKN mandiri di Desa Padak Guar Kecamatan Sambelia
Lombok Timur. Setiap pagi aktifis kampus itu mengajar bahasa Inggris di SMP. Di
akhir sesi pembelajaran, gadis asal Desa Pekalongan Kecamatan Winong Kabupaten
Pati itu mengajak anak didiknya berlatih bersama turis asing di tepi pantai
pada sore hari. Sore ini mereka ditawari untuk menyeberang ke Gili Kondo oleh
seorang pemilik kapal, gratis. Orang itu senang dengan pelatihan yang Eni
berikan kepada pemuda desanya.
“Kalian harus
sekolah setinggi mungkin. Jangan pernah bosan mereguk nikmatnya pengetahuan,”
ujar gadis berlesum pipit dan bermata lentik itu saat berorasi di akhir sesi
latihan. Majid, si pemilik kapal yang duduk tidak jauh dari mereka, tertarik
mendengar orasi gadis manis itu.
“Lihatlah sekeliling kalian!” Eni membentangkan kedua
tangannya sambil menatap tajam ke mata anak didiknya satu per satu. Pesona
gadis berhijab merah muda yang mengenakan syal kuning di lehernya itu sungguh
memukau pemuda tampan itu. Ia kembali memerhatikannya.
“Allah telah menganugerahkan kalian alam yang indah luar biasa. Pantai-pantai nan elok. Gili-gili yang eksotis. Alam bawah laut yang memukau. Siapa lagi kalau bukan kalian kelak yang akan mengelolanya. Jika kalian sebagai putra asli Lombok, tidak mempersiapkan diri mulai sekarang, bisa jadi orang-orang dari luar sana yang akan menguasainya. Sedangkan kalian sebagai putra daerah paling-paling hanya kebagian jadi tukang parkir, buruh, pembantu, kuli bangunan. Apa itu yang kalian inginkan?” Eni kembali menatap tajam.
“Jika tidak
ingin itu terjadi, mulailah dari sekarang untuk membekali diri kalian dengan
berbagai ilmu pengetahuan. Agar kelak kalian mampu menjadi tuan di negeri
sendiri. Pepatah Arab mengatakan syubbanul yaum rijalul ghod. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa
depan. Jangan biarkan alam indah ini kalian serahkan pada orang lain.
Belajarlah sungguh-sungguh, kejar cita-citamu setinggi langit. Bangun Pulau
Lombok ini dan makmurkan masyarakatnya. Jangan tergiur menjadi TKI. Jangan
kerja di negeri orang, membangun negeri orang. Bangunlah negeri kalian
sendiri!”
Suasana hening. Hanya suara deburan ombak yang
terdengar. Alam pikiran mereka melayang menenun asa. Celoteh seorang anak
memecah keheningan. “Kami anak perempuan
buat apa sekolah tinggi, Kak?
Paling-paling kami hanya menjadi ibu rumah tangga.”
Eni tersenyum sambil menatap mata anak itu. “Kamu tahu
ibu Kartini?” tanya Eni. Gadis itu mengangguk.
“Pahlawan perempuan itu gemar menulis surat. Kalian
tahu, judul buku dari kumpulan surat-surat beliau?” Eni melempar pertanyaan.
“Habis gelap terbitlah terang, Kak,” seorang bocah
laki-laki berusia sekitar 12 tahun menjawab sambil mengacungkan tangannya.
“Bravo,” Eni mengacungkan jempolnya.
“Dalam salah satu suratnya, Ibu Kartini mengatakan,
bahwa perempuan sekolah tinggi-tinggi bukan untuk bersaing dengan lelaki. Tapi
untuk saling melengkapi. Semua anak perempuan bisa meraih semua cita-cita yang
mereka impikan. Saat anak perempuan itu kelak menjadi seorang ibu dan istri. Kecerdasan
dan kepintarannya akan diturunkan kepada anak-anaknya. Pengetahuannya akan
digunakan untuk mendidik putra putri mereka menjadi generasi penerus bangsa
yang hebat. Sebagai istri, ia akan menjadi partner terbaik bagi suaminya.
Menjadi teman diskusi yang baik, dan bisa memberi saran bagi setiap persoalan
yang tengah dihadapi. Jadi, pendidikan itu sangat penting bagi anak perempuan
dan laki-laki.”
