Antara Lombok dan Bali



 Anita Qurroti A’yuni

 

Alarm berbunyi tepat pukul tiga pagi. Nia membuka mata. Ditatapnya bantal kosong itu, lalu ia belai. Ia rindu Akmal, suaminya. Nia bangkit dari ranjang menuju kamar mandi. Rambut panjangnya yang terurai segera ia ikat dengan sebuah karet gelang kuning. Ia hanyut dalam shalat malamnya hingga tak terasa shalawat tarhim mulai berkumandang di berbagai menara masjid. Dosen Universitas Hamzanwadi Pancor yang usianya hampir menginjak kepala empat ini, sangat suka menunggu adzan Shubuh di tanah kelahirannya tercinta yang dijuluki Pulau Seribu Masjid.

“Mama, pipis!” teriak seorang anak lelaki dari dalam kamar sebelah. Usianya baru lima tahun. Cepat-cepat Nia berlari menuju asal suara. Putra keduanya itu sedang berjingkat-jingkat menahan sesuatu. “Ayo cepat! Adik kan bisa langsung ke kamar mandi, nggak usah tunggu Mama,” ujar Nia. “Nggak. Pengen sama Mama,” jawab anak lelaki itu manja.

Seorang anak remaja masih tidur pulas di ranjang sebelah meski adzan Shubuh telah berkumandang. “Sabri, ayo lekas bangun! Sudah adzan Shubuh. Jangan sampai tertinggal jamaah lagi!” Nia membangunkan putra pertamanya. Anak lelaki itu malah menarik selimutnya menutupi kepala, saat Nia memakaikan celana pada putra bungsunya. Perempuan itu berdiri dan menarik selimut biru bergambar karakter superhero idola kedua putranya. “Ayo, Sabri, bangun, hampir iqamah!” kali ini nada Nia mulai tinggi. Sabri tak memperlihatkan tanda-tanda bangun.

Nia mengambil segayung air. Ia mulai memercikkan air itu ke wajah putra sulungnya. “Bangun nggak?” tegasnya. Sabri bergerak-gerak dan mulai duduk, matanya masih terpejam.  “Lihat jam! Ustadz Hamzah hampir iqamah. Cepat!” teriak Nia. Segera Sabri menuju kamar mandi. Pintunya dibanting cukup keras. Nia hanya bisa mengelus dada dan beristighfar. Hatinya tercabik-cabik melihat sikap putra sulungnya ini hampir setiap pagi. “Padahal sudah SMP, kapan anak ini bisa bangun sendiri untuk shalat Shubuh jamaah tanpa dibentak-bentak,” keluhnya dalam hati. Saat merana begitu, ia langsung teringat Akmal, suaminya. “Andai Mas Akmal di sini, pasti mengurus anak-anak lebih mudah,” keluhnya lagi.

Semenjak menikah, Nia hidup terpisah dengan Akmal. Nia adalah dosen perempuan yang cerdas dan berprestasi. Sejak lulus S2 Teknik Kimia di Universitas Brawijaya Malang, ia langsung menerima tawaran mengajar sebagai dosen di Universitas Hamzanwadi Pancor di kota kelahirannya, Lombok Timur. Ia ingin sekali menjadi dosen. Cita-citanya ialah mencerdaskan kehidupan putra-putri daerahnya. Ia sangat mencintai tanah kelahirannya. Sampai-sampai ia rela hidup terpisah dengan suami tercintanya setelah menikah.

Tanah Lombok di matanya bagai potongan tanah surga yang jatuh ke bumi. Pulau ini dianugerahi alam yang sangat indah oleh Sang Pencipta. Keindahan pantai yang mempesona. Alam bawah laut yang memukau. Pegunungan nan elok. Serta sumber daya alam yang melimpah. Ditambah masyarakat yang relijius dan ramah, yang kaya dengan nilai budaya nan luhur. Sungguh Nia ingin memajukan tanah kelahirannya.

 “Hati-hati lho, Nia, Akmal itu gagah, pintar, kaya dan sholeh. Pasti banyak perempuan yang rela jadi madumu,” pesan salah seorang teman dekat Nia.

