Anita Qurroti A’yuni, Lc., M.Pd.
(Guru Madrasah Ibtidaiyah Insan Robbani Waingapu)
Tinggal beberapa hari lagi kita akan bertemu dengan bulan suci Ramadhan 1444 Hijriyah / 2023 Masehi. Setiap Muslim di manapun berada pasti menyambut kedatangan Ramadhan dengan suka cita. Di mana-mana terdapat ucapan Marhaban Ya Ramadhan, Selamat Datang Ramadhan.
Tahun ini saya menikmati Ramadhan di Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di sini walaupun jumlah penduduk Muslim tidak sebanyak di Jawa atau di Lombok, mereka tetap bersemangat menyambut Ramadhan. Pengurus takmir masjid-masjid di Kota Waingapu dan sekitarnya sedang merancang kegiatan selama sebulan penuh, seperti shalat tarawih, tadarus Alquran, iktikaf dan penghimpunan/pendistribusian zakat/infak. Bahkan rencananya, Masjid Al-Muhajirin Pakamburung akan mengundang imam shalat dari Pancor Lombok untuk mengimami shalat jamaah selama Ramadhan.
Masjid Khulafaur Rasyidin Kanatang, masjid baru di Kabupaten Sumba Timur sedang dikebut pembangunannya agar dapat digunakan pada Ramadhan tahun ini, sehingga masyarakat tidak harus pergi jauh untuk beribadah di masjid. Pagi hingga siang hari ini, Ahad (12/3/2023) saya ikut membantu memasak di dapur umum untuk bapak-bapak yang bergotong-royong mengecor atap dan tempat kubah masjid.
Lebih dari itu, masyarakat juga melakukan doa bersama memohon kepada Allah supaya diberikan keselamatan dan kekuatan untuk menjalani ibadah selama bulan Ramadhan. Doa bersama itu di Jawa biasa disebut dengan istilah megengan, di Kalimantan Barat disebut berowah, di Lombok disebut roah dan di Sumba disebut doa arwah.
Di Mesir tempat saya pernah tinggal selama 5 tahun, masyarakat juga menyambut Ramadhan dengan antusias. Di mana-mana terdapat spanduk dengan berbagai model yang bertuliskan, "Ramadhan Kareem". Lampu lampion menghiasi jalanan. Kota Kairo tampak indah di malam hari dengan kerlap-kerlip lampion tersebut.
Bulan Ramadhan layak disambut dengan agung dan mulia, karena di dalamnya terdapat banyak keistimewaan dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Salah satunya karena bulan Ramadhan adalah bulan diwajibkannya puasa bagi umat Islam, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Pengertian Puasa
Puasa dalam bahasa Arab disebut shiyaam atau shoum, dari kata shooma-yashuumu, yang artinya diam, tidak bergerak. Orang laki-laki yang berpuasa disebut shoim, orang perempuan yang berpuasa disebut shoimah, orang yang banyak berpuasa disebut showam. Dari kata shooma, jika dibentuk kalimat shoomatil khoil (kuda berpuasa) maka maksudnya adalah kuda berhenti berjalan, shoomatil riih (angin berpuasa) maksudnya angin berhenti bergerak. Dalam Surat Maryam Ayat 26, disebutkan bahwa Maryam bernadzar kepada Allah untuk berpuasa. Puasa yang dimaksudkan adalah berdiam diri, tidak berbicara. Demikian pengertian puasa menurut bahasa (asal kata).
Dari situ, terbentuklah arti puasa menurut istilah syara', yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya satu hari lamanya mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.
Puasa diwajibkan kepada umat Islam pada tahun kedua Hijriyah dengan turunnya Surat Al-Baqarah Ayat 183, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kalian supaya kalian bertakwa”. Allah tidak menggunakan kalimat aktif, “Allah mewajibkan kalian berpuasa”, tetapi memilih kalimat pasif dengan meniadakan subyek, supaya tidak terkesan bahwa Allah itu memberikan pembebanan kepada hamba-Nya. Akan tetapi, diharapkan manusia mampu mewajibkan dirinya untuk berpuasa karena tahu tujuan dan manfaatnya.
Berdasarkan dalil ini, puasa tidak hanya diwajibkan bagi umat Muhammad, melainkan juga umat-umat terdahulu. Penyebutan “sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kalian”, menurut Syaikh Muhammad Sayyid Thanthowi dalam tafsirnya, Al-Wasith, bertujuan (1) untuk menunjukkan begitu pentingnya ibadah puasa dan banyaknya pahala yang diberikan bagi pelakunya sehingga puasa kembali diwajibkan; (2) untuk meringankan beban karena kewajiban yang sama juga diwajibkan kepada umat yang lalu, sebab perbuatan berat akan berkurang rasa beratnya jika diketahui bahwa orang-orang sebelumnya juga dikenai hal yang sama.
Hanya saja tidak diketahui bagaimana pelaksanaan puasa bagi umat terdahulu, sebab tidak ada keterangan yang jelas mengenai hal itu. Apakah tata caranya sama dengan puasa sekarang ini, dengan menahan dari makan, minum, bersetubuh dan hal-hal lain dari waktu fajar sampai tenggelamnya matahari. Pada bulan apa, berapa lama dan dari kapan sampai kapan, tidak diketahui.
Adapun waktu puasa bagi umat Muhammad dinyatakan dalam Surat Al-Baqarah Ayat 184, “Ayyaaman Ma’dudah”. Artinya beberapa hari yang ditentukan. Lebih tegas lagi, waktu berpuasa disebutkan dalam ayat setelahnya, Ayat 185, yaitu (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil), karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.
