Anita Qurroti A'yuni
Suatu pagi di bulan Januari. Bukit-bukit di Pulau Sumba sedang menghijau. Menampilkan panorama terindahnya di setiap tahun. Bukit Wairinding, Bukit Tenau, Bukit Hiliwuku, Bukit Mauliru, Bukit Mondu dan Bukit Tanarara, ramai dikunjungi pelancong. Baik lokal maupun mancanegara. Satu dua turis asing berseliweran di jalanan Kota Waingapu. Mereka tampak gembira menikmati Pulau Sumba yang dijuluki Pulau Seribu Bukit. Namun di tengah kebahagiaan para pelancong yang menikmati Pulau Sumba, ada seorang anak kecil berpakaian seragam putih merah lusuh, sedang berlari mendekap kresek hitam di dadanya.
Farhan namanya. Bocah kelas 4
Madrasah Ibtidaiyah itu tak ingin basah kuyup seperti kemarin. Ia menengadah ke
langit, menatap awan yang semakin kelabu.
“Tolong jangan hujan dulu, ya
Allah,” pinta Farhan dalam hati. Anak itu susah payah mengerahkan sisa tenaganya. Ia belum sarapan. Ibunya
lupa menyiapkan, karena usai shalat subuh harus buru-buru ke pasar untuk menyelamatkan
barang dagangan di kios agar tak kehujanan. Sudah satu bulan ini atap kiosnya
bocor. Ia belum punya uang untuk
memperbaikinya.
Perut Farhan keroncongan. Bocah
10 tahun itu tak kuat lagi berlari. Nafasnya tersengal-sengal. Kepalanya pusing
dan pandangannya berkunang.-kunang. Ia memutuskan beristirahat di sebuah pondok
kayu di samping gereja besar berwarna krem. Yang berdiri megah di samping Hotel
Padadita. Kedua bangunan megah itu berada tepat di tepi pantai. Yang jika
langit cerah, air laut akan memantulkan warna hijau toska yang memesona.
Berdampingan dengan hutan bakau yang
tumbuh lebat di sepanjang bibir pantai.
Namun pagi itu langit
mendung. Warnanya ikut membuat laut murung. Sebagaimana langit kelabu yang
membuat perasaan Farhan semakin sendu. Semalam, ia mendengar ibunya menangis.
Sesaat setelah memutus telepon dari ayah Farhan yang bekerja di Malaysia
sebagai pekerja migran. Farhan mendengar dengan jelas, bahwa ibunya ingin
bercerai.
Mendengar itu, Farhan dalam
hati ikut menangis. Ia sangat sayang ibu dan ayahnya. Meski ayahnya jarang
pulang ke Sumba, tapi mereka kerap bervideo call, saling menanyakan kabar.
Farhan tidak ingin ayah dan ibunya berpisah. Ia sangat sedih. Ia menangis
semalaman. Ditemani tetesan hujan yang sepanjang malam mengguyur kampungnya.
Dalam tangisnya, ia berdoa, “Ya Allah, jangan biarkan mama dan bapak bercerai.”
Saat shalawat tarhim berkumandang, Farhan sudah berangkat ke Masjid Al-Muhajirin di Pakamburung, untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah. Mama Farhan mendengar anak lelakinya itu membuka pintu lalu menutupnya. Ia terharu dengan keshalehan putranya. Yang begitu rajin shalat berjamaah tanpa diperintah.
Usai azan, Farhan menunaikan shalat sunnah qabliyah Subuh. Begitu salam, anak itu langsung mengangkat tangannya lalu berdoa dengan khusyuk. “Ya Allah Yang Maha Mendengar, hamba memohon kepada-Mu agar selalu melindungi keluarga hamba. Lindungi mama dan bapak. Hamba ingin mereka tetap bersatu. Tolong kabulkan permohonan hamba, Ya Allah. Hamba yakin Engkau Maha Pengabul Doa.”
Farhan meneteskan air mata dalam doanya. Ia ingat Boni, teman sebangkunya. Yang mulai jarang bertemu kedua orang tuanya, karena mereka telah punya keluarga baru. Boni punya ibu tiri. Juga ayah tiri. Ibunya sudah menikah lagi. Ayahnya juga sudah menikah lagi. Boni diasuh neneknya. Karena ibunya harus pindah ke Lombok ikut suami barunya. Sedangkan ayahnya kini merantau ke Arab Saudi. Boni sering termenung di kelas karena merindukan ayah dan ibunya. Dia tidak ingin nasibnya sama seperti Boni.