Anak perempuan itu mengangguk mantap dengan wajah
sumringah. “Belajarlah sungguh-sungguh. Raihlah cita-cita kalian adik-adikku
sayang. Kakak ingin melihat kalian tiga puluh tahun lagi menjadi orang-orang
sukses di Lombok. Janji?”
Seorang anak laki-laki mengacungkan tangannya. “Tapi
kami ini rata-rata orang miskin, Kak. Untuk makan sehari-hari saja kami
kesulitan, ditambah bencana gempa tahun 2018 yang membuat tempat wisata sepi,
bagaimana bisa orang tua kami membiayai sekolah?”
Eni menarik nafas panjang. Pikirannya melayang ke tanah kelahirannya. “Kakak juga orang desa. Jarak desa kakak ke ibukota Kabupaten Pati sekitar 20 kilometer. Masyarakat di sana masih banyak yang hidupnya pas-pasan. Ayah kakak seorang petani. Sawahnya hanya mengandalkan air hujan. Saat musim kemarau, sawah kami kering. Hidup prihatin. Tapi, guru-guru kami di Desa Pekalongan selalu memberi motivasi untuk belajar dengan giat untuk meraih cita-cita. Kakak bergabung dengan Ikatan Remaja Masjid Darussalam. Di sana kakak menggali pengalaman dengan para senior. Belajar bersama, diskusi bersama. Saling menyemangati. Sampai akhirnya satu per satu kami bisa melanjutkan kuliah. Ada yang mendapatkan beasiswa. Ada yang kuliah sambil bekerja. Sampai akhirnya mereka dapat meraih cita-cita. Ada di antara anak petani itu sekarang menjadi profesor, menjadi doktor. Kakak terinspirasi dari mereka yang bekerja keras meraih cita-cita meski hidup dalam keterbatasan.”
Anak-anak itu seketika memeluk Eni dengan penuh kasih
sayang. Gadis berbibir tipis dengan senyuman yang menawan itu seakan tenggelam
dalam rangkulan mereka. Majid yang melihat aksi anak-anak itu, sangat terkesan
pada Eni. Baru kali ini ia bertemu seorang gadis yang begitu tulus menyemangati
anak-anak desanya untuk belajar. Kebanyakan anak-anak yang ia temui di sekitar
pantai, hanya disuruh untuk mencari uang sebanyak-banyaknya. Menjajakan
gelang-gelang, menjadi tukang foto, juru parkir dan penjaga toilet umum. Bahkan
sampai meminta-minta kepada wisatawan yang datang. Bagaimana perkembangan
belajar mereka di sekolah, kebanyakan orang tuanya tidak peduli.
Matahari hampir tenggelam. Anak-anak menuju kapal. Eni
bangkit dari duduknya. Ketika hendak melangkah, tiba-tiba syal kuning miliknya
terbang tertiup angin pantai dan mendarat tepat di wajah Majid yang tengah
berjalan menuju kapal. Pria 27 tahun itu mencium aroma jeruk dari syal yang
menerpa wajahnya.
Begitu sadar syalnya mendarat pada seorang pria, Eni
buru-buru lari mengampiri. Sayang, sesuatu membuat gadis itu tersandung.
Tubuhnya limbung ke arah Majid. Pria gagah berkulit eksotis itu dengan sigap
menangkap tubuh mungil Eni.
“Astaghfirullah,” ucap Eni begitu sadar tubuhnya
berada dalam dekapan seorang lelaki. Eni spontan menolak tubuh pria yang
mendekapnya itu. Pipi lembut Eni bersemu merah. Ia tertunduk malu. Tidak berani
menatap Majid. Untung saja lelaki di hadapannya ini jangkung. Sehingga ia hanya
bisa menatap dada bidangnya. Entah mengapa, jantungnya berdegub begitu kencang.
“Ma.. maaf, boleh saya mengambil syal kuning itu?”
pinta Eni sambil menunjuk ke arah syal yang melingkar di leher Majid. Lelaki
berkulit gelap itu melepas syal yang melingkar di lehernya. Saat menyerahkannya
pada Eni, tanpa sengaja kulit mereka saling bersentuhan. Tiba-tiba ada sesuatu
yang hangat menjalar ke relung hati keduanya. “Perasaan apa ini?” batin mereka.
