Menenun Asa di Pulau Lombok

 


Anita Qurroti A’yuni

Seorang gadis manis duduk di pasir putih Pantai Gili Kondo dikelilingi pemuda pemudi. Ia asyik melatih anggota Karang Taruna Desa Padak Guar percakapan Bahasa Inggris. Sore itu, mereka menyeberang ke pulau kecil berpasir putih yang masyhur dengan keindahannya. Belaian lembut angin dan dekapan hangat pasir pantai menemani semangat mereka untuk belajar. Langit biru dan lautan yang membentang, menaungi kebahagiaan anak-anak itu merengkuh nikmatnya pengetahuan.

Sudah satu minggu Eni bersama kawan-kawannya dari UIN Walisongo Semarang melakukan KKN mandiri di Desa Padak Guar Kecamatan Sambelia Lombok Timur. Setiap pagi aktifis kampus itu mengajar bahasa Inggris di SMP. Di akhir sesi pembelajaran, gadis asal Desa Pekalongan Kecamatan Winong Kabupaten Pati itu mengajak anak didiknya berlatih bersama turis asing di tepi pantai pada sore hari. Sore ini mereka ditawari untuk menyeberang ke Gili Kondo oleh seorang pemilik kapal, gratis. Orang itu senang dengan pelatihan yang Eni berikan kepada pemuda desanya.

 “Kalian harus sekolah setinggi mungkin. Jangan pernah bosan mereguk nikmatnya pengetahuan,” ujar gadis berlesum pipit dan bermata lentik itu saat berorasi di akhir sesi latihan. Majid, si pemilik kapal yang duduk tidak jauh dari mereka, tertarik mendengar orasi gadis manis itu.

“Lihatlah sekeliling kalian!” Eni membentangkan kedua tangannya sambil menatap tajam ke mata anak didiknya satu per satu. Pesona gadis berhijab merah muda yang mengenakan syal kuning di lehernya itu sungguh memukau pemuda tampan itu. Ia kembali memerhatikannya.

“Allah telah menganugerahkan kalian alam yang indah luar biasa. Pantai-pantai nan elok. Gili-gili yang eksotis. Alam bawah laut yang memukau. Siapa lagi kalau bukan kalian kelak yang akan mengelolanya. Jika kalian sebagai putra asli Lombok, tidak mempersiapkan diri mulai sekarang, bisa jadi orang-orang dari luar sana yang akan menguasainya. Sedangkan kalian sebagai putra daerah paling-paling hanya kebagian jadi tukang parkir, buruh, pembantu, kuli bangunan. Apa itu yang kalian inginkan?” Eni kembali menatap tajam.

 “Jika tidak ingin itu terjadi, mulailah dari sekarang untuk membekali diri kalian dengan berbagai ilmu pengetahuan. Agar kelak kalian mampu menjadi tuan di negeri sendiri. Pepatah Arab mengatakan syubbanul yaum rijalul ghod. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan. Jangan biarkan alam indah ini kalian serahkan pada orang lain. Belajarlah sungguh-sungguh, kejar cita-citamu setinggi langit. Bangun Pulau Lombok ini dan makmurkan masyarakatnya. Jangan tergiur menjadi TKI. Jangan kerja di negeri orang, membangun negeri orang. Bangunlah negeri kalian sendiri!”

Suasana hening. Hanya suara deburan ombak yang terdengar. Alam pikiran mereka melayang menenun asa. Celoteh seorang anak memecah keheningan.  “Kami anak perempuan buat apa sekolah tinggi, Kak?  Paling-paling kami hanya menjadi ibu rumah tangga.”

Eni tersenyum sambil menatap mata anak itu. “Kamu tahu ibu Kartini?” tanya Eni. Gadis itu mengangguk.

“Pahlawan perempuan itu gemar menulis surat. Kalian tahu, judul buku dari kumpulan surat-surat beliau?” Eni melempar pertanyaan.

“Habis gelap terbitlah terang, Kak,” seorang bocah laki-laki berusia sekitar 12 tahun menjawab sambil mengacungkan tangannya.

“Bravo,” Eni mengacungkan jempolnya.

