Anita Qurroti A’yuni
Lebaran tahun ini, warung bakso milik Bu Jum sepi pengunjung. Pandemi virus corona telah membuat para perantau dilarang mudik ke kampung halaman. Desa Pekalongan yang selalu ramai dibanjiri perantau saat lebaran, kini sunyi. Toko-toko baju yang selalu penuh sesak, sekarang longgar. Semarak kembang api, obor, tabuhan bedug, pawai takbiran yang biasanya gemerlap menghiasi malam Idul Fitri, tahun ini sirna.
Hari Raya
Idul Fitri tahun ini, tidak seperti tahun lalu. Biasanya di hari-hari lebaran
sebelumnya Bu Jum hampir kewalahan melayani pelanggan. Sampai-sampai ia kasihan
pada Ela. Anak semata wayangnya yang kuliah di Surabaya
itu, harus bekerja membantunya di warung bakso. Terlebih dia seorang mahasiswi
kedokteran di kampus bergengsi di Kota Pahlawan. Tidak pantas
rasanya jadi pelayan warung bakso kampungan.
“Ela kan senang bisa membantu Ibu,”
ujar Ela, saat Bu Jum merasa iba pada putri kesayangannya. “Kamu seharusnya
silaturrahmi kepada guru-guru sekolah, bukan uplek di warung, Nduk.” Sesal
Bu Jumirah saat itu.
Tapi lebaran ini, ia hanya di warung sendiri. Ela tidak bisa pulang
karena menjadi tim medis Kota Pati dalam menangani corona.
Jumirah sangat menyayangi Ela. Perempuan 45 tahun itu bekerja keras
untuk membahagiakan putri cantik yang ia besarkan seorang
diri. Musthofa, bapak Ela, pergi merantau ke Arab saat gadis manis itu masih
berusia dua
bulan dalam kandungan. Kepada Jumirah, Musthofa
berjanji akan selalu mengirim berita. Nyatanya, kabar yang selalu Jumirah
tunggu-tunggu tidak pernah datang.
Setiap ada rombongan calon Tenaga Kerja Indonesia atau calon haji yang hendak berangkat ke Arab Saudi dari
kampungnya, selalu ia titipi surat. Berharap mereka bisa bertemu dengan Musthofa
dan menyampaikan suratnya. Nihil. Musthofa bak hilang ditelan bumi. Tak ada
satu surat pun yang menceritakan kabar kekasih hatinya.
Dua puluh empat tahun ia lalui dalam kesendirian. Hanya Ela pelipur
rasa rindu pada Musthofa. Gadis itu mewarisi ketampanan bapaknya. Hidungnya
bangir, kulitnya kuning mulus, bulu matanya lentik, senyumnya menawan. Ia juga
tinggi seperti bapaknya. Selalu
menjadi perhatian lawan jenisnya. Entah mengapa Musthofa justru memilih
Jumirah. Gadis miskin yatim piatu yang bekerja sebagai pembantu di rumah
keluarga Musthofa yang kaya raya. Keluhuran budi pekerti dan kecantikan Jumirah
membuat putra tunggal keluarga itu jatuh cinta.
Pernikahan mereka membuat keluarga besar Musthofa gempar. Ibunya
menentang, namun ayah Musthofa merestui mereka. Dua jiwa itu akhirnya melebur
menjadi satu dalam manisnya perkawinan. Hingga buah cinta mereka tumbuh dalam
rahim Jumirah. Namun, indahnya kebersamaan itu tidak berlangsung lama. Saat
ayah Musthofa meninggal dunia, ia berwasiat agar putranya itu melanjutkan studi
ke Arab Saudi.
Lima bulan
setelah sang ayah wafat, Musthofa harus berangkat untuk menunaikan wasiat itu.
Semua sawah milik keluarga Musthofa dijual untuk membiayai keberangkatan dan
kebutuhan hidup selama Musthofa belajar. Pemuda 25 tahun itu pergi ke Arab
Saudi diantar oleh ibunya sekaligus ingin menunaikan ibadah umroh. Meninggalkan calon bayi dan belahan jiwanya di kampung halaman.
Ia berjanji akan datang menjemput anak
istrinya dan
membawanya ke Arab Saudi
jika kondisinya nanti sudah stabil.