Saat naik ke atas kapal untuk pulang, hanya bangku di
sebelah Majid yang tersedia buat Eni. Mau tidak mau, kembang Desa Pekalongan
itu kembali berdekatan dengan pria yang pandai berenang itu. Lengan kekar Majid
dengan sigap menyalakan mesin kapal. Beberapa menit kemudian mereka telah
berada di tengah lautan.
“Orasimu di hadapan anak-anak tadi sangat hebat,” puji
Majid. Eni terkejut saat mengetahui lelak itu memerhatikannya. “Mereka jarang
mendapat motivasi belajar seperti yang tadi kamu lakukan. Terima kasih,” ucap
lelaki itu tulus.
“Saya hanya bisa memotivasi. Merekalah yang
menentukan. Mau mengejar impiannya. Atau pasrah dengan keadaan,” jelas Eni.
“Kamu pasti seorang aktifis,” tebak Majid.
“Bagaimana kamu bisa tahu?” Eni penasaran.
“Hanya mereka yang
terbiasa berbicara di hadapan umum, bisa berorasi seperti yang kamu
lakukan tadi.”
“Memangnya, kamu pernah lihat bagaimana aktifis
perempuan berorasi?”
“Dulu, waktu kuliah di IAIH. Setelah
kembali ke desa ini, pemandangan itu tidak pernah terlihat lagi. Tidak banyak
pemuda pemudi desa yang kembali ke kampung halaman setelah lulus kuliah.
Kebanyakan mereka merantau. Bekerja di ibukota provinsi. Luar kota. Luar pulau.
Sedangkan mereka yang tidak kuliah, biasanya menikah muda. Setelah itu banyak
yang memilih bekerja ke luar negeri jadi TKI karena tuntutan ekonomi.
Meninggalkan keluarganya, anak-anaknya. Mereka itu di antaranya,” pandangan
Majid tertuju pada anak-anak didik Eni.
“Kenapa Kamu tidak merantau seperti pemuda yang lain?”
tanya Eni.
“Keindahan alam desa ini selalu memanggil saya
pulang.”
“Mantap. Saya sangat mendukung pemuda yang mau
membangun desanya,” puji Eni sambil tersenyum penuh kebanggaan.
Majid melanjutkan ceritanya untuk memecah
kecanggungan. “Sebisa mungkin, saya ingin mendatangkan rizki ke desa ini.
Makanya saya membangun villa di atas tanah warisan almarhum ayah. Agar banyak
wisatawan bisa menikmati keindahan alam desa kami, sekaligus mendatangkan
rezeki bagi penduduk desa. Besok setelah selesai mengajar, datanglah bersama
kawan-kawanmu ke villa kami untuk makan siang. Akan kami hidangkan menu
istimewa khas Lombok. Dijamin bikin ketagihan.”
“Serius? Kami ada sepuluh orang loh?” tegas Eni. Majid
mengangguk.
“Okey. Insyaallah besok kami datang,” janji Eni dengan
wajah berbinar. Majid melirik gadis di sebelahnya yang sedang tersenyum senang.
Lagi-lagi rasa hangat itu muncul.
Keesokkan harinya, Eni bersama sembilan temannya
datang memenuhi undangan Majid untuk makan siang. Usai makan siang, Eni dan
teman-temannya curhat kepada Majid tentang susahnya mengajak masyarakat untuk
berpartisipasi dalam kegiatan mereka. Eni menyebut ada sekelompok warga yang
menyebar berita bohong tentang mereka. Bahwa para mahasiswa yang KKN itu
meracuni pikiran anak-anak mereka agar hanya fokus belajar dan tidak perlu
bekerja lagi membantu ekonomi keluarga. Salah seorang warga malah ada yang
berani membubarkan sekelompok mahasiswa yang tengah mengadakan kegiatan
penyuluhan kepada para remaja. Mereka khawatir hal itu membuat anak-anak mereka
tidak mau lagi mencari uang.
Mendengar curhatan itu, Majid menawarkan diri untuk
menemani mereka selama berkegiatan di desanya. Eni dan teman-temannya menyambut
gembira. Usai shalat Maghrib berjamaah, Majid berdiri mengumumkan sesuatu
dengan bahasa Sasak kepada para jamaah. Sepertinya ia mengajak para orang tua
untuk tidak percaya pada berita bohong tentang para mahasiswa KKN. Majid
menjelaskan niat baik para mahasiswa. Ia meminta informasi ini disampaikan
kepada warga yang lain. Ia juga mengajak seluruh warga dan anak-anaknya aktif
mengikuti setiap kegiatan yang diadakan oleh para mahasiswa KKN di desanya.
