Redaksi
SAMSUMBA.com Divisi Hukum menjawab sebagai berikut:
Maksud pertanyaan Ibu dapat dirumuskan: apakah istri
kedua dapat mengajukan itsbat atas pernikahan dengan suaminya di saat suaminya
masih terikat pernikahan dengan istri pertama.
Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama
menurut ketentuan Pasal 7 Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, salah satunya adalah
terhadap pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU
Perkawinan). Pernikahan yang Ibu lakukan jelas-jelas mempunyai halangan
pernikahan menurut UU Perkawinan, sebab pada saat menikah, suami Ibu masih
terikat pernikahan dengan perempuan lain, padahal disebutkan dalam Pasal 9 UU
Perkawinan bahwa seorang yang terikat tali pernikahan dengan orang lain tidak
dapat menikah lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 Ayat (2) dan
dalam Pasal 4 UU Perkawinan.
Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan membolehkan
pernikahan kedua bagi orang yang sudah menikah, tetapi itu harus menempuh
prosedur mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan. Pernikahan Ibu di
luar dari maksud pengecualian Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan,
karena pernikahan itu dilakukan secara sirri atau tanpa seizin Pengadilan,
apalagi seperti Ibu sampaikan bahwa sejak awal istri pertama tidak merestui
pernikahan Ibu dengan suami.
Soal bahwa tujuan itsbat nikah adalah untuk tujuan
mulia, yaitu mendapatkan akta kelahiran sehingga dapat menempuh pendidikan, hal
itu sama sekali tidak menjadi alasan yang mentoleransi diterimanya permohonan
itsbat nikah. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018 tentang
Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai
Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan Poin III.A.8 menyebutkan, “Permohonan
itsbat nikah poligami atas dasar nikah sirri meskipun dengan alasan untuk
kepentingan anak harus dinyatakan tidak dapat diterima. Untuk menjamin
kepentingan anak dapat diajukan permohonan asal usul anak”.
Menurut ketentuan SEMA ini, untuk mengurus kepentingan
anak, seperti akta kelahiran, cukup diajukan perkara permohonan asal usul anak.
Tetapi soal pernikahan poligami secara sirri tidak bisa disahkan.
Hukum tidak mengakui pernikahan suami dengan istri
kedua secara sirri, atau dalam istilah lain dianggap tidak ada sehingga tidak
menimbulkan akibat hukum. Jika istri kedua tidak diberi nafkah oleh suaminya
lalu menggugat ke Pengadilan Agama maka tidak dapat diterima karena di mata
hukum istri kedua itu tidak terikat pernikahan dengan suaminya. Demikian pula
istri itu tidak bisa menggugat harta bersama dan warisan dari suaminya.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang
Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 sebagai
Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan Poin C.1.f menyebutkan, “Perkawinan
dengan istri kedua, ketiga dan keempat yang dilakukan tanpa izin pengadilan dan
tidak beriktikad baik, tidak menimbulkan akibat hukum terhadap hak-hak
kebendaan antara suami istri yang berupa nafkah zaujiyah, harta bersama dan
waris”.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pernikahan yang sah
mendapat perlindungan hukum, dan sebaliknya, pernikahan yang tidak sah tidak
mendapat perlindungan hukum.