Menggugat Waris, Durhakakah?


Oleh H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim PTA Jayapura dan Mantan Ketua PA Waingapu)

Beberapa waktu lalu ada berita viral di dunia hukum. Sebagaimana banyak ditulis oleh media, baik cetak maupun elektronik, seorang anak di Situbondo nekat menggugat ayah kandungnya sendiri di Pengadilan Agama setempat. Perempuan bernama Nofiandari Safira ini menggugat rumah yang ditempati tergugat yang tak lain ayah kandungnya sendiri, pada Selasa 31 Januari 2023. Gugatan Nofiandari ini konon membuat ayahnya Bambang Purwadi shock. Dia tidak menyangka anak yang dirawatnya sejak kecil tega menggugat dirinya saat usianya sudah senja. Bahkan, anaknya itu berusaha keras mengusir sang ayah dari rumah yang ditempatinya. 

Selain karena usia yang telah menua, pensiunan salah satu pegawai badan usaha milik negara ini tengah dalam kondisi sakit komplikasi. Tetapi belakangan diketahui, alasan sang anak menggugat karena Bambang Purwadi sepeninggal ibunya menikah lagi dengan perempuan lain. Si anak rupanya khawatir kalau objek sengketa (satu-satunya) itu kemudian dikuasasi ibu tirinya jika sang ayah meninggal.

Inilah penggalan kasus yang ketika artikel ini ditulis belum diketahui bagaimana ending-nya karena masih dalam pemeriksaan hakim. Hakim pasti akan mengetahui detail kasus setelah kedua belah pihak mengemukakan peristiwa yang sebenarnya menurut versinya masing-masing beserta pemeriksaan sejumlah bukti sebagai pendukung dalil-dalil mereka.

Kita tentu masih ingat sebelum kasus Situbondo ini juga ada sejumlah kasus tentang anak berani melawan orang tua di pengadilan. Sebelum mengetahui detail kasusnya, biasanya masyarakat akan cenderung menilai anak dalam posisi yang negatif. Sejumlah stigma akan disematkan kepadanya, mulai “anak tak tau diri”, “anak raja tega”, bahkan sampai predikat “anak durhaka”. Menghadapi fenomena demikian seorang intelektual hukum juga pernah ‘terpancing’.

Menurut  Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Sonny Dewi Judiasih, sebagaimana dikutip oleh unpad.ac.id (Senin 25 Januari 2021), secara normatif anak tidak diperbolehkan mengajukan gugatan terhadap orang tua. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan. Pasal 46 Ayat 1 dan 2 UU Perkawinan telah dengan tegas mewajibkan seorang anak untuk menghormati orang tua serta wajib memelihara jika anak sudah dewasa. Karena itu, fenomena kasus anak gugat orang tua merupakan contoh dari ketidaksesuaian norma dari UU Perkawinan.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi siapa yang salah antara keduanya: anak atau bapak. Oleh karena kita hanya dapat menilai dari pemberitaan, maka keinginan kita mempertanyakan mengapa kasus itu bisa terjadi pasti selalu menimbulkan pertanyaan berikutnya secara timbal balik. Masing-masing pihak bisa dalam posisi seolah benar dan saat yang sama juga bisa  dalam posisi seolah salah. Dalam kondisi demikian, jika masing-masing merasa benar, akan sulit mencari titik temu. Bahkan, kalau masing-maing tidak dapat mengelola perasaan, memang bukan tidak mungkin perkara demikian bisa menimbulkan pertengkaran yang tidak berujung. Langkah menempuh jalur hukum, dalam konteks demikian, meskipun sering dipandang kurang elok, sebenarnya jauh lebih baik.

Terlepas dari kasus anak versus ayah di atas, menurut Islam pembagian harta waris merupakan perkara penting yang banyak diabaikan oleh banyak orang. Ketika ada seorang meninggal dunia pada saat itu pula hukum waris berlaku. Keharusan perpindahan harta waris berikut ketentuan bagiannya kepada ahli waris di luar kehendak pewaris ini dalam hukum kewarisan Islam disebut asas ijbari. Konsekuensi asas ini, apabila  seseorang meninggal dunia dan kebetulan mempunyai harta, setelah harta tersebut dipergunakan untuk membayar kewajiban si mayit (utang, wasiat atau kewajiban lainnya), sisanya merupakan tirkah (harta warisan) yang menjadi hak seluruh ahli waris yang berhak menerima. Tentang siapa yang berhak menerima dan berapa besar bagiannya ini telah diatur oleh ilmu faraid.

