Anak dan Hak Prerogatif Allah


Oleh H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim PTA Jayapura dan Mantan Ketua PA Waingapu)

Seorang teman, yang kebetulan seorang pejabat, mengeluh perihal anaknya. Kebaikan, kasih sayang dan segenap kewajiban sebagai orang tua rasanya telah ia lakukan. Untuk anak semata wayangnya ia telah merasa berbuat apa pun demi kebahagiannya sejak si anak dilahirkan. Mulai memberikan asupan makanan, membelikan mainan kesayangannya sampai memilihkan tempat mengaji terbaik. Anak itupun tumbuh tidak saja sehat dan lucu tetapi yang pasti menyenangan.

Ketika menginjak usia remaja ada gejala kurang baik. Tanda-tanda perubahan kepribadian anak mulai tampak. Hari demi hari semakin jelas saja perubahan itu. Bukan berubah baik apalagi berprestasi melainkan sikap negatif yang tidak terduga sebelumnya. Teman tadi mulai melihat gejala kenakalan anaknya ketika mulai sering bangun terlambat. Salat subuh yang dulu dijalani secara berjamaah bersamanya, kini mulai hilang. Si anak juga semakin sulit dibangunkan. Kalau pun mau bangun dia jalani dengan sangat terpaksa. Itu pun mungkin karena takut dengan hardikan orang tua atau karena sesekali ingin melegakan orang tuanya. Tidak hanya itu, dalam hal sekolah anak tadi tampak tiap hari pergi ke sekolah, tetapi menurut laporan guru BP sering tidak berada di sekolah. Pulang sekolah pun sering melebihi jam semestinya. Ketika malam, ia sering keluar malam tanpa pamit dan kembali menjelang larut atau bahkan entah tidur di mana terkadang pulang pagi hari.

Kenakalannya semakin bertambah ketika anak tadi mulai meminta sepeda motor. Radius lingkup jelajahnya semakin bertambah. Tetangga sering memergoki anaknya berada di luar kota bersama teman-teman setianya. Singkat cerita si teman tadi sangat kuwalahan menghadapi ‘aksi-aksi’ anaknya. “Menghadapi orang sekantor yang jumlahnya puluhan lebih mudah daripada menghadapi seorang anak,” keluhnya. Kebaikannya selama ini ibarat pepatah “air susu dibalas dengan air tuba”.

Siapa pun kita pasti pilu ketika mengetahui, apalagi mengalami sendiri problem orang tua tadi. Dia menghadapi persoalan yang sangat dilematis. Di satu sisi ingin melakukan tindakan kekerasan dari sekedar memberi pelajaran kepada si anak sampai sekedar melampiaskan kekesalan selama ini. Di sisi lain, tindakan ini tidak dapat dilakukan manakala dia ingat aspek hukum. Sebagaimana kita ketahui saat ini sudah ada 2 Undang-Undang yang memberikan proteksi keberadaan anak, yaitu Undang-Undang tentang Perlindungan Anak (UU Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014) dan Undang-Undang Pengapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU Nomor 23 Tahun 2004). Bayang-bayang sanksi hukum membuatnya mengurungkan semua  niatnya, sekecil apa pun,  untuk melakukan  perbuatan melawan hukum, berupa tindakan kekerasan kepada buah hatinya yang memang selama ini disayangi.

Kekesalannya semakin bertambah ketika (oknum) Ustadz pada kesempatan khotbah Jum’at atau majelis taklim, entah disengaja atau tidak, sering menggunjingkannya. Menurut Sang Ustadz, anak dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi. Pendek kata, dengan mengutip hadits tersebut Sang Ustaz ingin mengatakan, bahwa anak menjadi nakal, bandel dan menjengkelkan karena perilaku kedua orang tuanya.