“Dalam salah satu suratnya, Ibu Kartini mengatakan, bahwa perempuan sekolah tinggi-tinggi bukan untuk bersaing dengan lelaki. Tapi untuk saling melengkapi. Semua anak perempuan bisa meraih semua cita-cita yang mereka impikan. Saat anak perempuan itu kelak menjadi seorang ibu dan istri. Kecerdasan dan kepintarannya akan diturunkan kepada anak-anaknya. Pengetahuannya akan digunakan untuk mendidik putra putri mereka menjadi generasi penerus bangsa yang hebat. Sebagai istri, ia akan menjadi partner terbaik bagi suaminya. Menjadi teman diskusi yang baik, dan bisa memberi saran bagi setiap persoalan yang tengah dihadapi. Jadi, pendidikan itu sangat penting bagi anak perempuan dan laki-laki.”

Anak perempuan itu mengangguk mantap dengan wajah sumringah. “Belajarlah sungguh-sungguh. Raihlah cita-cita kalian adik-adikku sayang. Kakak ingin melihat kalian tiga puluh tahun lagi menjadi orang-orang sukses di Lombok. Janji?”

Seorang anak laki-laki mengacungkan tangannya. “Tapi kami ini rata-rata orang miskin, Kak. Untuk makan sehari-hari saja kami kesulitan, ditambah bencana gempa tahun 2018 yang membuat tempat wisata sepi, bagaimana bisa orang tua kami membiayai sekolah?”

Eni menarik nafas panjang. Pikirannya melayang ke tanah kelahirannya. “Kakak juga orang desa. Jarak desa kakak ke ibukota Kabupaten Pati sekitar 20 kilometer. Masyarakat di sana masih banyak yang hidupnya pas-pasan. Ayah kakak seorang petani. Sawahnya hanya mengandalkan air hujan. Saat musim kemarau, sawah kami kering. Hidup prihatin. Tapi, guru-guru kami di Desa Pekalongan selalu memberi motivasi untuk belajar dengan giat untuk meraih cita-cita. Kakak bergabung dengan Ikatan Remaja Masjid Darussalam. Di sana kakak menggali pengalaman dengan para senior. Belajar bersama, diskusi bersama. Saling menyemangati. Sampai akhirnya satu per satu kami bisa melanjutkan kuliah. Ada yang mendapatkan beasiswa. Ada yang kuliah sambil bekerja. Sampai akhirnya mereka dapat meraih cita-cita. Ada di antara anak petani itu sekarang menjadi profesor, menjadi doktor. Kakak terinspirasi dari mereka yang bekerja keras meraih cita-cita meski hidup dalam keterbatasan.”

Anak-anak itu seketika memeluk Eni dengan penuh kasih sayang. Gadis berbibir tipis dengan senyuman yang menawan itu seakan tenggelam dalam rangkulan mereka. Majid yang melihat aksi anak-anak itu, sangat terkesan pada Eni. Baru kali ini ia bertemu seorang gadis yang begitu tulus menyemangati anak-anak desanya untuk belajar. Kebanyakan anak-anak yang ia temui di sekitar pantai, hanya disuruh untuk mencari uang sebanyak-banyaknya. Menjajakan gelang-gelang, menjadi tukang foto, juru parkir dan penjaga toilet umum. Bahkan sampai meminta-minta kepada wisatawan yang datang. Bagaimana perkembangan belajar mereka di sekolah, kebanyakan orang tuanya tidak peduli.

Matahari hampir tenggelam. Anak-anak menuju kapal. Eni bangkit dari duduknya. Ketika hendak melangkah, tiba-tiba syal kuning miliknya terbang tertiup angin pantai dan mendarat tepat di wajah Majid yang tengah berjalan menuju kapal. Pria 27 tahun itu mencium aroma jeruk dari syal yang menerpa wajahnya.

Begitu sadar syalnya mendarat pada seorang pria, Eni buru-buru lari mengampiri. Sayang, sesuatu membuat gadis itu tersandung. Tubuhnya limbung ke arah Majid. Pria gagah berkulit eksotis itu dengan sigap menangkap tubuh mungil Eni.

“Astaghfirullah,” ucap Eni begitu sadar tubuhnya berada dalam dekapan seorang lelaki. Eni spontan menolak tubuh pria yang mendekapnya itu. Pipi lembut Eni bersemu merah. Ia tertunduk malu. Tidak berani menatap Majid. Untung saja lelaki di hadapannya ini jangkung. Sehingga ia hanya bisa menatap dada bidangnya. Entah mengapa, jantungnya berdegub begitu kencang.