Saat Farhan melewati Hotel Padadita, ia menatap seorang anak yang turun dari sebuah mobil
travel. Wajah anak itu sangat bahagia. Tampaknya dia sedang berwisata bersama
keluarga. Tangan kanan dan kirinya digandeng oleh ayah dan ibunya. Dalam hati, Farhan bergumam, “Beruntung sekali anak itu.”
Farhan duduk di sebuah pondok kayu di antara gereja dan Hotel Padadita. Jarak
rumah Farhan ke sekolah memang tidak jauh. Tidak sampai satu kilo. Tapi jika
berjalan kaki dari Kampung Pakamburung menuju sekolahnya dengan perut kosong
tanpa tenaga, perjalanan itu sangatlah berat.
Mungkin kalau naik sepeda
seperti biasanya tidak terlalu lelah, tetapi sudah satu minggu ini ban
sepedanya bocor akibat kerikil tajam di jalan menuju sekolah yang kondisinya
rusak parah. Mau tidak mau, dia harus
berjalan kaki. Melewati jalanan berlubang yang menganga lebar di kanan kiri
jalan. Jika hujan, lubang itu berubah menjadi genangan air layaknya kolam.
Farhan menekan perutnya.
Terasa perih sekali. Farhan lapar. Ia ingin sarapan. Seperti kuda-kuda
Sandalwood di padang rumput di hadapannya. Yang tengah asyik mengunyah
rumput-rumput segar di tanah lapang yang menghijau di musim hujan. Saat menatap
kuda-kuda itu makan, tiba-tiba sebuah motor matik berhenti di dekatnya. Saat
itu pukul 06.30 WITA.
“Assalaamu’alaikum Farhan! Jalan
kaki lagi? Sepedanya belum diperbaiki?” tanya seorang perempuan dengan logat
khas Indonesia Timur.
Farhan hanya mengangguk saat
menjawab.
“Kenapa salam ustadzah belum
dijawab?”
“Wa’alaikumussalaam,” Farhan
menjawab datar dan lemah.
Perempuan yang tinggal di
Kampung Bugis, tepat di depan tanggul Pelabuhan Rakyat Waingapu itu menghela
nafas lalu tersenyum manis. Pagi itu, ia mengenakan jilbab berwarna hitam,
dipadu dengan blus putih dan rok hitam. Seragam khas hari Senin untuk para guru
di sekolahnya. Dialah Ustadzah Ayu, wali kelas Farhan. Yang selalu datang awal
sebelum para muridnya tiba di sekolah.
Setiap hari ia dan suami bangun pukul 03.00 WITA dini hari untuk shalat malam. Usai membaca satu juz Al-Quran, Ayu menyiapkan sarapan sebelum mengajar. Ayu dengan cekatan memasak nasi, lauk dan sayur. Suaminya bertugas mencuci dan menjemur. Keluarganya sarapan bersama pukul 06.00 WITA. Biasanya Ayu menggoreng ikan yang ia beli langsung dari nelayan yang turun dari perahu di depan rumahnya. Tapi kemarin ia tidak sempat membelinya karena sibuk dengan urusan sekolah, sehingga pagi ini ia memasak orak arik tempe.
Usai sarapan, Ayu lalu menyiapkan bekal makan siang untuk 3 orang. Untuknya sendiri, suaminya dan anaknya. Pukul 06.30 WITA, perempuan berwajah manis khas Sumba itu mencium tangan suaminya lalu mengendarai motor matiknya ke sekolah.
Alumni
IAIH Pancor itu orang
yang periang. Ia selalu membuat siapa pun di sekelilingnya tersenyum dan
tertawa.
Dia peduli satu per satu keadaan muridnya. Termasuk Farhan. Tahun ini
usianya
sudah memasuki kepala tiga. Mempunyai satu anak lelaki berusia 4 tahun.
Yang
dititipkan kepada tetangganya selama ia mengajar. Suaminya yang bekerja
sebagai penyuluh pertanian, selalu mendukungnya untuk terus mengajar.