Akmal yang berasal dari Desa Pekalongan Kecamatan Winong Kabupaten Pati, bekerja di sebuah perusahaan multinasional di Bali. Ia bertemu Nia saat sama-sama menjadi mahasiswa S2 di kampus yang sama. Keduanya sama-sama pintar. Sama-sama punya impian besar yang dikejar. Sama-sama jatuh cinta pada impian masih-masing. Di saat bersamaan pula, keduanya saling jatuh cinta. Akmal sangat tahu, Nia sangat ingin menjadi dosen di tanah kelahirannya. Gadis pujaan hatinya itu, ingin membangun daerahnya. Akmal sangat tertarik dengan perempuan seperti itu. Perempuan bernama lengkap Baiq Husniawati itu telah mencuri hatinya.

Nia juga paham, Akmal adalah lelaki dengan karir yang cemerlang. Banyak orang akan membutuhkan kemampuannya. Manfaat yang bisa lelaki itu berikan, melintasi batas negara. Perempuan itu tidak ingin mengekang sayap kekasihnya. Ia rela lelaki itu terbang tinggi meraih segala impiannya.

Ketika akhirnya mereka menikah, Nia sadar tantangan rumah tangganya tidaklah ringan. Akmal telah diterima menjadi karyawan tetap perusahaan multinasional. Sedangkan dirinya sendiri telah menjadi dosen tetap di sebuah kampus di kotanya. Antara impiannya dan impian Akmal, membutuhkan sebuah pengorbanan cinta yang besar dari kedua belah pihak. Keduanya berkomitmen untuk saling setia meski terpisah jarak dan waktu.

Setelah menikah, hanya seminggu kebersamaan yang mereka lalui. Dinginnya kabut Gunung Rinjani menjadi saksi kehangatan cinta mereka selama berbulan madu. Akmal kembali ke Bali dengan meninggalkan benih cinta dalam rahim Nia. Masa kehamilan yang begitu berat, ditambah beban kerja dosen yang tidak ringan, dijalani dengan tabah tanpa kehadiran Akmal di sisinya. Ia tak pernah menghiraukan gosip-gosip yang beredar tentang suaminya. Ia percaya, Akmal setia.

Namun setelah melewati 13 tahun pernikahan, kali ini Nia merasa hampir menyerah. Putra sulungnya, semakin hari semakin memperlihatkan sikap pemberontakan. Masa puber yang tengah Sabri jalani, benar-benar menguji Nia. Sabri anak yang cerdas, namun sikapnya sangat jauh dari harapan. Ia hampir tidak punya teman. Memang sejak Sabri TK, hari-harinya dipenuhi dengan banyak aktivitas. Mulai dari les renang, les bahasa Inggris, bahasa Arab, tahfidz dan tahsin Alquran, les sempoa, semua Sabri lakoni.

Nia dan Akmal setuju, aktivitas positif yang Sabri lakukan sejak kecil itu, akan mempengaruhi masa depannya. Selain untuk mengusir rasa rindunya pada Sang Ayah. Juga karena Nia, baru pulang kantor menjelang Maghrib. Berbagai aktivitas itu, secara tidak langung seperti tempat pengasuhan anak. Sabri hampir tidak punya teman di Lingkungan Seruni Selong. Nia yang sangat sibuk sebagai dosen, tidak sempat mengajak Sabri bersosialisasi dengan para tetangga di lingkungannya.

Pagi ini saat membaca pesan WA dari wali kelasnya, Nia shock. Ternyata Sabri selama duduk di kelas 1 SMP sering membuat ulah dengan teman sekolahnya. Banyak laporan dari orang tua murid, yang anak-anaknya mengeluhkan Sabri. Putra sulungnya juga sering meninggalkan kelas, terutama pelajaran bahasa Arab, Inggris dan matematika. Para guru pengampu dua mata pelajaran itu kerap melapor kepada wali kelas.

Usai membaca pesan itu, darah Nia serasa mendidih. “Sabri!!” bentaknya dengan suara tinggi. “Apa??” jawab Sabri dengan santai sambil mencorat-coret kertas dengan  pulpennya. “Apa ini?” Nia menyodorkan smartphone di hadapan putranya. “Ooh,” jawabnya. “Kenapa kamu mengganggu teman-temanmu?”