“Ma.. maaf, boleh saya mengambil syal kuning itu?” pinta Eni sambil menunjuk ke arah syal yang melingkar di leher Majid. Lelaki berkulit gelap itu melepas syal yang melingkar di lehernya. Saat menyerahkannya pada Eni, tanpa sengaja kulit mereka saling bersentuhan. Tiba-tiba ada sesuatu yang hangat menjalar ke relung hati keduanya. “Perasaan apa ini?” batin mereka.

Saat naik ke atas kapal untuk pulang, hanya bangku di sebelah Majid yang tersedia buat Eni. Mau tidak mau, kembang Desa Pekalongan itu kembali berdekatan dengan pria yang pandai berenang itu. Lengan kekar Majid dengan sigap menyalakan mesin kapal. Beberapa menit kemudian mereka telah berada di tengah lautan.

“Orasimu di hadapan anak-anak tadi sangat hebat,” puji Majid. Eni terkejut saat mengetahui lelak itu memerhatikannya. “Mereka jarang mendapat motivasi belajar seperti yang tadi kamu lakukan. Terima kasih,” ucap lelaki itu tulus.

“Saya hanya bisa memotivasi. Merekalah yang menentukan. Mau mengejar impiannya. Atau pasrah dengan keadaan,” jelas Eni.

“Kamu pasti seorang aktifis,” tebak Majid.

“Bagaimana kamu bisa tahu?” Eni penasaran.

“Hanya mereka yang  terbiasa berbicara di hadapan umum, bisa berorasi seperti yang kamu lakukan tadi.”

“Memangnya, kamu pernah lihat bagaimana aktifis perempuan berorasi?”

“Dulu, waktu kuliah di IAIH. Setelah kembali ke desa ini, pemandangan itu tidak pernah terlihat lagi. Tidak banyak pemuda pemudi desa yang kembali ke kampung halaman setelah lulus kuliah. Kebanyakan mereka merantau. Bekerja di ibukota provinsi. Luar kota. Luar pulau. Sedangkan mereka yang tidak kuliah, biasanya menikah muda. Setelah itu banyak yang memilih bekerja ke luar negeri jadi TKI karena tuntutan ekonomi. Meninggalkan keluarganya, anak-anaknya. Mereka itu di antaranya,” pandangan Majid tertuju pada anak-anak didik Eni.

“Kenapa Kamu tidak merantau seperti pemuda yang lain?” tanya Eni.

“Keindahan alam desa ini selalu memanggil saya pulang.”

“Mantap. Saya sangat mendukung pemuda yang mau membangun desanya,” puji Eni sambil tersenyum penuh kebanggaan.

Majid melanjutkan ceritanya untuk memecah kecanggungan. “Sebisa mungkin, saya ingin mendatangkan rizki ke desa ini. Makanya saya membangun villa di atas tanah warisan almarhum ayah. Agar banyak wisatawan bisa menikmati keindahan alam desa kami, sekaligus mendatangkan rezeki bagi penduduk desa. Besok setelah selesai mengajar, datanglah bersama kawan-kawanmu ke villa kami untuk makan siang. Akan kami hidangkan menu istimewa khas Lombok. Dijamin bikin ketagihan.”

“Serius? Kami ada sepuluh orang loh?” tegas Eni. Majid mengangguk.

“Okey. Insyaallah besok kami datang,” janji Eni dengan wajah berbinar. Majid melirik gadis di sebelahnya yang sedang tersenyum senang. Lagi-lagi rasa hangat itu muncul.

Keesokkan harinya, Eni bersama sembilan temannya datang memenuhi undangan Majid untuk makan siang. Usai makan siang, Eni dan teman-temannya curhat kepada Majid tentang susahnya mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan mereka. Eni menyebut ada sekelompok warga yang menyebar berita bohong tentang mereka. Bahwa para mahasiswa yang KKN itu meracuni pikiran anak-anak mereka agar hanya fokus belajar dan tidak perlu bekerja lagi membantu ekonomi keluarga. Salah seorang warga malah ada yang berani membubarkan sekelompok mahasiswa yang tengah mengadakan kegiatan penyuluhan kepada para remaja. Mereka khawatir hal itu membuat anak-anak mereka tidak mau lagi mencari uang.

Mendengar curhatan itu, Majid menawarkan diri untuk menemani mereka selama berkegiatan di desanya. Eni dan teman-temannya menyambut gembira. Usai shalat Maghrib berjamaah, Majid berdiri mengumumkan sesuatu dengan bahasa Sasak kepada para jamaah. Sepertinya ia mengajak para orang tua untuk tidak percaya pada berita bohong tentang para mahasiswa KKN. Majid menjelaskan niat baik para mahasiswa. Ia meminta informasi ini disampaikan kepada warga yang lain. Ia juga mengajak seluruh warga dan anak-anaknya aktif mengikuti setiap kegiatan yang diadakan oleh para mahasiswa KKN di desanya.