Jika Ayu sibuk dengan urusan sekolah, suaminya tak segan mengerjakan
semua
urusan rumah tangga.
“Sudah sarapan?” tanya
Ustadzah Ayu lagi.
Farhan menggeleng. Perempuan
itu lalu memarkir sepeda motornya di tepi jalan di sebelah pondok kayu. Ia
berjalan mendekati Farhan sambil menenteng sebuah bungkusan. Beberapa saat
kemudian, Farhan pun makan dengan lahap. Ia menyuapkan nasi orak arik tempe ke
mulutnya. Tempe itu Ustadzah Ayu beli langsung dari pabriknya di Manubara.
Ustadzah Ayu tersenyum
melihat muridnya makan. Sambil menemani makan, Ustadzah Ayu menyemangati Farhan
yang sudah satu minggu ini ke sekolah dengan berjalan kaki.
“Nabi
Muhammad SAW pernah bersabda man salaka thoriqan yaltamisu fihi il’man,
sahhalallahu lahu thariqan ilal jannah, artinya siapa yang menempuh
perjalanan demi menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.”
Farhan mendengarkan sambil
menyuapkan makanannya ke mulut. Ustadzah Ayu mengelus kepala Farhan lau
melanjutkan nasihatnya.
“Walaupun menempuh perjalanan yang tidak mudah, banyak kesusahan yang Farhan alami dalam perjalanan, Ustadzah lihat Farhan tetap tabah dan terus berjalan karena sangat ingin mendapat ilmu, tetap berangkat ke sekolah meski dalam keadaan lapar dan tidak bawa bekal. Sepeda rusak tidak menyurutkan Farhan untuk tetap berangkat ke sekolah. Kamu tetap ke sekolah dengan berjalan kaki di tengah gerimis dan hujan. Ustadzah bangga pada Farhan. Ustadzah yakin, insyaallah, kelak Allah akan mudahkan jalan Farhan menuju kesuksesan dunia dan akhirat.”
“Aaminn, Ustadzah,” jawab Farhan
tersenyum. Ia senang, didoakan oleh gurunya.
Ustadzah Ayu tahu betul
Farhan muridnya yang cerdas. Akan tetapi beberapa bulan terakhir ini, ia
memperhatikan Farhan tampak lusuh dan sering melamun saat belajar. Sepertinya,
ia sedang mengalami kesulitan di rumah. Mungkin ini saat yang tepat untuk
menanyakannya pada Farhan. Ia tunggu sampai muridnya ini menghabiskan
makanannya.
Perasaan Farhan kini jauh
lebih baik. Ia senang karena perutnya sudah kenyang. Dalam hati ia sangat
berterima kasih pada Ustadzah Ayu yang selalu peduli pada dirinya. Setelah
Farhan selesai makan dan minum, Ustadzah Ayu memberanikan diri bertanya.
“Farhan, ada masalah apa di
rumah? Sudah seminggu ini Ustadzah lihat kamu sering melamun saat belajar di
sekolah,” tanyanya.
Farhan sudah menganggap Ustadzah
Ayu sebagai ibu keduanya di sekolah, maka ia pun mengungkapkan semua
permasalahannya.
“Saya punya mama sedang sedih
dan kerepotan, Ustadzah.”
Farhan berhenti sebentar. Ia
berpikir apakah masalah ibunya yang ingin bercerai itu, akan ia ceritakan juga.
Setelah lama merenung, Farhan memutuskan untuk mengungkapkannya pada sang wali kelas.
“Saya punya mama mau cerai
sama saya punya bapak. Saya sedih sekali, Ustadzah.” Ada bulir air di kedua
ujung mata Farhan. Perasaan Farhan kembali sendu. Ustadzah Ayu mengelus rambut
Farhan. Lalu memeluknya, menenangkannya.
“Sabar, ya Farhan. Ustadzah
tahu kamu anak yang tabah. Berdoalah kepada Allah!” Ustadzah Ayu menasihati.
“Saya selalu berdoa,
Ustadzah. Saya berdoa agar bapak pulang ke rumah, dan tidak lagi bekerja di
Malaysia. Kasihan mama. Lelah mengurus semuanya sendirian. Saya juga sedih, mama
sekarang jarang menemani saya karena sibuk terus,” ujar Farhan.
