Urgensi Shalat dan Kewajiban Mengganti Bagi yang Meninggalkannya


 Oleh KH. Ahmad Ghozali Assegaf, Lc., MA.

(Pengasuh Pondok Pesantren Daarul Maarif Natar Lampung Selatan)

Rajab adalah salah satu bulan dalam penanggalan hijriyah yang ketujuh. Bulan ini merupakan bulan istimewa bagi kaum muslimin, khususnya perindu rahmat Allah dan pecintah ibadah kepada-Nya. Menurut Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Rajab berasal dari kata tarjiib yang berarti ta’dhiim (pengagungan) karena pada bulan itu diagungkan oleh bangsa Arab sehingga mereka meletakkan senjata dan tidak ingin menumpahkan darah di dalamnya.

Rajab merupakan salah satu dari empat bulan yang disucikan atau Asyhurul Hurum, selain Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Sebagaimana Tanah Suci, maka pada Bulan Suci setiap amal kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya dan amal kemaksiatan akan dilipatgandakan dosanya.

Rajab juga merupakan bulan ibadah karena merupakan gerbang utama persiapan dan pelatihan ibadah guna mencapai hasil maksimal di bulan Ramadhan. Ibarat seorang petani, maka di bulan Rajab seorang muslim harus memulai menyiapkan lahan menebar benih dari bibit yang unggul. Lalu jika datang bulan Syaban, maka ia harus memberi pupuk dan menghilangkan hama yang datang. Lalu ketika datang Ramadhan, itulah saatnya si petani memanen hasil tanaman yang ia persiapkan selama ini.

Di bulan Rajab ini pula, menurut pendapat yang masyhur di antara para ulama, terjadi peristiwa agung Isra dan Miraj, yaitu perjalanan suci Rasulullah SAW dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsa di Baitul Maqdis Palestina. Lalu melanjutkan perjalanan menuju Sidratul Muntaha di langit yang ketujuh.

Salah satu hal penting yang terjadi pada peristiwa itu adalah diperintahkannya shalat lima waktu. Penurunan perintah shalat lima waktu secara langsung tanpa perantara dan dilakukan di Sidratul Muntaha merupakan sebuah isyarat penting bahwa shalat bukan sembarang ibadah. Shalat merupakan rukun Islam yang kedua dan baik buruk seseorang di hadapan Allah tergantung pada shalatnya. Shalat adalah yang membedakan seorang muslim dengan Non Muslim. Rasulullah SAW bersabda:

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

(Perbedaan) antara seorang lelaki Muslim dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim).

Shalat adalah ibadah istimewa karena merupakan sarana komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan:

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ

Jika salah seorang di antara kalian di dalam shalat maka sesungguhnya ia sedang berbicara dengan Tuhannya.” (Muttafaq Alaih).

Shalat merupakan ibadah yang tidak dapat ditinggalkan dengan alasan apapun. Jika seorang sakit, atau musafir maka boleh menunda pelaksanaan puasa. Jika seorang tidak dapat melaksanakan haji di tahun ini maka boleh dilaksanakan di tahun berikut selama masih ada kemungkinan kemampuan. Bahkan, dalam keadaan sangat genting seperti di tengah pertempuran, atau sakit yang sangat parah, maka shalat masih tetap wajib dilakukan. Seorang yang tidak bisa shalat sambil berdiri maka melaksanakannya sambil duduk. Jika tidak mampu maka sambil berbaring. Jika tidak mampu berbaring maka dengan kelopak matanya dan jika tidak mampu juga maka melaksanakan shalat dengan hatinya.

Namun sungguh disayangkan, kaum muslimin saat ini banyak sekali yang tidak peduli kepada ibadah ini. Ada yang bermalas-malasan sehingga melaksanakan shalat di akhir waktu. Atau melaksanakan shalat sesuai keinginan dan kesempatan. Bahkan banyak yang tidak melaksanakan shalat kecuali hari Jumat. Bahkan hanya ketika datang hari raya saja. Keadaan ini sangat berbeda sekali dengan keadaan kaum muslimin di zaman Rasulullah SAW dan para sahabat yang sangat memperhatikan kewajiban shalat ini, bahkan mereka berusaha melaksanakannya secara berjamaah di masjid. Di zaman itu, seorang munafik pun melaksanakan shalat meskipun dengan bermalas-malasan. Padahal munafik di zaman Rasulullah SAW hakikatnya adalah orang kafir yang berpura-pura masuk Islam. Allah SWT berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa : 142)

Meninggalkan shalat merupakan perbuatan dosa besar. Bahkan, Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa para ulama bersepakat, dosa meninggalkan shalat wajib jauh lebih besar dari dosa kemaksiatan apapun, termasuk kemaksiatan besar seperti berzina, mencuri, berjudi dan lain sebagainya. Ketika perjalanan Isra dan Miraj, ditampakkan kepada Nabi SAW sebuah kaum yang memukul-mukul kepalanya dengan batu dengan keras sehingga hancur. Setiap kali kepalanya hancur, mereka dikembalikan lagi seperti sedia kala. Maka beliau bertanya kepada Malaikat Jibril tetang mereka. Maka Jibril berkata, "Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan shalat".

Para ulama telah bersepakat bahwa seorang yang meninggalkan shalat lima waktu maka wajib mengganti (qadha) shalatnya tersebut betapa pun banyak jumlahnya.