Namun janji tinggallah janji. Musthofa dan ibunya tidak pernah
kembali. Bahkan toko bahan bangunan milik keluarga Musthofa yang tersisa di
desa itu kini telah menjadi milik orang lain. Tak ada satu pun keluarga
besar yang memberikan informasi tentang
keadaan Musthofa. Saat Ela berusia lima tahun, rumah keluarga Musthofa di
kampung itu pun dijual. Jumirah tidak pernah mendapat penjelasan mengapa.
Jumirah dan Ela harus angkat kaki dari rumah besar itu.
Meninggalkan berbagai kenangan manis di dalamnya. Hanya pakaian
yang melekat di badan, koper dan maskawin pemberian Musthofa, itulah harta yang Jumirah miliki. Sejak saat itu, seluruh hidupnya adalah
perjuangan. Ia menggadaikan maskawinnya untuk menyewa toko di tepi jalan raya
kota kecamatan dan untuk modal membuka
warung bakso. Ia bersama putrinya tinggal di sana.
“Kenapa kita tidur di sini,
Bu?” tanya Ela kecil saat mereka keluar dari rumah besar dan tidur beralas
tikar di warung bakso. Dengan senyum Jumirah menjawab,
“Allah sedang melatih kita, Sayang. Biar Ibu
dan Ela jadi kuat.”
Jumirah selalu menanamkan nilai-nilai agama dalam mendidik Ela. Ia
mengirim putrinya mengaji pada orang alim di desanya. Setiap hari, usai shalat
Ashar, Jumirah mengayuh sepeda seperempat jam
ke rumah Kyai Faizin. Membonceng Ela untuk belajar ilmu-ilmu agama Islam di sana. Sambil
menunggu putrinya mengaji, Jumirah membantu Bu Nyai Faizin di ndalem.
Ela tumbuh menjadi gadis yang baik, cantik dan pintar. Ia juga rajin
membantu ibunya sepulang sekolah. Sesekali ia bertanya tentang bapaknya pada
Jumirah. Perempuan paruh baya itu selalu menceritakan kebaikan-kebaikan Musthofa.
Bahwa kepintaran sang bapak menitis padanya. Bahwa wajah cantik putrinya itu
juga berasal dari sang bapak. Jumirah menunjukkan foto pernikahan mereka pada
Ela. Bahwa ibunya sangat menyayangi bapaknya. Selalu mendoakan yang terbaik
untuk suaminya.
“Sebenarnya bapak sekarang di mana,
Bu?” tanya Ela suatu ketika.
“Bapakmu sedang menuntut ilmu,
Nduk,”
jawab Jumirah.
“Kenapa lama sekali?” tanyanya lagi.
“Bukankah Kamu pernah diajari Kyai Faizin, nasihatnya Ali bin Abi
Thalib dalam menuntut ilmu, Nduk. Coba nadzamkan. Ibu sangat suka itu!” pinta
Jumirah.
“Ala laa tanalul ilma illa bi sittatin saunbika an majmu’iha bi
bayanin, dzakaain, wa hirshin washtibarin wa bulghatin, wa irsyadi ustadzin wa
tuuli zamaanin,” nadzam Ela.
“Nah, tuuli zamaanin kan. Menuntut ilmu itu butuh waktu lama,
Nduk,”
jelas Jumirah.
“Tapi kenapa bapak tidak pernah pulang,
Bu?”
“Arab kan sangat jauh, Nduk.
Mungkin bapakmu tidak punya bekal untuk pulang,”
jawab Jumirah lagi.
“Kenapa bapak tidak pernah mengirimi ibu surat?”
Dada Jumirah hampir meledak bila putrinya terus bertanya tentang bapaknya.
Ia selalu menahan tangis agar tidak tumpah di hadapan putrinya itu. Dengan
mengumpulkan segenap kekuatan ia berusaha menjawab
satu per satu pertanyaan Ela. Untuk menenangkan jiwanya.
“Bapak mungkin sibuk dengan
pelajarannya, Nduk. Kan sekolahnya di Arab Saudi. Pasti banyak sekali yang harus
dipelajari hingga tidak sempat mengirimi kita surat. Doakan selalu yang terbaik
untuk bapakmu, Nduk. Semoga sukses dalam belajarnya dan bisa segera pulang
menemui kita.”