Pulang dari masjid, Eni berjalan bersama ibu Majid.
Iseng-iseng gadis itu bertanya, “Inaq, Kak Majid itu sudah punya calon istri
belum?”
“Anak itu mana peduli sama perempuan. Nggak ada satu
pun gadis yang dia terima setiap kali tiyang tawarkan untuknya. Sepertinya dia
memilih-milih, cuma tiyang tidak tahu
seperti apa pilihannya,” jawab inaq, panggilan ibu dalam bahasa Sasak Lombok.
Eni terbelalak. “Nggak ada satu pun, Inaq?” tegasnya.
Bunda Majid mengangguk.
Jauh di belakang, Majid bergurau dengan para
mahasiswa. Mereka membahas nasib para jomblo di antara mereka. “Kalau temanmu
yang di depan itu, jomblo juga?” tanya Majid menunjuk Eni yang berjalan jauh di
depan mereka.
“Itu sih ratu jomblo kampus, Kak. Hidupnya hanya buat
belajar dan organisasi. Nggak ada satu pun laki-laki yang sukses nembak doi,”
celoteh salah satu mahasiswa, yang diamini lainnya. “Coba saja Kak Majid, siapa
tahu pria seperti Kakak yang selama ini ia harapkan,” tantang mahasiswa itu.
Mereka pun tertawa. Diam-diam, Majid merasa tertantang.
Setelah Majid turun tangan, setiap kegiatan yang Eni
adakan bersama teman-temannya didatangi banyak partisipan. Jumlah anak yang Eni
ajar semakin banyak. Baik mengaji maupun bahasa Inggris. Yang sangat
menggembirakan yaitu ketika masyarakat Desa Padak Guar berbondong-bondong
keluar rumah, membawa peralatan kebersihan untuk berpartisipasi dalam kegiatan
bersih-bersih pantai yang mereka adakan. Mereka bergotong royong menata
tepi-tepi pantai agar tampak menarik. Salah satunya dengan memasang sejumlah
spot foto yang menarik untuk diupload di sosial media, yang kini tengah digandrungi kaum milenial.
Majid terharu dengan apa yang ia lihat. Setelah sekian
lama memunggungi laut, akhirnya masyarakat kembali sadar akan aset desanya yang
berharga. Mereka dengan senang hati bergerak membersihkan tepi-tepi pantai yang
tercemar sampah. Para mahasiswa juga melatih masyarakat bagaimana cara memilah
sampah organik dan non-organik di sekitar pantai. Mereka juga mengajari cara
mendaur ulang sampah agar bermanfaat kembali.
Dengan menggandeng pemerintah desa, Eni dan
teman-temannya mendirikan Bank Sampah. Sampah-sampah botol plastik yang
biasanya mengotori pantai, kini mulai dipunguti oleh warga untuk disetor ke
Bank Sampah sehingga menambah saldo tabungan. Pantai-pantai kini tampak semakin
bersih dan lebih menarik. Satu per satu para wisatawan mulai berdatangan.
Spot-spot foto pantai ini sekarang viral di media sosial.
Malam ini adalah malam perpisahan para mahasiswa KKN. Kepala Desa beserta masyarakat menggelar perpisahan mereka di tepi pantai dengan menyalakan api unggun sambil membakar hasil tangkapan nelayan, seperti ikan, cumi-cumi, dan udang. Penduduk desa sangat berterima kasih atas pengabdian mereka. Berbagai hidangan khas Lombok yang istimewa mereka suguhkan. Ada kepiting, sambal beberuk, plecing kangkung, sayur ares, sate pusut, sayur kelor ditambah segarnya air kelapa muda. Semilir angin pantai menemani kebahagiaan mereka.
Eni yang
menjadi perwakilan mahasiswa juga menyampaikan ucapan terima kasih dan kata
perpisahan. Seperti biasa, gadis itu selalu memukau dengan orasinya. Dari
kejauhan Majid mengagumi pesona gadis itu. Sepertinya malam ini ia bersiap
memenuhi tantangan itu.
