Itsbat terhadap Pernikahan Poligami

 

Seorang perempuan muslimah yang tinggal di Kecamatan Kanatang mengajukan pertanyaan: saya menjadi istri sirri dari seorang laki-laki yang telah beristri sah. Pernikahan sirri saya telah berjalan selama 5 tahun dan telah dikaruniai 2 orang anak. Namun hingga saat ini suami saya belum mau diajak mengurus surat nikah ke Kantor Urusan Agama. Apalagi sejak awal istri pertama tidak merestui pernikahan suaminya dengan saya. Apakah saya bisa mengajukan permohonan/gugatan ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan surat-surat terkait pernikahan atau status anak? Apalagi anak sudah memasuki usia sekolah, butuh Akta Kelahiran.

Redaksi SAMSUMBA.com Divisi Hukum menjawab sebagai berikut:

Maksud pertanyaan Ibu dapat dirumuskan: apakah istri kedua dapat mengajukan itsbat atas pernikahan dengan suaminya di saat suaminya masih terikat pernikahan dengan istri pertama.

Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama menurut ketentuan Pasal 7 Ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, salah satunya adalah terhadap pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Pernikahan yang Ibu lakukan jelas-jelas mempunyai halangan pernikahan menurut UU Perkawinan, sebab pada saat menikah, suami Ibu masih terikat pernikahan dengan perempuan lain, padahal disebutkan dalam Pasal 9 UU Perkawinan bahwa seorang yang terikat tali pernikahan dengan orang lain tidak dapat menikah lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 Ayat (2) dan dalam Pasal 4 UU Perkawinan.

Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan membolehkan pernikahan kedua bagi orang yang sudah menikah, tetapi itu harus menempuh prosedur mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan. Pernikahan Ibu di luar dari maksud pengecualian Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan, karena pernikahan itu dilakukan secara sirri atau tanpa seizin Pengadilan, apalagi seperti Ibu sampaikan bahwa sejak awal istri pertama tidak merestui pernikahan Ibu dengan suami.

Soal bahwa tujuan itsbat nikah adalah untuk tujuan mulia, yaitu mendapatkan akta kelahiran sehingga dapat menempuh pendidikan, hal itu sama sekali tidak menjadi alasan yang mentoleransi diterimanya permohonan itsbat nikah. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan Poin III.A.8 menyebutkan, “Permohonan itsbat nikah poligami atas dasar nikah sirri meskipun dengan alasan untuk kepentingan anak harus dinyatakan tidak dapat diterima. Untuk menjamin kepentingan anak dapat diajukan permohonan asal usul anak”.

Menurut ketentuan SEMA ini, untuk mengurus kepentingan anak, seperti akta kelahiran, cukup diajukan perkara permohonan asal usul anak. Tetapi soal pernikahan poligami secara sirri tidak bisa disahkan.

Hukum tidak mengakui pernikahan suami dengan istri kedua secara sirri, atau dalam istilah lain dianggap tidak ada sehingga tidak menimbulkan akibat hukum. Jika istri kedua tidak diberi nafkah oleh suaminya lalu menggugat ke Pengadilan Agama maka tidak dapat diterima karena di mata hukum istri kedua itu tidak terikat pernikahan dengan suaminya. Demikian pula istri itu tidak bisa menggugat harta bersama dan warisan dari suaminya.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan Poin C.1.f menyebutkan, “Perkawinan dengan istri kedua, ketiga dan keempat yang dilakukan tanpa izin pengadilan dan tidak beriktikad baik, tidak menimbulkan akibat hukum terhadap hak-hak kebendaan antara suami istri yang berupa nafkah zaujiyah, harta bersama dan waris”.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa pernikahan yang sah mendapat perlindungan hukum, dan sebaliknya, pernikahan yang tidak sah tidak mendapat perlindungan hukum.

“Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan yang membawa kebaikan bagi semua orang sesuai kesanggupan dan kemampuanku. Dan yang memberi pertolongan untuk mencapai tujuan itu hanyalah Allah” (Al-Quran, Surat Hud Ayat 88)