“Penasaran aja, habis mereka kelihatan bahagia banget, Sabri iseng aja bagaimana kalau mereka merasa tidak nyaman. Ternyata ngadu,” jawabnya tenang.

“Iseng?” bingung Nia.

“Iya, Sabri lihat setiap hari mereka jadi anak bahagia. Diantar tiap pagi oleh ayah mereka. Dikirim bekal makan siang oleh ibunya. Dijemput pulang sekolah sama ayahnya lagi. Hidupnya sangat sempurna, Ma. Sabri pingin mereka hidup tidak nyaman sehari aja kok,” jelas Sabri.

“Hidup tidak nyaman? Kamu sadar apa yang kamu katakan? Sikap kamu itu jahat Sabri. Itu dosa,” jawab Nia.

“Kalau begitu, Mama dan Ayah sudah bersikap jahat juga sama Sabri selama ini dong?” Sabri menoleh pada mamanya. “Mama dan Ayah sudah bikin hidup Sabri tidak nyaman hampir setiap hari. Sabri sangat ingin setiap hari diantar sekolah oleh Ayah. Dikirim bekal makan siang sama Mama. Dijemput pulang sekolah sama Mama atau Ayah, atau dua-duanya. Tapi Sabri nggak pernah dapatkan itu. Sabri tidak nyaman. Sabri ingin protes tapi nggak tahu bagaimana caranya. Mama dan Ayah sudah bikin Sabri tidak nyaman. Sikap Mama dan Ayah itu jahat. Itu dosa. Sabri benar kan Ma? Itu yang barusan Mama bilang kan?”

Jantung Nia serasa berhenti berdetak. Apa yang ia dan Akmal korbankan selama ini ternyata menimbulkan korban lain tanpa mereka sadari. Anak-anak mereka ternyata hidup menderita. Memang, Akmal terkadang hanya pulang seminggu sekali, saat akhir pekan. Kadang hanya dua minggu sekali. Pernah juga sampai dua bulan Akmal baru pulang ke Lombok.

Akmal menyeberang dari Pelabuhan Padangbai di Bali menuju Pelabuhan Lembar di Gerung Lombok Barat dengan mobilnya. Di rumah, terkadang Akmal lelah dan hanya seharian tidur. Demikian juga Nia. Saking beratnya beban kerja mereka di kantor, Akmal dan Nia lupa, Sabri dan adiknya menunggu mereka untuk bersenang-senang. Mereka hanya ingin dua hari dalam sepekan hidup ayah dan mamanya untuk mereka. Karena yang selama ini terjadi, waktu mereka habis untuk pengabdian di luar.

Selama liburan semester kali ini juga Nia berencana memasukkan anak-anak dalam kegiatan Alquran Super Camp di kaki Gunung Rinjani di Sembalun. Ia berpikir, daripada di rumah hanya main HP, nonton TV, lebih baik Sabri dan adiknya diikutkan kegiatan liburan. Sedang ia sendiri tidak libur. Dan Akmal pun tidak pulang. Dua tahun sebelumnya, Nia selalu menitipkan anak-anaknya bersama ibunya di Pancor. Tapi setelah ibunya meninggal dunia, tidak ada lagi yang bisa dititipi. Semua saudaranya tinggal di luar Lombok. Sedangkan mertuanya di Jawa Tengah, sudah terlalu sepuh untuk dititipi anak-anak.

Melihat sikap anaknya, Nia spontan menekan nomor HP suaminya. Tiba-tiba Sabri melanjutkan curhatannya. Tanpa Nia sadari, Akmal telah tersambung dengannya sementara Sabri berbicara.

“Yang Sabri pengen, kalau Mama dan Ayah libur nggak mahal kok, Ma. Cuma makan cilok, minum es kelapa atau es campur, jalan-jalan pagi dan sore bareng sama Mama, Ayah dan Adik di Taman Rinjani Selong. Taman itu bagus, Ma. Kita cukup jalan kaki nggak sampai 10 menit dari rumah. Ayah nggak perlu cemas bakal kecapekan nyetir, Ma. Sabri nggak pengen ayah ngajak kita ke Bali. Jalan-jalan mahal naik pesawat. Nggak. Makan Bakso Beka bareng di samping rumah aja udah seneng. Daripada kita jauh-jauh liburan, ujung-ujungnya Mama ditelepon terus sama kerjaan Mama.”