“Insyaallah,
doa Farhan akan
Allah kabulkan, karena Farhan anak shaleh,” hibur Ustadzah. Beberapa
menit
kemudian, Farhan dan Ustadzah Ayu berboncengan menuju sekolah. Motor
matiknya melaju pelan saat melalui jalanan rusak. Dalam hati Ibu guru
baik hati itu bergumam, “Kenapa jalanan ini terus dibiarkan rusak.
Kasihan sekali para orang tua dan muridnya jika setiap hari harus
melewati jalan ini.
Ia teringat kata-kata Khalifah Umar bin Khattab, Lau ‘atsarat baghlah bil ‘Iraq lasaalaniyallahu lima lam tushlih lahath thariq, ya Umar. Artinya, seandainya seekor keledai terperosok di Irak maka Allah akan memintaku pertanggungjawaban dan aku akan ditanya, “Mengapa engkau tidak memperbaiki jalan untuknya, ya Umar?”
***
Siang itu, Mama Farhan
mengendarai motornya menuju arah Bandara Umbu Mehang. Dia harus mengantar
pesanan di sekitar Pantai Walakiri. Salah satu destinasi wisata andalan di
Pulau Sumba karena keelokan panoramanya. Selesai bertransaksi, ia memutuskan
untuk duduk sebentar menikmati Pantai Walakiri sambil minum air kelapa muda. Mama
Farhan duduk di sebuah ayunan di bawah pohon. Angin pantai menerpa wajahnya. Suasana
damai ini menenangkan perasaannya.
Tiba-tiba ia teringat Farhan
putranya. Yang sudah berkali-kali mengajak piknik di pantai indah yang banyak
ditumbuhi pohon nyiur ini. Farhan ingin berfoto di antara pohon-pohon bakau
kerdil yang tumbuh di sisi kiri pantai. Seperti yang sedang viral. Lalu meminum
kelapa muda di tepi pantai sambil bermain mencari kolomang.
Sayangnya, Mama Farhan belum
sempat mengabulkan keinginan itu karena selalu sibuk mengurus jualannya. Di
antara semilir angin pantai, tiba-tiba air mata Mama Farhan meluncur. Ia
menangis sendirian. Meratapi hidup yang kini ia jalani. Benarkah keputusannya
menggugat cerai Bapak Farhan? Di lubuk hatinya, ia masih sangat mencintai
suaminya. Akan tetapi, problema hidup terus-menerus menderanya tanpa ada peran
suami di sampingnya. Ia lelah menjalani hidup seperti ini.
Himpitan ekonomi, membuat suaminya
terpaksa merantau ke Malaysia saat Farhan berusia 3 tahun. Dua tahun pertama di
Malaysia, suaminya rutin mengirim uang. Sebagian ia tabung sebagai modal
membuka lapak di pasar. Akan tetapi, 5 tahun terakhir ini, kiriman suaminya
mulai seret. Kadang dua bulan sekali bahkan pernah 6 bulan sekali. Katanya
hidupnya di Malaysia sedang sulit. Ketika pulang ke Sumba, sang suami bukannya
memberi dirinya uang, tapi malah meminta uang untuk membayar utang-utangnya di
Malaysia. Mama Farhan meminta suaminya pulang, dan tidak usah lagi bekerja di
Malaysia, tapi ia menolak. Katanya, dia harus bekerja di sana untuk membayar
utang-utang pada majikannya. Pernah terlibat suatu masalah, Bapak Farhan ditahan
Polis Diraja Malaysia. Ia baru dibebaskan setelah diberi uang jaminan dari
majikannya. Sehingga separuh gajinya dipotong untuk melunasi utangnya.
Beginilah hidup mereka sekarang.
Mama Farhan kerja sendiri membanting tulang di pasar. Berjualan dari pagi hingga
malam. Saat di rumah, ia tetap bekerja menerima pesanan makanan, kue dan
lainnya. Mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk masa depan yang lebih cerah.
Mama Farhan ingin, agar anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik. Agar Farhan
kelak bisa kuliah di kampus yang bagus dan hidup mapan.