“Kamu hebat seperti biasanya, En,” puji Majid usai
gadis itu kembali ke tempat duduknya. Eni tersenyum malu. Pipinya merah merona
mendengar pujian lelaki di sampingnya ini. “Sungguh beruntung lelaki yang jadi
pendampingmu,” puji Majid lagi. Jantung Eni berdetak tak menentu. Ia merasa
kepanasan di tengah hembusan angin pantai.
“Kamu juga hebat. Aku kagum pada kecintaanmu pada desa
ini.” Eni balas memuji. Ia segera merespon sebelum Majid tahu raut wajahnya
sebenarnya sedang salah tingkah. Baru Eni sadari, hanya Majid yang bisa
membuatnya begini.
Setelah lama saling diam, Majid memberanikan diri
untuk bertanya. Pertanyaan itu sebenarnya sebagai pintu pembuka sebelum ia
mengutarakan isi hatinya yang sebenarnya.
“Kamu sudah punya?” tanya Majid.
“Punya apa?” jawab Eni.
“Punya calon.”
“Calon apa?”
“Calon suami.”
Eni kaget dengan pertanyaan itu. Tidak menyangka ia
ditanya soal itu oleh pemuda yang ia kagumi.
Satu sisi, Eni ingin menjawab apa adanya. Tapi di sisi
lain, ia gengsi untuk mengatakan dirinya jomblo. Ia kerap diledek oleh rekan
kampus karena statusnya itu. Gadis itu menarik nafas panjang. Lama ia terdiam.
Lama sekali gadis itu menjawab pertanyaan Majid. Sampai-sampai Majid harus
mengulangi pertanyaannya untuk mendapat kepastian.
“Apa kamu sudah punya calon suami, En?”
“Belum. Tapi…,” jawab Eni.
“Tapi apa?”
“Ada seseorang yang telah memikat hatiku.”
Majid menarik nafas dalam-dalam. Mendengar jawaban
Eni, hati Majid porak poranda. Ia berusaha menguasai dirinya. Agar
kekecewaannya tidak tampak di hadapan Eni. “Kamu terlalu berharap lebih,
Majid,” batinnya. “Lagi pula, mana mungkin gadis secantik Eni belum memiliki
kekasih hati. Pasti banyak pria di luar sana yang rela antre demi
mendapatkannya,” batinnya lagi.
“Kalau Kamu gimana? Pasti sudah punya calon istri?”
Eni ganti bertanya membuyarkan lamunan Majid.
Kali ini, ganti Majid yang terkaget dengan pertanyaan
Eni. Saking gugupnya lelaki itu mengangguk.
Melihat anggukan kepala Majid, hati Eni remuk redam.
Ia berharap Majid mengatakan belum. Dan ia yakin betul, bahwa Majid memang
belum memiliki calon istri. Seperti yang dikatakan oleh ibunya Majid malam itu.
Tetapi Majid malah mengangguk. “Jangan-jangan itu karena salahku. Padahal kalau
Majid bilang belum, aku akan mengatakan, bahwa seseorang yang telah memikat hatiku
adalah dia. Tapi semuanya malah berantakan.”
Esoknya di dalam bus pulang menuju bandara, Eni
menyesali jawabannya semalam. “Kenapa kamu nggak bilang kalau dia lelaki pujaan
hatimu, En?” batinnya. “Padahal kamu juga senang kan jadi orang Lombok. Membangun
masyarakat di sana. Mendidik anak-anak dan para remajanya. Menikmati keindahan
alamnya. Dan siap menjadi Nyonya Majid.”
Tatkala teman-temannya menikmati keindahan Pulau
Seribu Masjid di sepanjang jalan, Eni malah bersedih. Ia meremas-remas ujung
jilbabnya karena gemas. Gadis periang itu tampak murung di tengah kebahagiaan
teman-temannya. Saat mereka ribut menawar tenun di Kampung Sasak Sade untuk
cinderamata, Eni hanya diam. Biasanya dia paling cerewet saat membeli
oleh-oleh. Ketika rombongan singgah untuk shalat Dzuhur di Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) Mandalika, ia terus termenung. Pesona Pantai Mandalika tidak
mampu mengusir kegalauan hatinya.
Setibanya di Bandara Internasional Zainuddin Abdul
Majid Lombok, Eni mendesah. Seharusnya Majid mengantarnya ke bandara dan
melambaikan tangan padanya. Itulah yang dia harapkan. Namun, gara-gara jawaban
semalam, musnah sudah harapan gadis bernama lengkap Aini Nurmufida itu.
***