Dia pasti tidak sependapat dengan Sang Ustadz yang sok tahu itu. Hipotesis Sang Ustadz masih harus ditambah dengan tuduhan, bahwa anak yang nakal tersebut lantaran sering diberi makanan yang tidak halal. Dalam pandangannya, Sang Ustadz di samping sok tahu juga seorang hakim yang tidak adil. Ustadz hanya memandang kenakalan anak dari satu faktor. Padahal, banyak faktor yang menyebabkan si anak menjadi nakal, seperti faktor lingkungan pergaulan, faktor ekonomi, faktor sekolahan, dan faktor kemajuan teknologi. Faktor-faktor itu bisa berdiri sendiri dan bisa saling berkaitan. 

Misalnya, saat ini hampir semua anak remaja memegang handphone (HP). Dengan HP, anak bisa berkomunikasi dengan siapapun, termasuk dengan teman yang ternyata kurang baik. Dengan HP, anak bisa berselancar di dunia maya tanpa ada yang bisa menghalangi. Dengan HP, anak dapat berjanji untuk saling bertemu dengan teman spesialnya jam berapa saja tanpa diketahui kedua orang tuanya. Sang Ustadz tidak sampai berfikir sejauh ini karena dia belum pernah punya HP Android. Atau, bahkan malah belum mengenal dunia dengan segala kebaikan dan keburukannya melaui internet.

Sikap Sang Ustadz tadi kadang-kadang juga menjadi mindset kita. Kita lupa, bahwa di antara problem mendasar yang paling sulit dihadapi manusia adalah ketika menghadapi keluarga. Bahkan, sebagian rasul pun pernah punya pengalaman menghadapi problem keluarga. Pengertian keluarga sudah pasti termasuk di dalamnya adalah anak. Nabi Nuh AS sampai harus ditegur Allah ketika beliau larut dalam kesedihan, lantaran anak yang dikasihinya harus mati tenggelam karena tidak menuruti nasihat-nasihatnya.

Kalau memang menghadapi keluarga itu mudah mungkin Allah tidak perlu memerintahkan agar kita disuruh menjaga diri dan keluarga dari api neraka (Surat At-Tahrim Ayat 6). Kalau menjadikan anak baik itu mudah, mungkin Allah tidak sampai megingatkan bahwa anak adalah “fitnah” (Surat At-Taghabun Ayat 15). Kalau potensi menjengkelkan yang disebabkan perilaku anak itu tidak ada, mungkin Allah juga tidak pernah mengajarkan agar kita berdoa mohon agar menjadikan anak keturunan kita sebagai penyejuk hati (Surat Al-Furqan Ayat 74).

Rasulullah SAW juga mengajarkan agar orang tua memberikan hak-hak anak, seperti memberikan nama yang baik, memberikan pendidikan yang baik, mengajari berkuda, berenang dan memanah, tidak memberikan makanan kecuali yang baik-baik. Akan tetapi, Rasulullah SAW tidak memberikan garansi, bahwa jika hak-hak anak tersebut telah diberikan lantas akan tumbuh sesuai dengan keinginan kita.

Urusan apakah dia beriman atau kafir, termasuk menjadi baik atau buruk sepenuhnya merupakan hak prerogatif Allah SWT. Orang baik tidak mesti menurunkan orang baik seperti halnya orang jahat tidak harus menurunkan orang jahat.

Dalam konteks ini benar juga kata Kahlil Gibran, “Anakmu adalah bukan anakmu. Engkau hanya menguasai raganya tetapi bukan jiwanya”. Yang penting, ketika sebagian kita kebetulan mendapat ganjaran anak nakal, kita tetap bersikap dan bertindak sesuai standar ajaran agama dan norma hukum yang berlaku. Keberhasilan dan kegagalan bukan domain manusia. Jika ujian yang disebabkan oleh anak itu suatu keniscayaan, maka yang lebih kita khawatirkan sebenarnya adalah bukan datangnya ujian itu, tetapi bersikap dan bertindak salah ketika menghadapi ujian. Semoga kita semua tetap bersabar dalam menghadapi buah hati kita. Amin.

“Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan yang membawa kebaikan bagi semua orang sesuai kesanggupan dan kemampuanku. Dan yang memberi pertolongan untuk mencapai tujuan itu hanyalah Allah” (Al-Quran, Surat Hud Ayat 88)