Akan tetapi memang patut disayangkan, kebanyakan masyarakat pada umumnya tidak menyegerakan penyelesaian urusan harta waris ini. Penundaan ini memang disebabkan oleh sejumlah alasan pembenar, seperti faktor etika. Rasanya tidak etis membicarakan harta warisan almarhum di saat seluruh keluarga sedang berduka. Sampai di sini alasan tersebut tampaknya boleh mendapat toleransi. Akan tetapi, ternyata bukan hanya itu. Ketidaktahuan harus memulai dari mana akibat tidak ada ahli dan siapa yanag berani memulai pembicaraan, juga ikut menjadi penyebab. Akibat tidak ada yang ahli, para keluarga pun sering menunda pembagian warisan. Sebagaimana diketahui ilmu faraid sejatinya merupakan salah satu penting tetapi banyak diabaikan masyarakat. Rasulullah SAW juga pernah mensinyalir hal ini dalam salah satu haditsnya.

Yang lebih membuat kita prihatin ialah apabila penundaan tersebut disebabkan oleh oknum angggota keluarga. Oknum ini dengan sengaja menunda pembagian dengan maksud ingin mendapat keuntungan lebih dulu. Hal ini bisa terjadi kalau harta warisan ini berupa perniagaan atau kekayaan produktif lainnya yang secara rutin bisa memberikan penghasilan. Situasi dan kondisi ini akan makin runyam, ketika akibat perkawinan keluarga yang semula kecil menjadi besar.  Kedatangan para menantu dengan berbagai latar belakang kepentingan sering terlibat baik secara langsung atau tidak langsung ke sebuah persengketaan harta waris ini. Pada perkembangan berikut, nilai objek sengketa yang kemudian melangit juga menjadi pemicu persengketaan antar ahli waris semakin sengit yang notabene masih keluarga dekat ini. Sejumlah alasan biasanya sering dijadikan penutup sikap culas oknum ahli waris itu. Bahkan ada yang sengaja menunda pembagian itu dengan motif jahat, yaitu ingin menguasai semua harta warisan almarhum yang kebetulan berada dalam kekuasaannya. Dia lupa bahwa membagi harta warisan kepada ahli waris yang berhak merupakan keharusan agama yang langsung diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ketika ada orang meninggal, ahli warisnya memang bisa muncul dua kemungkinan. Ada yang sadar dan tidak sadar. Yang sadar tentu menginginkan harta warisan dibagi kepada ahli waris sesuai porsinya atau menurut kesepakatan setelah mereka tahu porsi seharusnya. Yang tidak sadar memandang harta waris sebagai barang yang bisa diperebutkan sesuka hatinya. Kalau perlu diberlakukan hukum rimba. Mengenai hal ini sudah diantisipasi oleh Allah. Ketika menutup ayat waris pun Allah merespons kemungkinan adanya dua kelompok ini, yaitu menjanjikan pahala surga bagi yang taat dan memberikan ancaman siksa neraka bagi yang tidak taat. Taat dalam arti dapat legowo bahwa harta warisan merupakan amanat leluhur yang harus dibagi secara adil sesuai ketentuan Allah. Tidak taat dalam arti nafsu ingin mendapat porsi bagian paling banyak dengan sejumlah alasan pembenar meskipun tidak sesuai dengan ketentuan Allah (Vide Surat An-Nisa’ Ayat 12-13).

Penundaan pembagian waris pada akhirnya tidak hanya menjadi problem pengadilan tetapi sebenarnya juga menyulitkan keluarga yang bersangkutan di kemudian hari. Pengadilan memang sering menerima perkara waris yang sudah beralih kepada ahli waris dengan tingkatan generasi yang sudah berlapis-lapis. Pada umumnya para pengaju perkara sering gagal mengidentifikasi silsilah ahli waris berjenjang ini secara benar. Pada tahap ini, sering perkara waris harus gagal sebelum materi pokoknya diperiksa akibat ada sebagian ahli waris yang tidak dijadikan pihak. Kalau pun pada tahap ini sudah berhasil dilalui, kesulitan berikut pengaju perkara juga sangat sulit ketika harus membuktikan. Dalam rentang waktu yang sudah lintas generasi tentu banyak dukumen yang sudah tercecer di mana-mana, bahkan hilang. Para saksi pun sudah sulit di dapat. Pada saat yang sama pengadilan hanyalah mengadili berdasarkan berkas dan bukti-bukti yang diajukan. Potensi kesalahan hakim akibat kesalahan para pihak ‘bernarasi’ di depan hakim, sangat mungkin terjadi. Itulah sebabnya banyak kasus waris yang sudah menyangkut ahli waris berjenjang ini, sering memakan biaya besar, waktu yang panjang dan berliku akibat para pihak tidak puas dengan putusan hakim kemudian sering menggunakan segenap upaya hukum yang ada, baik upaya hukum biasa ((banding dan  kasasi) maupun upaya hukum luar biasa (PK dan derden verzet).