Akmal mendengar semua ucapan putranya di telepon. Ia juga mendengar isak Nia yang terdengar penuh penderitaan. Ia tak menyangka putra sulungnya selama ini menderita. “Menurut Sabri, apa yang harus Mama dan Ayah lakukan?” tanya Nia.

“Entahlah, Ma. Sabri nggak ngerti. Yang jelas, kalau nanti Sabri punya istri, Sabri ingin istri Sabri tidak usah bekerja. Biar bisa Sabri ajak ke mana saja Sabri bekerja bersama anak-anak Sabri nanti. Biar mereka semua nyaman,” jawab Sabri.

“Apa?” Nia tercengang. Salahkah seorang perempuan bekerja, mengamalkan ilmunya, mengabdikan diri untuk masyarakatnya?” tanya Nia dalam hati. Air mata mengalir deras di pipi Nia. Suaminya sendiri, tidak pernah mengatakan hal itu padanya. Di seberang sana, Akmal mendengar semuanya. Ia merasakan betul hancur luluh hati istrinya. Bagaimana mungkin Sabri mengatakan itu pada ibunya sendiri. Siapakah yang salah di sini, sehingga Sabri tumbuh dengan pikiran yang demikian.

Tidak berpikir panjang, Akmal segera menutup teleponnya dan memesan tiket pesawat ke Lombok hari itu juga. Ia meminta izin pada atasannya untuk keperluan darurat. Nia tertunduk lesu di ruang tamu. Air matanya terus mengalir. Sementara Sabri mengunci pintu kamarnya dari dalam. Putra bungsunya yang tengah asyik menonton film kartun favoritnya di televisi tidak tahu-menahu apa yang sedang terjadi.

Kejadian ini adalah pukulan terberat dalam hidup Nia. Pukulan dari orang yang sangat ia cintai, ia lindungi, ia sayangi dengan segenap jiwa raganya. Tak tahu kemana ia harus mencurahkan kesedihannya. Pundak yang ia butuhkan untuk bersandar dan menangis terlalu jauh keberadaannya. Rumah besar berlantai dua yang tampak paling megah dan mewah di Lingkungan Seruni Selong itu tak sedikitpun melipur hati yang terluka sangat dalam.

Nia naik ke lantai atap rumahnya. Dari sana ia bisa melihat Taman Rinjani Selong. Taman itu setiap hari ia lalui saat berangkat kerja. Tak pernah ia sangka, taman itu menjadi impian putranya. Ia duduk di berugak. Merenungi hidupnya. Haruskah ia lepaskan impiannya sekarang, demi kebahagiaan putranya. Smarthphonenya berdering. Suara di seberang sana bertanya-tanya mengapa ia belum tiba di kampus. Nia izin masuk, tiba-tiba badannya lemah.

Saat membuka WA, pesan para mahasiswa yang ingin jadwal bimbingan berderet panjang. Ia bertanya lagi dalam hati, “Haruskah, semua ini diakhiri?” Nia menangis sambil merengkuh kakinya. “Ya Allah, apakah ini semua salahku?” teriaknya dalam hati sambil menangis sesenggukan.

Sementara itu di dalam kamar, Sabri menyesali ucapannya pada Sang Mama. Sebenarnya ia ingin sekali menyembunyikan perasaannya. Tapi tiba-tiba saja pagi ini emosinya tak terkendali. “Pasti Mama sangat sedih,” batinnya. Sabri ingin meminta maaf, tapi dia tipe anak yang sukar mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata. Sekali kalimatnya keluar, seringkali membuat bingung.