Secara garis besar, ada dua keadaan seorang meninggalkan shalat wajib lima waktu. Keadaan pertama, meninggalkan shalat karena tidak sengaja, yaitu karena dua alasan: tertidur atau terlupa. Para ulama berijmak bahwa seorang yang tidak melaksanakan shalat karena tertidur atau terlupa maka ia wajib melaksanakan shalat itu jika telah terbangun atau teringat kembali. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW:

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Barang siapa yang terlupa shalatnya, atau tertidur darinya, maka kafaratnya adalah melaksanakan shalat itu ketika telah ingat.” (HR. Muslim).

Bahkan, Rasulullah SAW dan sejumlah sahabat pernah tertidur atau terlupa maka mereka langsung me-qadha shalat mereka. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya dari Imran bin Hushain RA, ia berkata, “Aku bersama Nabi SAW dalam sebuah perjalanan. Lalu kami memasuki waktu malam. Hingga ketika sudah mendekati waktu shubuh kami beristirahat. Kami tak kuasa menahan mata hingga kami tertidur hingga matahari terbit. Yang pertama bangun adalah Abu Bakar. Kami tidak ingin membangunkan Nabi SAW dari tidurnya hingga beliau bangun sendiri. Lalu bangunlah Umar dan berdiri di sisi Nabi SAW sambil mengumandangkan takbir dengan suara keras hingga beliau terbangun. Ketika mengangkat kepalanya dan melihat matahari telah terbit, beliau berkata, “Berangkatlah.” Lalu kami berjalan lagi hingga matahari menjadi terang lalu kami beristirahat dan melaksanakan shalat shubuh”.

Adapun riwayat terlupanya beliau dari shalat adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Kitab Sunan dari Abdullah bin Mas’ud RA, ia berkata, “Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Nabi SAW dari empat shalat ketika perang Khandak. Lalu beliau memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan, lalu mengumandangkan iqamat dan shalat Zhuhur, lalu iqamat dan shalat Ashar, lalu iqamat dan shalat Magrib, lalu iqamat dan shalat Isya”.

Keadaan kedua, seseorang meninggalkan shalat karena sengaja, seperti karena malas, tidak peduli dan lain sebagainya. Mayoritas ulama, termasuk para ulama empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali berpendapat bahwa seseorang yang meninggalkan shalat secara sengaja maka ia harus me-qadha’ shalat tersebut. Inilah pendapat yang benar dan didukung dengan berbagai dalil. Bahkan sejumlah ulama, seperti Nawawi, menyebutkan adanya ijmak dalam masalah ini.

Sebagian kecil ulama, seperti ulama mazhab Dhahiriyah dan Ibnu Taimiyah, berpendapat bahwa shalat wajib yang ditinggalkan dengan sengaja tidak dapat dan tidak sah di-qadha’ selamanya, tapi ia harus bertaubat dan memperbanyak amal shaleh, terutama shalat sunah untuk menutupi dosa dari kemaksiatannya tersebut.

Dalil mayoritas ulama tentang kewajiban mengqadha shalat wajib. Di antaranya adalah: (1) Qiyas aula (qiyas utama). Yaitu jika shalat yang ditinggalkan dengan tidak sengaja saja wajib diqadha’ maka lebih utama shalat yang ditinggalkan dengan sengaja; (2) Qiyas kepada puasa ramadhan dan ibadah wajib lain. Sebagaimana puasa ramadhan harus diqadha` bagi yang meninggalkannnya maka shalat pun harus diqadha` jika ditinggalkan karena sama-sama ibadah wajib yang harus dilaksanakan.

Inilah pendapat yang benar karena kuatnya dalil yang disebutkan dan diikuti hampir seluruh ulama. Dan ini pula pendapat yang lebih ringan dalam pelaksanaannya. Karena jika mengikuti pendapat yang menyatakan cukup bertaubat dan melakukan banyak amal ibadah sunah, maka betapa banyak amal ibadah sunah untuk dapat menutupi shalat-shalat yang ditinggalkan itu. Menurut para ulama, 1 (satu) ibadah wajib adalah berbanding dengan 70 kali ibadah sunah. Artinya jika seorang meninggalkan satu saja dari shalat wajib maka untuk dapat menutupi nilai utang shalat itu ia harus melaksanakan minimal 70 kali shalat sunah.

Adapun cara me-qadha shalat wajib yang pernah ditinggalkan adalah seperti melaksanakan shalat itu seperti biasa. Tapi shalat qadha boleh dilaksanakan kapan saja dan tidak harus sesuai waktu shalat wajib bersangkutan.

Oleh karena itulah, marilah kita jaga amal yang sangat penting ini. Shalat lah ibadah yang menjadi penentu baik buruknya diri kita di akhirat. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ

“Sesungguhnya amal pertama yang akan dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika baik maka ia akan beruntung dan selamat. Tapi jika rusak maka ia akan merugi dan menyesal.” (HR. Tirmidzi).

Semoga Allah SWT menjadikan kita sebagai hambanya yang dapat menjaga shalat dan kewajiban syariat lain, memudahkan kita dan keluarga kita untuk selalu taat dan menjauhi kemaksiatan kepadanya, menjauhkan kita semua dari fitnah akhir zaman. Amin Ya Rabbal Alamin.

“Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan yang membawa kebaikan bagi semua orang sesuai kesanggupan dan kemampuanku. Dan yang memberi pertolongan untuk mencapai tujuan itu hanyalah Allah” (Al-Quran, Surat Hud Ayat 88)