Kesibukan itu akhirnya
membuat Mama Farhan melupakan hal terpenting yang dibutuhkan anaknya, yaitu
perhatian. Pikirnya, dengan menyekolahkan anaknya di sekolah dengan sistem full
day, membuatnya terlepas dari urusan pendidikan anak. Nyatanya tidak. Anak
tetap membutuhkan perhatian orang tuanya. Mereka butuh kasih sayang dari ayah
dan ibunya. Minimal menanyakan bagaimana kabarnya hari ini. Menyentuhnya dengan
penuh cinta. Menanyakan bagaimana harinya di sekolah, adakah PR untuk besok. Menemaninya
belajar. Memeluknya sebelum tidur.
Mengelus kepalanya. Menciumnya. Lalu mendoakannya.
Faktanya, karena sibuk
bekerja, semua itu tidak sempat Mama Farhan lakukan. 24 jam sehari seakan
kurang baginya. Tubuh dan pikirannya sudah terlalu lelah mengurus pekerjaan.
Belum lagi batinnya yang merana tanpa sentuhan cinta. Seminggu yang lalu, Mama
Farhan mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Agama Waingapu. Ia sedang menunggu
panggilan sidang. Ia sudah tak mampu lagi bertahan. Ia ingin bercerai dengan
Bapak Farhan yang dinilai tak mampu berperan sebagai suami sebagai tulang
punggung keluarga. Lelaki itu tak pernah hadir di saat istri dan anaknya sangat
membutuhkannya.
***
Seorang laki-laki berbadan
tegap dengan otot-otot tangan yang kekar, berkulit gelap dengan garis wajah
yang tegas, sedang berjalan menuju sebuah pesawat. Pikirannya kalut. Tiba-tiba
seminggu yang lalu ia mendapat kabar dari adiknya bahwa ada surat panggilan
sidang dari Pengadilan Agama Waingapu. Bagaikan petir di siang hari.
Bapak Farhan bingung. Ia
langsung minta izin pada bosnya untuk pulang ke Indonesia. Ia meminjam uang
untuk membeli tiket. Siang ini pesawat akan mengantarnya ke Bandara Umbu Mehang
Waingapu dari Bandara Ngurah Rai Bali. Dua hari lagi ia akan hadir dalam sidang
perdana gugatan cerai yang diajukan istrinya.
Di dalam pesawat Bapak Farhan
merenung, sudah separah inikah hubungannya dengan Mama Farhan. Ia masih sangat
mencintai istrinya. Tak terbayangkan dalam pikirannya, ia akan digugat cerai.
Masih jelas dalam bayangan, kala keduanya bertemu pertama kali pada bulan
Desember di Bukit Wairinding yang tengah menghijau. Angin sejuk bertiup
mengibarkan jilbab biru Mama Farhan. Bapak Farhan sudah tertarik sejak melihat
Mama Farhan pertama kali di sana. Kesempatan untuk berkenalan pun datang saat
Mama Farhan hampir saja terpeleset dari atas bukit ketika hendak berfoto. Dengan
gesit Bapak Farhan meraihnya. Dari situlah bunga-bunga asmara keduanya bersemi
hingga akhirnya mereka menikah dan Farhan lahir. Semuanya baik-baik saja,
sampai badai ekonomi menerpa keluarganya yang membuat Bapak Farhan harus
bekerja di Malaysia. Dan membuat Mama Farhan harus mengurus keluarga mereka
sendiri di Sumba.
Lelah. itu kata yang terucap
dari bibir Mama Farhan saat ditanya mengapa. Istrinya sudah tak sanggup lagi
mengurus keluarga ini sendiri. Ia butuh sang suami. Bapak Farhan menyesal
karena tak merespons keluhan istrinya itu sejak dua tahun yang lalu. Ia kira,
istrinya sanggup bertahan. Sampai akhirnya panggilan sidang gugatan cerai
itupun datang.
***
Hari sidang pun tiba. Pagi
itu Farhan senang sekali karena ia berangkat diantar oleh ayahnya. Ustadzah
Ayu bahagia melihat muridnya tampak sumringah datang ke sekolah.
“Kamu senang sekali, Farhan?”
tanya Ustadzah.
“Iya, Ust. Hari ini saya
diantar bapak.”