Setelah perbincangan itu, Ela hampir tidak pernah lagi bertanya
tentang bapaknya pada ibunya. Keyakinan
kebaikan yang Jumirah tanamkan tentang sang bapak, membuat Ela kuat. Meskipun
di luar sana, tidak sedikit yang mencibir kenaifan Jumirah. Ela sering
mendengar orang-orang kampung menyarankan Jumirah untuk melupakan Musthofa.
Kemungkinan lelaki itu telah menikah lagi di perantauan dengan perempuan yang
disukai ibunya.
“Untuk apa Kamu bertahan
pada lelaki yang sudah tidak mempedulikanmu lagi,
Jum. Dia mungkin sudah punya keluarga lain di sana. Buktinya, ia sama sekali
tidak pernah menghubungimu. Dia membuangmu,” ucap
seorang lelaki suatu ketika di warung bakso ibunya. Ela tengah mencuci mangkok
di belakang saat percakapan itu terjadi. Belakangan Ela tahu, lelaki itu
ternyata menaruh hati pada ibunya dan ingin menikahinya.
Omongan seperti itu kerap Ela dengar dari para tetangga. Bahwa lebih baik
ibunya menikah lagi. Bahwa dirinya akan lebih bahagia saat tumbuh dengan sosok bapak
di sampingnya. Namun Jumirah tidak memedulikannya. Musthofa tetap abadi dalam
jiwa Jumirah. Ela selalu memandangi foto bapaknya saat ia rindu akan sosok bapak.
Lalu mengingat-ingat semua cerita tentang kebaikan sang bapak.
Hingga kelas tiga Madrasah Aliyah Tarbiyatul Banin, Ela masih terus mengaji dengan Kyai Faizin. Usai mengaji, Ela izin pada Jumirah untuk bimbingan belajar bersama Gus Akbar, putra Kyai Faizin yang baru lulus kuliah kedokteran di Universitas Gajah Mada. Ela juga sangat ingin menjadi seorang dokter. Berkat kecerdasan yang Ela miliki, gadis itu berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di kampus ternama di Surabaya.
Sejak menjadi mahasiswi kedokteran, Ela tinggal terpisah dengan
Jumirah. Baru dua tahun terakhir ini, setelah Ela magang di Rumah Sakit Umum
Daerah Pati sebagai dokter coas mereka kembali
tinggal bersama. Setiap hari gadis itu mengendarai motor Winong – Pati. Namun sejak
Pati memiliki pasien corona, Ela tidak pulang ke Winong. Ia menjadi relawan tim
penanggulangan corona di Kabupaten Pati. Bahkan lebaran tahun ini pun Jumirah
tidak bisa berlebaran bersama putri kesayangannya.
Setelah membuka warung sejak pukul 10 pagi, akhirnya dua pemuda
datang. Sambil menikmati bakso mereka berbincang. Karena sepi, Jumirah ikut
mendengar obrolan mereka.
“Ada 20 ribu lebih yang mudik. Di antaranya
ada yang pulang dari Arab Saudi. Mereka dikarantina di RSUD Pati,”
ujar pemuda berjaket hitam. Mereka wartawan
yang sedang keliling mencari berita.
“Tadi aku sempat ngobrol sama salah seorang yang dikarantina,
namanya Musthofa, umur 50 tahun.
Katanya dia pulang mau mencari istri dan anaknya.”
Jantung Jumirah berdetak kencang mendengar nama Musthofa. Tangannya
gemetar. Spontan ia mendekati pelanggannya.
“Maaf saya tidak sopan, mendengar percakapan kalian. Tapi ini
sangat penting. Apa orang yang bernama Musthofa yang Sampeyan wawancarai, yang mencari anak istrinya tadi ada fotonya?” ujar
Jumirah dengan amat halus.
“Saya videokan tadi, Bu. Ini kalau mau lihat.” Wartawan berjaket
hitam mengeluarkan kamera dari tas punggungnya. Ketika video itu diputar,
seketika kedua kaki Jumirah lemas, ia jatuh terduduk dan terisak.