Dalam konteks ilustrasi di atas kenekatan si anak menggugat waris seperti dalam kasus di muka sebenarnya mengajarkan beberapa hal, antara lain:

Pertama, sebaiknya penyelesaian urusan waris sedapat mungkin segera diselesaikan. Bagi masyarakat yang berkeyakinan ‘harus’ ada acara selamatan (tahlilan atau dzikiran), pembicaraan ini mungkin bisa dimulai segera setelah acara 100 hari atau maksimal 1.000 hari.

Kedua, perlunya keterbukaan. Orang yang meninggal sering mempunyai keluarga yang selalu ‘setia’ mendampinginya saat masih sehat sampai meninggal dunia.  Sedangkan yang lain karena alasan tugas atau tinggal di luar kota sering tidak bisa bersama almarhum/almarhumah. Keluarga dekat ini biasanya relatif tahu banyak tentang almarhum/almarhumah berikut aset-aset yang dipunyainya. Keluarga ini tentu punya tanggung jawab untuk berkata jujur tentang keberadaan aset-aset yang dipunyai almarhum. Termasuk jujur menyampaikan kepada ahli waris yang lain kemungkinan ada atau tidaknya wasiat yang disampaikan oleh almarhum/almarhumah sebelum meninggal.

Ketiga, pentingnya menjaga silaturahmi keluarga. Silaturahmi yang baik dan tulus antar keluarga sering bisa menyelesaikan persoalan keluarga serumit apapun, termasuk menyelesaikan warisan. Sebaliknya, banyaknya kasus waris harus sampai ke pengadilan sering disebabkan oleh hubungan silaturahmi yang tidak sehat. Dalam hal ini penting disimak pesan-pesan agama tentang pentingnya menjaga silaturahmi dan ancaman bagi yang memutuskannya.

Keempat, pentingnya  kejujuran. Keluarga yang kebetulan dekat almarhum dan tahu banyak tentang aset yang ada, perlu legowo menerima uneg-uneg ahli waris lain dengan satu komitmen bahwa harta yang ditinggalkan almarhum/almarhumah merupakan hak seluruh waris yang berhak menerima. Dia harus jujur dan meyakinkan kepada seluruh keluarga, bahwa ia tidak punya niat sedikit pun ingin menguasai apalagi memiliki secara sepihak harta warisan yang ada dengan mengabaikan ahli waris yang lain.

Kelima, perlu kepedulian tokoh agama. Salah satu sebab mengapa tertunda-tunda pembagian waris juga disebabkan oleh faktor ketidaktahuan. Ketidaktahuan ini bisa mengenai siapa dan berapa ketentuan bagian ahli waris. Akan tetapi di samping  itu yang lebih berbahaya ialah apabila ahli waris ada yang pura-pura tidak tahu. Pura-pura tidak tahu, bahwa harta peninggalan almarhum/almarhumah merupakan milik semua ahli waris yang berhak menerima. Pencerahan para tokoh agama (ustadz, kiai atau tuan guru) mengenai urgensi menyegerakan penyelesaian urusan waris ini perlu ditanamkan kepada masyarakat. Lebih dari itu, mereka perlu mendapat pencerahan mengenai akibat hukum memakan harta yang bukan haknya kelak di akhirat. Pembagian harta waris yang tertunda berpotensi terjadinya kezaliman akibat adanya sebagian keluarga yang secara sengaja atau tidak sengaja makan hak ahli waris yang lain. Dalam konteks ini gugatan ahli waris kepada siapa pun “dengan niatan menolak kezaliman” justru harus dianggap sebagai upaya penyelamatan tergugat sendiri dari sanksi akhirat yang tentu lebih dahsyat ketimbang perasaan ewuh pekewuh yang hanya berbasis kepentingan dunia semata.

“Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan yang membawa kebaikan bagi semua orang sesuai kesanggupan dan kemampuanku. Dan yang memberi pertolongan untuk mencapai tujuan itu hanyalah Allah” (Al-Quran, Surat Hud Ayat 88)