Pesawat yang ditumpangi Akmal baru saja mendarat di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Majid Lombok. Ia langsung memesan taksi menuju Selong. “Nia pasti sedang sedih saat ini,” ujarnya dalam hati. Akmal tidak mau keluarganya hancur. Sepanjang perjalanan Bali-Lombok ia berpikir keras. Apakah ia harus mengundurkan diri dari perusahaan dan menetap di Lombok bersama Nia dan kedua putranya. Entahlah. Pekerjaan yang ia jalani saat ini adalah cita-citanya. Haruskah karir yang telah susah payah ia kejar ditinggalkan. Ia teringat kuliah shubuh yang disampaikan Kyai Dhofir di Masjid Darussalam pada Ramadhan tahun lalu, saat ia mudik ke kampung halaman. Kyai Dhofir mengutip hadis Nabi SAW yang artinya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarga. Apakah bekerja jauh dari anak dan istri tergolong perlakuan yang tidak baik terhadap keluarga? batinnya.

Akmal meminta sopir taksi untuk sesegera mungkin sampai ke Selong. Dalam waktu satu jam lebih, akhirnya Akmal sampai di rumah. Ketika membuka pintu rumah, ia mendapati si bungsu yang tengah menonton, berseru dengan mata berbinar, “Ayah!”

“Mana Mama?” tanya Akmal.

“Dari tadi di atas terus,” ujar si bungsu sambil menunjuk ke atap.

“Mas Sabri?”

“Dari tadi di dalam kamar,” ujarnya polos.

Akmal segera naik. Akmal melihat Nia sedang termenung duduk di berugak. “Sayang,” panggil Akmal. “Lho, Yah, kapan, bagaimana...?” Nia kaget dan heran saat melihat Akmal di hadapannya. Ia langsung berlari memeluk suaminya. Dada itu yang ia butuhkan. Perempuan itu menumpahkan air matanya. Akmal membiarkan istrinya puas menangis di dadanya. Dibelainya rambut hitam panjang itu. Diciumnya. Harum tubuh Nia itulah yang selalu ia rindukan. Ia yakin sanggup melakukan apapun demi membahagiakan perempuan dalam pelukannya itu. Bahkan bila ia harus melepaskan impiannya.

Nia merasa damai dalam pelukan Akmal. Emosinya kembali stabil setelah puas menangis. Beberapa saat kemudian mereka telah duduk bersanding di berugak, menatap hijaunya hutan Kota Selong. “Makan bakso di Taman Rinjani yuk!” ajak Akmal. “Sabri pengennya makan cilok,” sela Nia sambil tersenyum. “Ayo dah, makan cilok. Atau apa saja yang mau dimakan di sana. Keripik, batagor, rujak, es kelapa, es campur, serabi, soto, mau beli segerobaknya juga Ayah sanggup beli.”

Nia mencubit perut Akmal sambil tertawa. “Temui Sabri di kamar! Mama nggak sanggup.”

“Oke.”

Akmal turun menuju kamar Sabri. “Sabri.  Temani Ayah, Mama dan Adik makan cilok di Taman Rinjani yuk,” ajak Akmal. Di dalam kamar, Sabri heran mendengar suara Ayahnya. Kapan ayahnya datang. Ia tertidur cukup lama sejak merasa bersalah pada Mamanya tadi. Sabri segera membuka pintu kamar. “Ayah, kapan Ayah sampai? Kok Sabri nggak tahu?”

Sabri tipe anak yang mudah melupakan amarahnya. Begitu ada sesuatu yang menarik perhatiannya, ia lupa dengan kesedihan yang baru saja ia alami. Sore itu, impian Sabri terwujud. Ia bersama mama, ayah dan adik kecilnya berjalan-jalan sore di Taman Rinjani Selong. Mereka makan cilok di bawah pohon besar sambil minum es kelapa dan es campur. Akmal juga membelikan mereka keripik singkong dan memakannya di bangku depan air mancur. Si bungsu merengek minta ditemani ayunan dan perosotan. Sabri lalu menemani adiknya di area bermain. Anak itu sangat bahagia. Ia tidak menyadari, hati mama dan ayahnya sedang gelisah dihantui rasa bersalah.