Sementara itu, Ela tengah berjibaku melakukan tes
swab pada orang dalam pantauan (ODP) yang baru pulang dari Arab Saudi. Ia
mendatangi seorang lelaki berusia sekitar 50 tahunan dengan pakaian hazmat.
“Permisi ya Pak, saya tes dulu,” izin
Ela. Saat menatap pria itu, ada getaran yang tiba-tiba Ela rasakan. Tatapan
mata itu. Hidung
bangir itu. Senyuman ramah itu. Tidak
asing buat Ela. Jantungnya berdegub kencang. Tangannya gemetar. Ia berusaha
menenangkan diri. Mungkinkah lelaki di depannya ini adalah bapaknya.
Setelah beberapa saat, Ela kembali menguasai dirinya. “Siapa nama
Bapak?” tanyanya.
“Musthofa.” Deg. Degub jantung
Ela kembali tak terkontrol.
“Bapak mau pulang ke mana?”
“Desa Pekalongan, Winong. Saya mau ketemu anak dan istri saya.”
Ela oleng ke ranjang Musthofa. Melihat ketidaknyamanan yang Ela rasakan, Musthofa
bertanya,
“Apa Kamu
baik-baik saja, Nduk?” tanyanya.
“Eh, iya. Baik, Pak.”
“Keluarga di Pekalongan pasti senang atas kedatangan Bapak ya.
Siapa nama istri Bapak?”
“Nama istri saya Jumirah.”
Nafas Ela mulai tersengal-sengal. Ia merasakan sesak nafas yang
hebat di dalam balutan hazmat dan APD yang menyiksa itu. Ia tiba-tiba berlari
keluar bangunan. Teman-teman
sesama tim
medis cemas dengan kondisi Ela. Seorang dokter lelaki menyusulnya.
“Ela, kamu sehat?” tanya dokter pria yang ternyata Gus Akbar.
“Gus..hhh...hhh...” nafas Ela tersengal-sengal. “Gus...hh...hhh...”
Ela menangis dalam isakan yang teramat dalam hingga suaranya nyaris tak
terdengar. “Kamu kenapa El?” ingin rasanya Gus Akbar
memeluk gadis itu untuk menenangkannya. Namun itu tidak mungkin.
Rasanya Ela pun ingin meminjam bahu bidang lelaki itu, namun ia tahu batas. Akhirnya
ia jatuh terduduk dan menangis tersedu-sedu.
Beberapa petugas medis datang. Gus Akbar
memberi isyarat untuk meninggalkan mereka. Setelah tangis gadis itu mereda, Gus
Akbar
kembali berkata, “Ceritakan El! Ada apa?”
“Gus, selama ini Ela diberi tahu bahwa bapak Ela sedang menuntut
ilmu di Arab Saudi. Ela memilih percaya. Meskipun ada keraguan di hati ini. Ela
hanya mengenal bapak dari sebuah foto yang ibu
berikan. Sampai akhirnya hari ini Ela melihat orang yang ada di foto itu di
hadapan Ela. Orang itu mengatakan hendak pulang menemui istrinya yang bernama
Jumirah. Bukankah orang itu adalah bapak Ela,
Gus?” Air
mata kembali berderai di pipi gadis itu.
“Di mana bapak itu
sekarang El?”
“Dia orang dalam pantauan No.
005 Gus. Dia baru pulang dari Arab Saudi.”
Gus Akbar menemui Musthofa
yang tengah duduk di kamar isolasinya.
“Assalaamualaikum, Pak Musthofa?” sapa Gus Akbar.
“Wa’alaikumussalam. Bagaimana hasil tes saya Dokter?”
“Alhamdulillah, Bapak negatif.
Apa benar Bapak adalah Musthofa anak dari Haji Dimyati dari Desa Pekalongan?”
“Itu saya, bagaimana dokter mengenal saya?”
“Saya Akbar, putra Bapak Faizin Hasan
dari Desa Pekalongan.”
“Masyaallah, ayah Dokter itu sahabat saya. Sampaikan salam saya buat beliau.
Kami dulu
satu pesantren.”
“Insyaallah, saya
sampaikan. Sudah lama sekali Bapak tidak pulang kampung. Kami di kampung hampir
tidak pernah mendengar berita tentang keadaan Bapak selama di Arab Saudi.