“Oh ya. Kamu punya bapak
sudah pulang?”
“Iya. Saya senang sekali
karena Allah mengabulkan doa saya, Ustadzah.”
“Alhamdulillah. Berarti hari
ini Farhan harus pimpin teman-teman doa sebelum belajar di kelas ya.”
“Siap Ust.”
Sepertinya Farhan tidak tahu, jika ayahnya pulang ke Sumba karena ada panggilan sidang.
Ustadzah Ayu menarik nafas dalam. Ia tak henti-hentinya berdoa, agar orang tua Farhan bisa mempertahankan biduk rumah tangga mereka, sehingga Farhan tetap mempunyai orang tua yang utuh. Sebagai guru, ia sangat bahagia saat melihat anak-anak didiknya bahagia. Dengan tulus dan ikhlas ia berdoa untuk kebaikan anak-anak didiknya. Karena belajar dengan bahagia, akan memudahkan mereka memahami ilmu yang guru sampaikan. Dalam pembelajaran, Ustadazah Ayu sering berpesan kepada muridnya agar jangan lupa bahagia. Maka, jika melihat muridnya mulai bosan, biasanya Ustadzah Ayu mulai mengeluarkan jurus-jurus ice breaking dan senam otaknya.
Pukul 09.00 WITA, Mama Farhan tiba di Pengadilan Agama Waingapu. Gedung yang dipenuhi bunga warna warni itu menyambutnya. Setelah melapor kepada satpam, ia diarahkan menuju mesin antrean sidang untuk mengambil nomor antrean. Ia lantas duduk di ruang tunggu sidang. Beberapa menit kemudian Bapak Farhan datang. Ia sempat menyalami Mama Farhan tetapi disambut dingin.
Pukul 09.35 WITA terdengar
suara panggilan dari pengeras suara yang memanggil Mama dan Bapak Farhan untuk
masuk ke ruang sidang. Di sana sudah ada tiga hakim berpakaian toga hijau yang
duduk menyambut mereka. Begitu duduk, Mama Farhan ditanya mengapa ingin
bercerai. Para hakim sempat memberikan penasihatan kepada keduanya untuk
kembali hidup rukun tetapi Mama Farhan bersikukuh ingin bercerai.
Ketua Majelis lalu memerintahkan
kedua orang tua Farhan untuk menempuh mediasi. Di ruang mediasi, keduanya
diberi nasihat oleh mediator. Pria berkacamata asal Maluku itu mengajukan
pertanyaan retorik, “Apa kalian tidak memikirkan nasib anak kalian jika terjadi
perceraian?”
“Saya ingin mempertahankan
pernikahan ini, Pak,” kata Bapak Farhan.
Mama Farhan tertunduk diam.
“Saya lelah mengurus rumah
tangga sendirian, Pak. Suami saya ini menolak pulang ke Sumba dengan alasan
masih harus bayar utang pada majikannya di Malaysia,” keluh Mama Farhan
kemudian.
“Kenapa Saudara tidak segera
saja pulang ke Sumba?”
“Di sini susah cari uang
banyak, Pak. Bagaimana utang saya terbayar?”
“Sumba kan pulau yang punya masa depan cerah. Di sini banyak tempat wisata. Cobalah buka usaha di sini. Jual oleh-oleh khas Sumba. Tenun, kaos Sumba, makanan khas Sumba dan lainnya. Sebentar lagi juga akan dibangun tambak udang di Palakahembi yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Insyaallah, jika kalian bersama, semua masalah akan dapat diatasi.”
Bapak Farhan terdiam.
Sang mediator kembali menasihati.
“Jangan kalian egois memikirkan kepentingan diri sendiri. Mungkin setelah cerai,
kalian bisa menemukan pasangan baru. Tapi, anak kalian tidak semudah itu
menerima ayah tiri atau ibu tiri. Pahami perasaan anak. Anak ingin punya orang
tua yang utuh, sebagaimana kalian juga punya ayah dan ibu yang utuh.”
Mama Farhan menangis.
“Suami istri harus sering
bersama. Kalau malam minggu atau liburan, ajak
keluarga makan pentol di Lapangan Pahlawan. Jajan di Taman Sandalwood.