Esoknya, pagi-pagi sekali Akmal mengajak keluarga kecilnya berolahraga di Pelabuhan Labuhan Haji yang berjarak enam kilometer dari Selong. Dulunya pelabuhan ini adalah tempat orang-orang Lombok berangkat melaksanakan ibadah haji. Sekarang tempat ini menjadi destinasi wisata yang dikunjungi banyak orang. Banyak penjual ikan dan cumi bakar yang berjejer di tepi jalanan pantai. Asap-asap hasil bakaran itu mengepul-ngepul menimbulkan aroma sedap yang membuat setiap orang yang lewat tergiur. Pagi ini, matahari bersinar cerah. Langit sangat bersih. Lautan biru amat tenang. Setelah Sabri dan adiknya berlari-lari kecil, mereka berdua duduk di bebatuan besar di tepi pantai sambil memandang hamparan laut yang luas.

Akmal dan Nia duduk di samping mereka. Matahari perlahan mulai naik. Gagahnya Gunung Rinjani tampak di belakang mereka dengan sangat jelas. “Sabri, apa Kamu senang bisa seperti ini terus dengan Ayah dan Mama?” tanya Akmal.

“Senang, Ayah,” jawab Sabri.

“Kalau begitu, Ayah akan kerja saja di Lombok. Ayah akan tinggalkan pekerjaan Ayah di Bali.”

Nia terkejut mendengar penyataan Akmal yang tiba-tiba. Masalah ini sungguh tidak pernah Akmal ucapkan semenjak datang.

“Jangan, Ayah. Biar Mama saja yang menemani Ayah kerja di Bali, itu kan pekerjaan impian Ayah,” Nia menyela.

“Jangan, Ma. Pekerjaan Mama di sini sangat mulia. Mama sangat dibutuhkan di sini.”

Mereka berdua saling menyela. Keduanya lalu terdiam lama. Tidak tahu harus berbuat apa. Si bungsu yang sedang asyik bermain dengan mobil-mobilannya, tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan orang dewasa.

Tiba-tiba Sabri ikut berbicara. “Ayah, Mama, Sabri minta maaf.” Anak itu mengumpulkan keberaniannya untuk bicara.  “Sabri sangat senang saat Ayah dan Mama ada di rumah,” lanjutnya. “Ingin rasanya seperti ini setiap hari. Tapi sepertinya tidak bisa. Ayah..., Sabri bangga punya ayah yang hebat. Sabri ingin seperti Ayah kalau sudah besar nanti,” ujarnya sambil menatap Akmal.

“Mama, Sabri juga bangga punya ibu sehebat Mama. Mama membuat pintar banyak orang,” ganti ia menoleh pada Nia. Sebuah ombak menghempas bebatuan di hadapan mereka. Angin pantai mengibar-ngibarkan hijab merah muda Nia. “Bekerjalah seperti biasanya. Sabri, hanya perlu mengungkapkan perasaan Sabri yang sebenarnya. Agar Ayah dan Mama tahu. Selama ini, Sabri sangat ingin lebih lama bersama-sama dengan Ayah dan Mama. Maafkan ucapan Sabri yang telah menyakiti Mama ya. Sabri akan selalu meminta kepada Allah, agar sering-sering diberi kesempatan seperti sekarang ini. Sabri yakin Allah pasti akan mengabulkan. Sabri juga janji tidak akan lagi membuat teman-teman dan guru di sekolah tidak nyaman.”

Akmal dan Nia saling menatap. Mereka begitu tersentuh dengan ucapan putra sulungnya yang begitu bijaksana. Dalam hati mereka sama-sama berjanji, akan selalu memberikan kebahagiaan dan waktu yang berkualitas bagi kedua buah cinta mereka.

“Makan ikan bakar, yuk!” ajak Akmal.

“Mama mau pakai terong bakar sama sambal beberuk, ya Ayah,” pinta Nia.

“Oke.”

“Sabri tambah udang sama cumi bakar, Yah,”

“Siap, Bos.”

“Adik pengen disuapin Ayah,” ujar si bungsu. Semua menoleh pada anak lelaki imut dan manis dengan rambut hitam berponi ini. Semua gemas mendengar celotehnya.

“Oo...pintarnya anak Ayah ini,” gemas Nia sambil mengacak-acak rambut bungsunya yang manja itu.

***

“Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan yang membawa kebaikan bagi semua orang sesuai kesanggupan dan kemampuanku. Dan yang memberi pertolongan untuk mencapai tujuan itu hanyalah Allah” (Al-Quran, Surat Hud Ayat 88)