Berhubung bulan Ramadhan jumlah harinya tidak pasti, kadang 29 hari dan kadang 30 hari, maka jumlah hari puasa bisa berbeda-beda setiap tahun. Namun tetap disebut satu bulan Ramadhan. Apakah tahun ini puasanya berjumlah 29 atau 30 hari dan mulai hari apa serta sampai hari apa, itu menjadi kewenangan pemerintah untuk memutuskannya. Seharusnya seluruh rakyat dalam satu negara, di pulau manapun berada, apapun sukunya, apapun bahasanya, apapun organisasinya dan apapun partainya cukup mengikuti keputusan pemerintah melalui lembaga yang ditunjuk. Dalam hal ini adalah Kementerian Agama. Seperti yang berlaku di Mesir. Begitu Mufti Negara mengumumkan besok awal puasa maka seluruh rakyat menaati dan mematuhinya. Sami'na wa Atho'na (kami dengar dan kami taati). Tidak ada diskusi atau perdebatan lagi. Tidak ada ijtihad pribadi-pribadi. Semua menyerahkan kepada pemerintah karena itu menjadi kewenangan pemerintah.
Peningkatan Kualitas Hidup
Firman Allah dalam Surat Al-Isra Ayat 7, “Jika kalian berbuat baik maka kebaikan itu untuk kalian sendiri…”. Berpuasa bukanlah untuk kepentingan Allah, sebab seandainya manusia membangkang maka sekali-kali tidak akan mengurangi kekuasaan Yang Maha Kuasa. Sebaliknya, kemanfaatan dari puasa akan kembali kepada pelakunya. Oleh karena itu, jika dihayati dengan seksama, tujuan puasa adalah untuk meningkatkan kualitas hidup. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, puasa dapat mengendalikan hawa nafsu dan meredam syahwat, sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu memberi nafkah maka hendaklah menikah. Karena menikah dapat menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan, barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menekan syahwat (sebagai tameng)”.
Manusia yang dapat mengekang nafsu birahinya, kehidupannya jauh lebih baik sebagaimana ditegaskan Allah dalam Surat An-Nur Ayat 30-31, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluannya …”. Sebaliknya, manusia yang suka mengumbar nafsu syahwatnya berpotensi melakukan kejahatan sosial seperti pelecehan seksual, perselingkuhan, perzinaan dan pemerkosaan.
Kedua, puasa menanamkan solidaritas (rasa setia kawan). Dengan berpuasa, seseorang dapat merasakan betapa menderitanya menjadi orang fakir dan miskin yang selalu kelaparan dan kehausan. Karena itu, manusia sebagai sesama anak keturunan Adam sudah seharusnya bergotong royong dan saling menolong dalam menjalani kehidupan. Jangan ingin menang sendiri, ingin kaya sendiri tanpa mempedulikan nasib orang lain. Jangan menghalalkan segala cara untuk meraih jabatan dan kekuasaan sampai harus sikut sini dan sikut sana, menghancurkan orang lain. Bersikap setia kawan membuat hidup lebih nyaman, tenang dan damai. Di mana-mana kawan dan tidak mengenal kosakata musuh.
Ketiga, puasa melatih kedisiplinan. Jika sudah waktunya imsak, maka kita harus bersiap-siap untuk meninggalkan seluruh larangan puasa. Begitu terdengar adzan shubuh, sejak saat itu tidak boleh lagi makan, minum dan bersetubuh, sampai terdengar adzan maghrib. Biarpun kurang 5 detik, buka puasa tidak boleh dilakukan. Batas permulaan dan akhir waktu puasa sudah tegas. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Orang yang disiplin dalam seluruh aktivitasnya akan menyenangkan semua pihak, termasuk memudahkan urusannya. Berbeda dengan orang yang sering terlambat, bisa membuat urusannya terbengkelai dan menyebabkan orang lain kecewa.
Keempat, puasa mengajarkan kejujuran. Ketika seseorang bersyahadat, shalat, zakat dan haji, orang lain bisa menyaksikannya. Namun puasa tidak ada yang tahu kecuali pelakunya dan Allah. Bisa saja seseorang mengaku di muka umum bahwa ia berpuasa, tetapi saat berwudhu ia minum air, atau saat di kamar tidur sendirian ia makan. Seseorang yang jujur tidak akan makan minum saat berpuasa, sekalipun ada kesempatan untuk melakukannya. Sebab, ia sadar bahwa Allah melihatnya. Seluruh gerak geriknya senantiasa dalam pengawasan Allah.
Kesadaran “selalu dalam pengawasan Allah” membawa hidup tenang dan tidak terpikir berbuat maksiat, karena takut kepada Allah. Walaupun orang lain tidak melihat, tetapi Allah Maha Mengetahui. Firman Allah dalam Surat Al-Zalzalah Ayat 8, “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar proton neutron (kecil sekali), niscaya ia akan melihat (balasan)-nya pula”. Kalau kejahatan sekecil apapun akan mendapat balasan kelak, bagaimana dengan kejahatan yang lebih besar daripada itu. Bagaimana dengan korupsi, menyuap, menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan, berbuat curang dan tidak adil, memeras, menipu, berbohong, membunuh, mencuri, merampok, mengonsumsi narkoba dan minuman keras, berjudi, merebut suami / istri orang lain dan menelantarkan / menyia-nyiakan istri / anak?
Sampai di sini, jelaslah bahwa manusia yang berpuasa sangat berpeluang untuk meraih kualitas hidup yang lebih baik. Hal itu sejalan dengan tujuan puasa sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah Ayat 183, yaitu la’allakum tattaquun (supaya kalian bertakwa). Mudah-mudahan pada bulan Ramadhan tahun ini kita selalu diberikan kesehatan dan panjang umur oleh Allah untuk dapat memaksimalkan dan mengoptimalkan ibadah puasa sehingga kita dapat meraih kualitas hidup yang lebih baik.