Kedudukan Wali Nikah dan Jika Wali Menolak Menikahkan


Seorang gadis muslimah yang tinggal di Kecamatan Kecamatan Lewa mengajukan pertanyaan: Apakah seorang perempuan yang berpendidikan tinggi (sarjana) menikah harus ada wali nikahnya? Bagaimana jika wali nikahnya enggan untuk menikahkan? Bolehkah ia minta kepada orang lain selain walinya untuk menjadi wali nikah?

Redaksi SAMSUMBA.com Divisi Hukum menjawab sebagai berikut:

Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Perkawinan menurut hukum Islam telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Disebutkan dalam Pasal 14 bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon istri, wali nikah, dua saksi dan ijab kabul. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya (Pasal 19). Tidak ada pengecualian terhadap perempuan berpendidikan tinggi sekalipun. Baik gadis maupun janda harus dinikahkan oleh wali nikahnya, yaitu seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yakni muslim, aqil (berakal sehat) dan baligh (Pasal 20 Ayat 1) yang terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita (Pasal 21 Ayat 1). Urutan kelompoknya adalah:

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Apabila wali nasab yang disebutkan dalam Pasal 21 Ayat 1 di atas enggan atau menolak menjadi wali nikah maka kedudukannya dapat digantikan oleh wali hakim berdasarkan ketentuan Pasal 23 Ayat 1. Akan tetapi, Ayat 2 dari Pasal 23 menegaskan bahwa dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada penetapan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Siapakah yang dimaksud dengan wali hakim? Pasal 13 Ayat 2 Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Nikah menyatakan bahwa wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan. Jadi, untuk menjadi wali hakim tidak asal-asalan, tidak asal tunjuk saja. Tidak bisa seorang perempuan menyerahkan perwaliannya kepada imam masjid, ustadz, tokoh masyarakat atau siapa saja yang dipercaya.

Dengan demikian, bagi perempuan yang ingin menikah, tetapi walinya enggan menjadi wali nikah maka solusinya adalah mengajukan perkara permohonan wali adhal ke Pengadilan Agama. Nanti Pengadilan akan memeriksa apakah keengganan wali itu beralasan hukum atau tidak. Jika beralasan hukum maka Pengadilan akan menolak permohonan. Akan tetapi, jika tidak beralasan hukum maka Pengadilan akan mengabulkan permohonan dengan amar penetapan:

  • Mengabulkan permohonan Pemohon.
  • Menetapkan wali nikah Pemohon adalah adhal.
  • Menetapkan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai wali hakim untuk menikahkan Pemohon dengan calon suaminya.

“Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan yang membawa kebaikan bagi semua orang sesuai kesanggupan dan kemampuanku. Dan yang memberi pertolongan untuk mencapai tujuan itu hanyalah Allah” (Al-Quran, Surat Hud Ayat 88)