Pulang dari masjid, Eni berjalan bersama ibu Majid. Iseng-iseng gadis itu bertanya, “Inaq, Kak Majid itu sudah punya calon istri belum?”

“Anak itu mana peduli sama perempuan. Nggak ada satu pun gadis yang dia terima setiap kali tiyang tawarkan untuknya. Sepertinya dia memilih-milih, cuma tiyang  tidak tahu seperti apa pilihannya,” jawab inaq, panggilan ibu dalam bahasa Sasak Lombok.

Eni terbelalak. “Nggak ada satu pun, Inaq?” tegasnya. Bunda Majid mengangguk.

Jauh di belakang, Majid bergurau dengan para mahasiswa. Mereka membahas nasib para jomblo di antara mereka. “Kalau temanmu yang di depan itu, jomblo juga?” tanya Majid menunjuk Eni yang berjalan jauh di depan mereka.

“Itu sih ratu jomblo kampus, Kak. Hidupnya hanya buat belajar dan organisasi. Nggak ada satu pun laki-laki yang sukses nembak doi,” celoteh salah satu mahasiswa, yang diamini lainnya. “Coba saja Kak Majid, siapa tahu pria seperti Kakak yang selama ini ia harapkan,” tantang mahasiswa itu. Mereka pun tertawa. Diam-diam, Majid merasa tertantang.

Setelah Majid turun tangan, setiap kegiatan yang Eni adakan bersama teman-temannya didatangi banyak partisipan. Jumlah anak yang Eni ajar semakin banyak. Baik mengaji maupun bahasa Inggris. Yang sangat menggembirakan yaitu ketika masyarakat Desa Padak Guar berbondong-bondong keluar rumah, membawa peralatan kebersihan untuk berpartisipasi dalam kegiatan bersih-bersih pantai yang mereka adakan. Mereka bergotong royong menata tepi-tepi pantai agar tampak menarik. Salah satunya dengan memasang sejumlah spot foto yang menarik untuk diupload di sosial media, yang kini  tengah digandrungi kaum milenial.

Majid terharu dengan apa yang ia lihat. Setelah sekian lama memunggungi laut, akhirnya masyarakat kembali sadar akan aset desanya yang berharga. Mereka dengan senang hati bergerak membersihkan tepi-tepi pantai yang tercemar sampah. Para mahasiswa juga melatih masyarakat bagaimana cara memilah sampah organik dan non-organik di sekitar pantai. Mereka juga mengajari cara mendaur ulang sampah agar bermanfaat kembali.

Dengan menggandeng pemerintah desa, Eni dan teman-temannya mendirikan Bank Sampah. Sampah-sampah botol plastik yang biasanya mengotori pantai, kini mulai dipunguti oleh warga untuk disetor ke Bank Sampah sehingga menambah saldo tabungan. Pantai-pantai kini tampak semakin bersih dan lebih menarik. Satu per satu para wisatawan mulai berdatangan. Spot-spot foto pantai ini sekarang viral di media sosial.

Malam ini adalah malam perpisahan para mahasiswa KKN. Kepala Desa beserta masyarakat menggelar perpisahan mereka di tepi pantai dengan menyalakan api unggun sambil membakar hasil tangkapan nelayan, seperti ikan, cumi-cumi, dan udang. Penduduk desa sangat berterima kasih atas pengabdian mereka. Berbagai hidangan khas Lombok yang istimewa mereka suguhkan. Ada kepiting, sambal beberuk, plecing kangkung, sayur ares, sate pusut, sayur kelor ditambah segarnya air kelapa muda. Semilir angin pantai menemani kebahagiaan mereka.

 Eni yang menjadi perwakilan mahasiswa juga menyampaikan ucapan terima kasih dan kata perpisahan. Seperti biasa, gadis itu selalu memukau dengan orasinya. Dari kejauhan Majid mengagumi pesona gadis itu. Sepertinya malam ini ia bersiap memenuhi tantangan itu.