Bolehkah saya mendengar kisah Bapak?”
Musthofa menghela nafas. “Bukankah Dokter harus
bekerja?”
“Jam tugas saya sudah selesai,
Pak.” Gus Akbar duduk di ranjang Musthofa.
“Saya mengalami kecelakaan begitu sampai di Bandara Jeddah. Ingatan saya hilang. Selama dua puluh empat tahun saya hidup
tanpa kenangan Desa Pekalongan. Termasuk tidak ingat pada istri dan anak yang
ada di dalam kandungan istri saya. Ibu saya menutupi keberadaan Jumirah dan
anak kami. Saya terus
melanjutkan pendidikan hingga menjadi dosen tetap di sana. Ibu meminta saya menikah,
tapi hati saya selalu menolak setiap perempuan yang ditawarkan. Sampai akhirnya ibu meninggal awal tahun ini. Sebelum meninggal, beliau meminta maaf karena telah menutupi
keberadaan anak dan istri saya. Akhirnya saya bisa mendapatkan lagi ingatan itu
secara utuh dan memaksa untuk kembali ke negeri ini,
meski di tengah pandemi corona. Saya ingin tahu keadaan anak istri saya
sekarang di tanah air. Meskipun kemungkinannya sangat kecil bagi mereka bisa
menerima saya kembali. Mengingat itu sudah dua puluh empat tahun yang lalu. Jangan-jangan…, istri saya malah sudah
menikah dengan laki-laki lain. Saya ikhlas menerima kenyataan kalau memang dia….
sudah menikah, karena ini semua kesalahan saya. Setidaknya saya mau menemui
untuk memohon maaf atas kesalahan selama ini.”
Ela mendengar pembicaraan itu dari panggilan ponsel Gus Akbar.
Gadis itu menangis tersedu-sedu.
“Masuklah Ela, Kamilah binti Musthofa,”
pinta Gus Akbar.
Pria itu tahu Ela berada di balik pintu. Sesaat kemudian, seorang
gadis berjas putih muncul di hadapan Musthofa. Dia petugas medis yang berlari
meninggalkan bapaknya siang tadi.
“Kamilah binti Musthofa?” Musthofa bertanya-tanya.
“Iya Pak. Dia putri Bapak. Putri Ibu Jumirah, istri
Bapak.”
Musthofa berdiri dari duduknya. Melangkah mendekati gadis cantik
yang matanya terlihat sembab. Ia ulurkan kedua tangannya.
“Putriku...”
Ela berlari memeluk sang bapak. “Bapak...” Keduanya
menangis dalam haru nan bahagia.
Mentari telah condong ke Barat. Mega merah terhampar di atas cakrawala. Senja datang menyapa. Seorang perempuan tengah baya berbalut mukena tengah menutup kedainya. Kumandang adzan Maghrib bergema dari menara Masjid Darussalam dan mushola-mushola di Desa Pekalongan. Jalan raya lengang. Sunyi. Sepi. Jumirah menghela nafas panjang. Setelah melihat video di kamera pemuda tadi siang, tak berhenti hatinya memuji. Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang tak akan pernah menyia-nyiakan doa hamba-hamba-Nya yang selalu berharap. Suami yang ia nanti, kini telah kembali.
Mobil sedan hitam milik Gus Akbar
berhenti di depan warung bakso Bu Jum.
Seorang gadis yang sangat ia sayangi turun dari mobil bersama seorang pria
paruh baya. Pria itu
menatap pemilik warung bakso yang berdiri di depan pintu. Lama keduanya saling
memandang. Sampai akhirnya pria itu mendekat dan memeluk perempuan yang ia cari.
“Sayang, aku pulang.”
“Oh, suamiku.”
***
Anita Qurroti A'yuni lahir di Jombang, menamatkan pendidikan SDN dan SMPN di Karawang lalu melanjutkan ke SMAN I Jombang dan Pondok Pesantren Sunan Ampel Jombang, pendidikan S-1 (Lc.) Universitas Al-Azhar Kairo dan pendidikan S-2 (M.Pd.) IAIN Pontianak. Pernah tinggal di Purwodadi, Solo, Mempawah, Selong dan sekarang tinggal di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.