Sering jalan-jalan ke Bukit Wairinding, Pantai Puru Kambera, Pantai Walakiri,
Bukit Tenau, Air Terjun Tanggedu, Bukit Persaudaraan dan lainnya. Di Pulau Sumba
ini banyak tempat wisata.”
Mama Farhan semakin tersedu. Ia
merasa sangat bersalah terhadap Farhan. Selama ini, anak itu sudah cukup tabah
menahan kesendirian tanpa perhatian kedua orang tuanya.
“Bagaimana Ibu? Rukun saja
ya? Kembali hidup bersama!”
“Saya mau kembali ke Bapak
Farhan, asal dia berjanji tidak kembali ke Malaysia, Pak.”
Sang mediator menoleh kepada
Bapak Farhan.
“Bagaimana, Saudara sanggup
memenuhi syarat dari istri?”
Bapak Farhan berpikir agak
lama. Dalam pikiran itu tiba-tiba bayangan muncul di benaknya. Sangat jelas
raut kebahagiaan di wajah putra semata wayangnya itu, saat diantar ke sekolah
pagi tadi. Ia menyadari, selama ini, Farhan haus akan asuhan sang ayah, yang
tentunya akan melengkapi sentuhan mamanya.
Setelah merenung dan berpikir
cukup lama, akhirnya, ia mengiyakan syarat dari istrinya itu.
“Baiklah, Pak. Saya akan
penuhi syarat istri saya, Pak. Saya akan bekerja di Sumba saja.”
“Alhamdulillah.”
Spontan Mama Farhan memeluk
suaminya. Mereka berdua berpelukan sangat erat dan lama sekali. Sang mediator
tersenyum. Ia lega. Hari ini mediasinya berhasil. Ia bersyukur dapat
menyelamatkan rumah tangga yang hampir bubar.
Suasana Kota Waingapu siang
itu sangat menyenangkan bagi Mama dan Bapak Farhan. Meski sang surya
bersembunyi, suasana hati keduanya secerah langit tanpa awan. Mereka memilih
jalan pulang lewat arah Swembak lalu tembus ke sebuah lapangan bola dan lurus
terus menuju Taman Sandalwood yang terletak di pusat Kota Waingapu.
Mereka berdua menjemput putra
kesayangannya, Farhan. Waktu menunjukkan pukul 13.40 WITA saat Farhan keluar
kelas. Hari ini bocah kelas 4 itu menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya dengan
baik dan selalu merespons pertanyaan guru dengan benar.
Sebuah keluarga yang harmonis
betul-betul berpengaruh terhadap perkembangan anak. Tugas para orang tua ialah
menjaga cinta mereka. Sehingga bisa melimpahkan kasih sayang kepada buah hati
mereka. Farhan berlari menuju mama dan ayahnya setelah mengucapkan salam
kepada Ustadzah Ayu yang siang ini bertugas melepas anak-anak didiknya pulang
dan bertemu para penjemputnya di gerbang sekolah. Ustadzah Ayu bahagia, melihat
Mama dan Bapak Farhan bergandengan tangan saat menjemput putra mereka. Senyum
sumringah tampak dari wajah mereka, tanda bahwa cinta mereka tetap terjaga.
Di lubuk hatinya yang
terdalam Ustadzah Ayu berdoa, semoga seluruh orang tua dapat menjaga
buah hati mereka dengan cinta yang tulus. Setiap anak berhak mendapat kasih
sayang dan perhatian yang utuh dari orang tuanya. Tidak menyia-nyiakan buah hati
yang telah Allah amanahkan pada mereka. Karena di masa depan kelak, anak-anak seperti Farhan lah
yang akan membangun Sumba, memajukan Bumi Marapu. Mereka akan menjadi kebanggaan Sumba dan juga Indonesia.
***
Anita Qurroti A'yuni lahir di Jombang, menamatkan pendidikan SDN dan SMPN di Karawang lalu melanjutkan ke SMAN I Jombang dan Pondok Pesantren Sunan Ampel Jombang, pendidikan S-1 (Lc.) Universitas Al-Azhar Kairo dan pendidikan S-2 (M.Pd.) IAIN Pontianak. Pernah tinggal di Purwodadi, Solo, Mempawah, Selong dan sekarang tinggal di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.