“Kamu hebat seperti biasanya, En,” puji Majid usai gadis itu kembali ke tempat duduknya. Eni tersenyum malu. Pipinya merah merona mendengar pujian lelaki di sampingnya ini. “Sungguh beruntung lelaki yang jadi pendampingmu,” puji Majid lagi. Jantung Eni berdetak tak menentu. Ia merasa kepanasan di tengah hembusan angin pantai.

“Kamu juga hebat. Aku kagum pada kecintaanmu pada desa ini.” Eni balas memuji. Ia segera merespon sebelum Majid tahu raut wajahnya sebenarnya sedang salah tingkah. Baru Eni sadari, hanya Majid yang bisa membuatnya begini.

Setelah lama saling diam, Majid memberanikan diri untuk bertanya. Pertanyaan itu sebenarnya sebagai pintu pembuka sebelum ia mengutarakan isi hatinya yang sebenarnya. 

“Kamu sudah punya?” tanya Majid.

“Punya apa?” jawab Eni.

“Punya calon.”

“Calon apa?”

“Calon suami.”

Eni kaget dengan pertanyaan itu. Tidak menyangka ia ditanya soal itu oleh pemuda yang ia kagumi.

Satu sisi, Eni ingin menjawab apa adanya. Tapi di sisi lain, ia gengsi untuk mengatakan dirinya jomblo. Ia kerap diledek oleh rekan kampus karena statusnya itu. Gadis itu menarik nafas panjang. Lama ia terdiam. Lama sekali gadis itu menjawab pertanyaan Majid. Sampai-sampai Majid harus mengulangi pertanyaannya untuk mendapat kepastian.

“Apa kamu sudah punya calon suami, En?”

“Belum. Tapi…,” jawab Eni.

“Tapi apa?”

“Ada seseorang yang telah memikat hatiku.”

Majid menarik nafas dalam-dalam. Mendengar jawaban Eni, hati Majid porak poranda. Ia berusaha menguasai dirinya. Agar kekecewaannya tidak tampak di hadapan Eni. “Kamu terlalu berharap lebih, Majid,” batinnya. “Lagi pula, mana mungkin gadis secantik Eni belum memiliki kekasih hati. Pasti banyak pria di luar sana yang rela antre demi mendapatkannya,” batinnya lagi.

“Kalau Kamu gimana? Pasti sudah punya calon istri?” Eni ganti bertanya membuyarkan lamunan Majid.

Kali ini, ganti Majid yang terkaget dengan pertanyaan Eni. Saking gugupnya lelaki itu mengangguk.

Melihat anggukan kepala Majid, hati Eni remuk redam. Ia berharap Majid mengatakan belum. Dan ia yakin betul, bahwa Majid memang belum memiliki calon istri. Seperti yang dikatakan oleh ibunya Majid malam itu. Tetapi Majid malah mengangguk. “Jangan-jangan itu karena salahku. Padahal kalau Majid bilang belum, aku akan mengatakan, bahwa seseorang yang telah memikat hatiku adalah dia. Tapi semuanya malah berantakan.”

Esoknya di dalam bus pulang menuju bandara, Eni menyesali jawabannya semalam. “Kenapa kamu nggak bilang kalau dia lelaki pujaan hatimu, En?” batinnya. “Padahal kamu juga senang kan jadi orang Lombok. Membangun masyarakat di sana. Mendidik anak-anak dan para remajanya. Menikmati keindahan alamnya. Dan siap menjadi Nyonya Majid.”

Tatkala teman-temannya menikmati keindahan Pulau Seribu Masjid di sepanjang jalan, Eni malah bersedih. Ia meremas-remas ujung jilbabnya karena gemas. Gadis periang itu tampak murung di tengah kebahagiaan teman-temannya. Saat mereka ribut menawar tenun di Kampung Sasak Sade untuk cinderamata, Eni hanya diam. Biasanya dia paling cerewet saat membeli oleh-oleh. Ketika rombongan singgah untuk shalat Dzuhur di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, ia terus termenung. Pesona Pantai Mandalika tidak mampu mengusir kegalauan hatinya.

Setibanya di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Majid Lombok, Eni mendesah. Seharusnya Majid mengantarnya ke bandara dan melambaikan tangan padanya. Itulah yang dia harapkan. Namun, gara-gara jawaban semalam, musnah sudah harapan gadis bernama lengkap Aini Nurmufida itu.

***

“Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan yang membawa kebaikan bagi semua orang sesuai kesanggupan dan kemampuanku. Dan yang memberi pertolongan untuk mencapai tujuan itu hanyalah Allah” (Al-Quran, Surat Hud Ayat 88)